Menghargai Ibu Sonya!

Deti Triani 3 Oktober 2015

Selama bertugas di SDN 2 Kepuhlegundi, saya ditugaskan kepala sekolah untuk menjadi wali kelas IV dimana tiga mapel kelas IV yang berjumlah 6 jam pelajaran diajarkan oleh wali kelas VI dan saya menjadi guru mapel matematika kelas 6 yang jumlahnya juga 6 jam pelajaran dalam satu minggu. Intinya, saya bertemu dengan kelas VI di kelas hanya 3 kali dalam satu minggu dimana setiap pertemuan hanya 2 jam pelajaran.

Dua bulan pertama, tenaga yang dibutuhkan sungguh luar biasa untuk mendapatkan perhatian atau titik “klik” dengan 17 siswa yang ada di kelas VI ini. Benchmarking. Mereka belum bisa move on. Maklum, saat mereka kelas 5, selama satu tahun angkatan ini di pegang oleh Pengajar Muda sebelum saya, Sonya Winanda. Jujur saya sudah tidak peduli jika dibanding-bandingkan. Sejak tahap Direct Assestment, kasus microteaching yang saya dapatkan adalah tentang pembandingan dengan PM sebelumnya. Saat digantikan dengan sosok saya, pastinya mereka menolak di awal. Ini sudah saya antisipasi berbagai kemungkinannya jika saya dibanding-bandingkan dengan seluruh PM sebelum saya oleh anak-anak di sekolah. Saya sudah menganggap ini hal wajar, mereka pasti menyimpan kenangan mendalam dengan Ibu Sonya. Saya pun sama sekali tidak akan memaksa supaya diterima sepenuhnya oleh anak-anak dalam waktu yang cepat.

Tak lebur ah Ibu Deti. Leburan abhelai Ibu Sonya” (Ga suka ah sama Ibu Deti, Lebih suka diajarin Ibu Sonya)

“Bu, Kalau sama Ibu Sonya begini...begini...beginiiii. dan begiiiiniii”

Saya hanya tersenyum. Setiap ada sinyal saya konsultasi dengan Ibu Sonya bagaimana caranya supaya kelas VI ini minimal mau perhatian dengan apa yang sedang saya ajarkan. Semua cara yang disarankan saya coba. Ada yang berhasil menyita fokus mereka, ada juga yang tidak. Sayangnya, cara yang bisa menyita fokus mereka adalah cara yang rasanya tidak mungkin saya terapkan untuk jangka panjang. Sebenarnya saat les, mereka lebih fokus mendengarkan saya, lebih cepat pula menangkap apa yang saya ajarkan. Ini karena mereka saya bagi 3 kelompok, sehingga lebih bisa dikontrol perhatiannya. Lagi-lagi, saya tidak bisa hanya mengandalkan les yang jumlah pertemuannya lebih sedikit dalam 1 minggu akibat dibagi 3 kelompok itu.

Hingga suatu hari saat masuk kelas saya hanya bisa terdiam melihat suasana kelas. Beberapa anak di luar kelas, beberapa anak berlarian, beberapa lagi ada yang berkelompok mengobrol. Lalu saya mencoba membuat anak-anak yang diluar untuk masuk. Setelah semua masuk, saya mematung sejenak di depan kelas. \

“Siapa disini yang sayang sama Ibu Sonya?”

“Hey, Mithek kanak! Apa, Bu?” (Hey, Diam teman! Apa, Bu?). Sahut salah satu anak

“Siapa disini yang sayang sama Ibu Sonya?”

“Ara apa Bu nanya seperti itu?” (Ada apa Bu nanya seperti itu?)

“Sepertinya Ibu Sonya di Jawa sana akan sedih kalau tahu anak-anaknya seperti ini terus. Ibu yakin pasti Ibu Sonya dulu mengajarkan kalian untuk menghargai, rajin belajar, berperilaku baik. iya kan?”

Semua terdiam mengarahkan perhatiannya kepada saya.

“Ayo jangan dilupakan apa yang telah diajarkan oleh Ibu Sonya. Ibu Sonya sudah berkorban banyak hal dan menerima untuk datang kesini, demi bertemu kalian, menjadi guru kalian selama 1 tahun. Itu pasti karena Ibu Sonya juga sayang sama kalian. Coba diingat lagi apa saja yang sudah Ibu Sonya ajarkan, Apa yang Ibu Sonya sudah berikan”

Beberapa siswi meneteskan air mata. Yang laki-laki masih fokus menatap saya.

“Ayo buat Ibu Sonya bangga! Buktikan kalau apa yang telah diajarkan Ibu Sonya itu tidak sia-sia. Buktikan bahwa kalian tetap akan rajin belajar. Dengan begitu kalian menghargai Ibu Sonya. Sekarang, yang mau belajar, yang mau memperhatikan Ibu, berarti dia menghargai Ibu Sonya”

Setelah momen itu, saya tidak lagi membutuhkan energi lebih untuk balapan suara dengan riuhnya suasana kelas yang saling sahut. Bahkan ada satu siswa yang di pertemuan sebelumnya tidak pernah mau memperhatikan saya, sekarang Alhamdulillah catatannya paling lengkap dibanding siswa lainnya. Saya juga jadi lebih mudah memahami sejauh mana mereka sudah menyerap materi yang saya ajarkan dan jadi acuan saya untuk pertemuan berikutnya. Sekarang setiap ada yang berisik di kelas, pasti satu sama lain mengingatkan.

“Mithek, Kanak! Ngiding ka Ibu! Bekna cakna ngahargai Ibu Sonya!” (Diam teman! Dengarkan Ibu! Katanya kamu menghargai Ibu Sonya!)

“Jadi, sekarang siapa saja yang menghargai Ibu Sonya?”

Semua anak mengacungkan tangannya.

Bismillah. Semoga suasana kelas akan terus terkendali sampai masa tugas saya selesai. Saya juga bisa lebih peka dengan keadaan anak-anak sehingga dapat mengevaluasi diri harus memaksimalkan di sisi mana. Ini bukan saya yang membuat mereka sekarang jadi lebih fokus memperhatikan, Ini memang karena Ibu Guru mereka sebelumnya sudah banyak memberikan kenangan yang mendalam dan inspirasi sehingga bisa jadi bahan bakar semangat mereka sendiri dalam belajar. Dan semoga nanti, ada celah juga bagi saya untuk dicintai juga oleh mereka, oleh seluruh anak-anak panyalpangan.

Tidak apa-apa kalau itu bukan sekarang, yang penting saya tidak boleh berhenti berusaha dan percaya. Lagipula tugas saya bukan menggantikan, tapi meneruskan. Meneruskan perjuangan dari para Pengajar Muda sebelum saya.  Dan karena saya pelari terakhir, maka yang saya bisa lakukan adalah memaksimalkan perjuangan. 

Kalau kata Pak Anies, harus tahan, tangguh dan tak patah. Jadikan semuanya menjadi pembelajaran. Take it easy! Semua peran pasti ada manfaatnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua