Belajar Design Thinking Bersama Anak Dengan Membuat Mobil Tenaga Angin

Nur Azizah Nasution 10 Agustus 2020
Pernah suatu ketika saat les siang bersama anak-anak, kami membuat mobil tenaga angin dengan menggunakan barang bekas seperti: kardus, tutup botol, sedotan, tusuk sate, balon, solatip, lilin, paku, dan tisu. Saya meminta anak-anak menjadikan diri mereka sebagai seorang designer. Sebenarnya saya ingin menyelipkan "design thinking" kepada anak-anak dengan cara yang mudah dan tanpa mereka sadari. Kenapa design thinking? Karena pada dasarnya hal tersebut merupakan sebuah pola pikir yang membuat kita percaya kalau kita dapat membuat suatu perubahan. Proses ini sengaja dilakukan agar mendapat solusi baru dan relevan, sekaligus punya dampak positif. Proses ini memberikan kita keyakinan untuk mengedepankan kreativitas dan dapat mengubah sebuah tantangan menjadi sebuah peluang. Tahap pertama dari design thinking adalah "empati". Proses ini merupakan tahapan memahami keinginan pengguna yang akan mendapat manfaat dari desain kita dengan memahami tantangan dan peluang. Saya ingin anak-anak paham yang saya takutkan adalah daerah ini menjadi banyak polusi di masa depan seperti di tanah kelahiran saya, lalu saya juga mengajak anak-anak melihat bahwa ada banyak barang bekas yang sebenarnya masih bisa dipakai, dan saya bilang jika mereka ingin membuat mobil. Tahap kedua masuk ke tahap define atau menentukan. Setelah anak-anak situasi dan kondisinya seperti apa, anak-anak diharapkan mengerti "setelah ini harus apa ya?". Dan mereka mengumpulkan barang-barang bekas dan alat-alat yang sudah sempat saya singgung di awal tulisan ini. Tahap ketiga, adalah tahap penggalian ide sebanyak-banyaknya. Kami mencoba membayangkan dengan alat seadanya, bagaimana kami membuat ban? Bagaimana kami membuat ban tersebut jalan? Lalu, bagaimana caranya agar mobil-mobilan ini tidak langsung rusak sekali pakai? Tahap keempat adalah membuat prototype, yaitu membuat representasi ide mereka. Disini yang paling seru, banyak sekali hasilnya, ada yang mobilnya tak bisa jalan, ada yang bisa jalan, ada yang jalan tapi sangat sulit ditiup balonnya, dan lain-lain. Mereka bisa berkreasi sesuka hati, saat mau menyerah, saya mencoba membantu mencarikan jalannya. Tahap kelima adalah umpan balik. Saya melemparkan pertanyaan ke anak-anak "mengapa punya si X tak bisa jalan tapi punya si Y bisa?" "bedanya dimana?" "kenapa punya si Z ditiupnya mudah tapi punya si W susah?", dan lain-lain. Sehingga dari pertanyaan tersebut muncul jawaban dari mereka sendiri yang membuat mereka mencoba kembali sampai berhasil. Disini saya melihat kegigihan anak-anak. Mulai dari awal sampai akhir. Anak-anak yang saya foto ini adalah anak-anak yang bertahan atau sengaja bertahan sampai proses akhir. Dan saya salut dengan mereka. Pantang menyerah. Saya jadi malu sendiri, anak-anak sekecil mereka saja pantang menyerah, masa saya selalu dengan mudahnya menyerah jika ada suatu kondisi yang tak diinginkan datang?

Cerita Lainnya

Lihat Semua