Saya Benci Menjadi Pengajar Muda

AndhikaPrasetya Wijaya 7 Juli 2015
Pengajar muda adalah suatu sebutan yang akhir-akhir ini akrab di telingaku, kedengaranya menarik dan mengagumkan. Bahkan tak jarang beberapa teman dan orang-orang sekitar mengungkapkan kekaguman atas pencapaian sebagai pengajar muda. Bangga? tentu saja harus bersyukur telah dipercaya menjadi seorang pengajar muda yang lolos dari puluhan ribu aplikan yang berharap mendapat kehormatan tersebut. Maka, apa sebenarnya harus dibanggakan ketika seseorang menggenggam sebutan sebagai pengajar muda?

Baiklah, jujur menjadi pengajar muda adalah suatu pencapaian yang sangat mengesankan. Tapi saya benci karena masih tak banyak orang memahami makna dibalik kalimat 'pengajar muda'. Pengajar muda bukan sekedar kita mengajar dan menginspirasi orang lain. Bukan perkara kita mengabdi pada bangsa dan negara yang kata orang masih carut marut ini. Bahkan yang lebih parah tentang kesempatan liburan gratis ke penempatan-penempatan yang eksotis. Setidaknya itu adalah beberapa motivasi bersifat normatif maupun pengambilan manfaat yang kurang bijak dalam memaknai posisi sebagai pengajar muda.

Lebih realistis saja, tanggung jawab sebagai pengajar muda bukan hal yang main-main. Berkali-kali kalimat yang saya dengar dari pendiri Gerakan Indonesia Mengajar adalah "ikut turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa", sangat membebani rasanya. Selama proses menjadi seorang pengajar muda selalu ditanamkan tentang nilai-nilai kepemimpinan, semua poin itu harus dipaksa tertanam kuat dalam benak. Bukan masalah kamu pintar, hebat atau kuat sekalipun, tapi ini tentang sosok yang menyadari fungsi kepemimpinan.

Kepulauan Sangihe adalah tempat dimana rasa benci sebagai pengajar muda kembali muncul. Bukan benci karena selalu mabuk laut setiap naik kapal berjam-jam, tapi tentang saya yang tak mengenal bangsa ini. Saya pahami bahwa Indonesia negeri yang kaya, subur dan gemar ripah loh jinawi. Bukan masalah rempah-rempah yang membuat kita dijajah atau berjuta-juta ikan yang berenang di samudera bangsa ini, tapi kekayaan anak-anak yang akan meneruskan bangsa ini.

Saya terhentak ketika seorang anak bertanya "Engku pernah ke gunung? gunung itu seperti apa Engku? disana dingin atau panas" atau seorang anak yang dengan semangat menunjukkan foto hasil jepretannya dan berkata "Saya ingin jadi fotografer Engku".

Ketika orang lain menganggap pengajar muda adalah sosok yang hebat dan diperlakukan 'istimewa' justru adalah beban yang membuat benci. Benci akan label mulia sebagai pengajar muda bukanlah hal yang salah, karena bukan berarti kita tidak bertanggungjawab akan amanah.

Saya benci ketika seorang pengajar muda dianggap pahlawan pendidikan di masa kini, karena mewujudkan kalimat "mencerdasan kehidupan bangsa" adalah tanggung jawab kita semua sebagai warga negara. Alangkah indahnya jika semua orang mampu bergerak, hingga nanti seluruh anak mampu mengenal lebih jelas bangsanya dan berani bermimpi seluas lautan Indonesia. Saya bersyukur telah berada pada titik dimana mampu merasakan benci dan bisa mengelolanya dalam suatu pandangan sebagai seorang pengajar muda.(apw)


Cerita Lainnya

Lihat Semua