Menembus "Konon katanya..."
Nadira Raras Purdayinta 26 Februari 2014Mengapa seorang Joko Widodo menjadi fenomena abad ini? Apakah yang begitu spesial dari seorang Joko Widodo? Nothing extraordinary, really. He does his job: reaching out to his people, making sure that his staff do their job. Ya memang untuk melakukan hal "sesimpel" melakukan tanggung jawab suatu pekerjaan jadi hal yang langka, apalagi di tengah maraknya berita korupsi di media yang tak ada habisnya. Jokowi menjadi sosok yang menarik simpati banyak orang (termasuk saya di dalamnya) karena beliau mampu hadir sebagai sosok yang sangat manusiawi, yang bicara apa adanya tanpa menggunakan jargon-jargon dunia politik, yang mau turun melihat apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, yang tidak neko-neko pokoknya.
Adalah Awi, seorang anak laki-laki kelas 3 di SDN 25 Bantan Air. Ia adalah seorang anak Suku Asli, suku yang konon katanya kurang mampu mengikuti pelajaran, yang konon katanya bersekolah tak lebih dan tak kurang hanya untuk dapat baca tulis, yang konon katanya bandel dan sulit diatur kalau di sekolah. Entah apakah benar adanya pernyataan-pernyataan itu. Tapi ada yang berbeda kali ini, Awi (yang karena typo cukup fatal nama absennya menjadi "Annie") dipilih menjadi salah satu peserta olimpiade sains mewakili SD 25 dari total 25 anak yang terpilih (dari kelas 2-6). Ia dipilih oleh guru IPA nya. Cukup menggemparkan karena hampir tak pernah ada anak suku Asli yang dipilih untuk mengikuti ajang seperti itu. Satu kali, dua kali latihan, anak ini tak kunjung muncul. Hingga datanglah seorang temannya yang bilang kalau ia diminta Awi menggantikan. Heranlah saya, lalu saya mencoba mencari Awi. Dia tidak mau menatap mata saya dan bersikeras tidak mau ikut karena takut dimarahi mamaknya. Selepas sekolah, saya ikut ke rumah Awi, ditemani oleh Neny, yang juga tetangga Awi. "Konon katanya...." lainnya berkata bahwa orang tua anak suku Asli biasanya tidak mendukung anaknya untuk berprestasi, dan lebih sering menyuruh mereka bekerja untuk menghidupi keluarga. Saya sudah menyiapkan diri untuk respon seperti itu namun ternyata orang tua Awi menunjukkan sikap yang sebaliknya. Saya menjelaskan bahwa Awi terpilih untuk mengikuti olimpiade sains namun ia takut tidak diperbolehkan mengikuti latihan sepulang sekolah. Sukacita dan kebanggaan terpancar jelas dari raut wajah kedua orang tua Awi. Mereka malah menyuruh Awi untuk ikut latihan. Ternyata, Awi tidak mau ikut karena ia satu-satunya anak Suku Asli yang ikut. Anak-anak lainnya adalah Suku Jawa dan Melayu. Di sekolah kami memang isu perbedaan suku masih terasa cukup kental. Namun, karena bujukkan orang tuanya, Awi akhirnya setuju untuk ikut. Iapun latihan sendiri bersama saya, tidak gabung dengan latihan bersama teman-teman yang lain karena memang pertama ia belum merasa nyaman, dan juga karena masalah jarak ke sekolah yang cukup jauh dari tempat tinggalnya kalau harus ke latihan sore di sekolah bersama teman-temannya yang lain.
Jadilah Awi latihan sendiri, ditemani beberapa anak suku Asli lain yang kerap datang juga. Kami latihan di posyandu dekat tempat tinggal mereka. Melatih Awi ini ternyata bukan sesuatu yang mudah. Ia mudaaaah sekali terdistraksi. Satu kali ada pengangkut kelapa, ia ingin melihat apakah kelapa yang kecil ada airnya juga, jadilah ia lari ke tumpukkan kelapa, mengambil satu kelapa kecil, dan membukanya untuk melihat isinya. Ternyata tak ada isinya. Setelah rasa penasarannya terpuaskan, baru ia bisa lanjut belajar lagi. Kali lainnya, ia melihat ada anak yang mengetapel burung dan kena. Burung itu jatuh. Ia langsung lari ke seberang jalan, mengambil mayat burung itu dan membuat kuburannya. Ia dan Windol, anak kelas 3 lainnya lantas berkata ke saya,"Dosa kan ya, Bu? Bermain membunuh seperti itu?" saya tersentuh melihat perbuatan mereka. Mereka yang kerap dicap malas, kasar kadang, ternyata memiliki hati yang begitu lembut, tulus. Tak heran kalau mereka cepat bosan dengan metode belajar konvensional di kelas. Mereka punya sekolah alam yang bisa mengajarkan mereka begitu banyak hal-hal menakjubkan. Mereka melihat, mendengarkan, dan merasakan apa yang alam perlihatkan, suarakan kepada mereka.
Interaksi dalam 2 minggu terakhir dengan anak-anak ini membuat saya banyak belajar. Mereka mengajari saya untuk belajar dari alam. Mereka mengajari saya untuk apa adanya (walau kadang through a harsh way, by showing how bored they are during learning session). Mereka mengajari saya untuk terus memupuk rasa penasaran, rasa haus untuk belajar. Anak-anak ini bicara lewat bahasa kejujuran, dan saya sangat merasakan itu.
Banyak "konon katanya...", prejudis yang kadang menghentikan kita untuk berbuat baik. "konon katanya..." yang membuat kita mundur dan tak mau berinteraksi dengan segelintir orang. Masih banyak ketulusan di sudut-sudut tanah air kita, atau bahkan di sekitar kita, yang tak kasat mata, tapi ia ada di sana. Negara kita butuh pemimpin yang apa adanya, yang merakyat, yang menjalankan amanah dengan tulus. Negara kita juga butuh rakyat yang mampu melihat menembus "konon katanya....", yang mau percaya bahwa di negeri ini masih banyak ketulusan, regardless pemberitaan negatif yang kerap berdengung; negara kita butuh rakyat yang mau terus belajar, untuk tetap memelihara ketulusan dan sifat apa adanya.
"It is not what we look at that matters, it is what we see." (Henry David Thoreau)
little note: we sometimes don't get to choose what we look at, but we always have the option to see what we want to see (:
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda