Proses Menjalani Pilihan

MustikaAmalia Wardaty 3 Oktober 2015

 

Dari awal masuk IM, saya sudah benar-benar pasrah ditempatkan di kabupaten manapun. Saya beranggapan semua daerah di setiap penjuru tanah air ini punya cerita masing-masing. Hingga akhirnya menginjakkan kaki di tanah Sangihe dan menjadi bagian dari masyarakatnya itu juga bukan tanpa suatu alasan. Tuhan memberikan saya kesempatan untuk berproses dan belajar banyak di tempat terbaik yang sudah dipilihkan-Nya.

Tempat saya mengajar berada di Pulau Bukide. Jarak tempuhnya dari Tahuna (Ibukota kabupaten) sekitar dua setengah jam perjalanan. Yang dimana satu jam perjalanan darat dan lanjut satu setengah jam perjalanan laut. Tak terasa kini sudah hampir empat bulan waktu berjalan.

Disuatu sore saya mendapat telepon dari salah seorang teman di Yogyakarta, ia menanyakan kabar dan ingin tahu bagaimana rasanya menjadi guru SD.  Bagi saya menjadi guru pelajaran atau wali kelas I sampai VI SD itu memiliki tantangan masing-masing. Kalau saya mendapat amanah menjadi wali kelas I di SD GMIST Sion Enggohe. Sekolah ini merupakan sekolah yayasan pendidikan kristen. Jumlah siswa saya sembilan orang. Lima perempuan dan empat laki-laki. Karena di desa saya mengajar tidak ada sekolah PAUD atau TK jadi pengetahuan mereka juga beragam. Ada yang sudah bisa baca, tulis, dan hitung (calistung). Ada yang hanya mengenal huruf dan angka. Ada juga yang belum bisa calistung sama sekali. Setiap hari ada saja cerita dan pengalaman baru dari mereka di  sekolah.  

Sebenarnya yang belajar di sini bukan hanya anak-anak didik saya, tapi saya juga. Saya harus berpikir untuk menciptakan metode belajar kreatif untuk mereka. Mencatat dan mengamati perkembangan pengetahuan mereka dari hari ke hari. Mentransfer ilmu dengan cara yang menyenangkan bagi anak-anak. Membantu pengembangan karakter mereka. 

Kalau ditanya rasanya gimana? Rasanya campur aduk. Senang kalau mereka paham materi yang saja ajarkan. Sedih kalau mereka sudah diajari tapi belum juga paham. Bingung harus pakai metode apalagi yang lebih menarik supaya mereka paham. Terharu saat ada salah satu siswa saya yang belum begitu paham huruf tapi tiba-tiba bisa nulis nama saya dengan benar di papan tulis tanpa saya suruh.

Selain itu, setiap hari saya menambah kosa kata Bahasa Sangihe dari anak-anak ini. Pagi itu saat saya sedang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia, kami belajar tentang nama-nama buah.

“Iya anak-anak, siapa yang bisa tebak ini gambar buah apa?”, sambil saya menunjukkan gambar apel.

“Apel Bu Guru! Apel!”, teriak mereka.         

“Iya betul. Ini Apel. Lalu kalau ini gambar apa?”, gambar jeruk yang saya tunjuk.

“Jeruk! Jeruk!”teriak mereka dengan riang.

“Wah hebat semua! Lagi ya.. Ini gambar apa anak-anak?”, saya tunjuk gambar pisang.

“Busa Ibu!”(Busa adalah pisang dalam bahasa Sangihe).

“Bahasa Indonesia Busa apa nak?”, tanya saya kembali.

“Busa ya Busa Buk!”, Jawab salah seorang dari mereka.

“Busa itu Bahasa Indonesianya Pisang”. Terang saya.

“Tala Ibu, itu Busa dang!

“Ore.. Ore.. Ini Busa depe nama su Sangir eng? ”Kong depe Bahasa Indonesia torang sebut Pisang”. (“Iya.. Iya.. Ini Busa Bahasa Sangirnya ya? Terus Bahasa Indonesianya kita sebut Pisang”. Jelas saya dalam bahasa Sangir.

“Iyo Bu! Pisang ya Bu? Pisang”. Ulang mereka.

Dengan mengajar saya dapat belajar dari anak-anak didik saya bahwa memang tidak ada orang bodoh di dunia ini. Yang ada mau atau tidak mau belajar. Orang yang mau atau tidak untuk melakukan perubahan. Orang yang mau atau tidak untuk merefleksi diri. Orang yang mau atau tidak menciptakan interaksi. Orang yang mau atau tidak untuk berbagi inspirasi. Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan ini. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua