Telepon Sholat

Ni Wayan Purnami Rusadi 4 Maret 2018
Awal desember 2017 menjadi waktu pertama bertemu keluarga baru di penempatan. Deg-degan, entah seperti apa rupa dan wujud dari papa piara, mama piara, kakak atau adik piara nanti. Setibanya di Desa Buya, Ibu Kepala Sekolah kemudian mengantarkan saya ke dusun satu di rumah Papa Nasrun dan Mama Sumi. Merekalah yang mungkin akan menjadi keluarga piara saya setahun ke depan dengan tiga orang adik laki-laki, Ali, Ando dan Fikri. Pagi, sore, dan malam rumah memang selalu ramai dengan kedatangan tetangga-tetangga yang bercakap tentang arti mimpi dan pemasangan nomor 4 angka keberuntungan. Awalnya saya sering ditanya, “Ibu Guru kemarin mimpi apa?”. Entah keberuntungan atau kebetulan, selama di desa saya sangat jarang bermimpi waktu tidur. Informasi terakhir yang didapat, memang di desa ataupun kabupaten kota tidak ada Pura untuk sembahyang. Hal ini memang menjadi tantangan untuk saya lebih taat lagi beribadah. Teringat pesan Bapak kalau Tuhan ada dimana-mana, selama setahun ke depan selain cuti dari pekerjaan saya juga cuti ke tempat ibadah. Saya pun mengakali kamar tidur sebagai tempat sembahyang setiap harinya dan minta ijin ke papa serta mama piara karena akan menyalakan dupa dan meminta bunga untuk berdoa. Mereka pun sangat menghormati dan mempersilakan ritual saya dengan sangat kekeluargaan. Suatu sore selesai sembahyang saya duduk di depan rumah mencari signal telepon. Ando, adik piara nomor dua tiba-tiba mengambil bunga di telinga saya dan bilang, “Kakak ada sampah di telinga”. Jujur saya cukup kaget, “Ini bukan sampah Ando, tapi bunga yang kakak pakai untuk sembahyang dan dipasang di telinga”. “Kenapa kakak pakai bunga?”, tanya Ando lagi. “Iya karena kakak beragama Hindu, jadi sembahyang pakai bunga”. Hal yang sama terjadi beberapa kali di sekolah sampai di acara rumpi bersama mama-mama di desa. Sewaktu saya sembahyang, Ando memang sering mengintip dari depan pintu kamar. Sekarang giliran saya yang mengagetkan dia. “Ando, daripada kamu intip kakak sembahyang, lebih baik kamu sembahyang sana ke mushola sebelah”. Dia pun cuma tersenyum dan mengangguk. Saat makan malam saya bercerita tentang hal itu ke mama dan papa piara. Ekspresi mereka pun sama, tersenyum dan mengangguk. Sekitar semingguan berlalu, saya baru sadar kalau penghuni di rumah ini memang tidak pernah terlihat sholat meski mushola ada di sebelah rumah. Saya merasa tidak enak kalau ingat-ingat menyuruh adik piara sembahyang saat bercerita di acara makan malam keluarga yang lalu. Menuju bulan kedua di penempatan, rasa rindu mulai menumpuk dan membuat saya lebih sering menelpon keluarga, sahabat, pacar, atau teman-teman PM lainnya. Ceritanya pun mulai dari kondisi sekolah hingga keluarga piara. Salah satu cerita tentang kejadian makan malam yang menyuruh adik piara sholat. Saya tak sadar kalau saya menelpon di depan rumah yang memungkinkan suara terdengar sampai di dalam. Tak sadar kalau mama dan papa piara lancar berbahasa Indonesia. Sampai tiba waktunya papa piara datang dari Kota Sanana, dia membawa Alquran dan dibaca malam itu juga. Esoknya papa memutar lagu-lagu bernada Islam meskipun saya tak tahu benar artinya. Papa pun menegaskan ke Ali dan Ando untuk rutin pergi mengaji setiap sore. Mama juga lebih sering mengingatkan adik-adik piara untuk mengucapkan assalamu alaikum ke adik-adik piara waktu masuk rumah. Malamnya di akhir bulan januari, untuk pertama kalinya saya melihat papa dan adik-adik piara sholat bersama ke mushola. Sampai dengan saat ini di bulan ketiga, rumah sudah tak berbandar lagi dan nuansanya lebih religi dengan pemandangan pergi sembahyang saat maghrib meski belum rutin. Belum tahu penyebab pastinya, tapi telepon sholat bisa jadi selentingan yang menimbulkan ketersinggungan berujung kebaikan. Terimakasih atas berkah-MU ya Tuhan :)

Cerita Lainnya

Lihat Semua