Diam-diam Bergerak

MuhammadZamrud Al Firdaus 9 Juli 2015

Sekitar bulan februari dan maret 2015, saya melihat perubahan ini terjadi, perubahan yang tidak pernah saya perkirakan sebelumnya. Perubahan itu terjadi pada sosok ibu guru muda honorer SD Inpres Sawangakar, kecamatan Kepulauan Botang Lomang, Halmahera Selatan. Anak-anak akrab memanggilnya dengan sapaan ibu Chan, nama aslinya adalah Mirsan Ahmad. Ibu Chan mengampu kelas empat dan sekaligus menjadi wali kelasnya. Selama ini Ia bersama-sama dengan guru yang lain senantiasa hadir menemani keceriaan anak-anak di kelas dari pagi hari sampai waktu pulang sekolah. Sebenarnya intensitas komunikasi saya dengan Ibu Chan tidak terlalu sering bahkan bisa dihitung dengan jari. Hanya sekedar saling tegur sapa di sekolah dan di luar sekolah. Sekalinya mengobrol panjang lebar itu pun tidak membicarakan tentang pendidikan ataupun sekolah.

Pada awal saya bertugas dan benar-benar masuk ke sekolah dan kelas, saya kaget dan sedikit terkejut tentang cara Ibu Chan menegur dan menertibkan siswa. Di tangan kanannya memegang rotan panjang yang jika dipukulkan ke badan atau tangan sampai menimbulkan bekas merah-merah, sementara jari-jari tangan kirinya siap meluncur membuat bekas di telinga atau di kulit tangan jika tersentuhnya. Melihat hal demikian saya bertanya-tanya pada diri sendiri, “masak sih sudah tahun kelima Indonesia Mengajar di sini, masih menggunakan cara-cara itu kepada siswa?”. Tentu saja anak-anak merasa ketakutan jika bertemu dengan Ibu Chan. Langsung saya simpulkan “oh ternyata cara itu sudah menjadi budaya di sekolah”. Kesimpulan itu pun mendapat pesetujuan dari orang tua siswa, mereka memberikan hak sepenuhnya kepada guru-guru dan juga saya jika anak-anaknya “melawan” atau “nakal” atau “tidak patuh” kepada saya, mereka bilang “pukul saja pa guru kalau di sekolah”. Baiklah, saya tidak akan memperdulikan hal itu, fokus kepada tugas saya sebagai pengajar muda di tahun terakhir Indonesia Mengajar di Halmahera Selatan ini.

Di sekolah saya mendapat tugas sebagai wali kelas lima, dimana kelasnya berdampingan dengan kelas Ibu Chan. Di kelas lima awal saya bertugas, saya mencoba memahami dan mengerti keadaan siswa. Setelah itu berpikir bagaimana caranya membuat siswa senang belajar, membuat kelas hidup dan siswa aktif dalam kelas. Sederhana, saya selalu mengubah posisi tempat duduk mereka sesuai dengan keinginan dan kenyamanan mereka dan jika mereka sudah bosan mereka ubah lagi dan terus ubah lagi. Karena kesenangan dan kenyamanan mereka itu, muculah ide dari mereka untuk membuat pohon ajaib di kelas. Siswa berkumpul mengambil pohon bakau mati kemudian mereka gantung hasil karya mereka apapun itu yang berhubungan dengan pembelajaran di kelas. Dengan kelas yang demikian memunculkan keingintahuan siswa kelas lain, hal itu ditunjukan dengan seringnya mereka berkunjung ke kelas lima.

Selain tugas di desa saya pun harus berkoordinasi dengan teman-teman pengajar muda lain di kota kabupaten, Labuha dengan meninggalkan desa satu sampai tiga hari sehingga saya tidak mengajar di kelas.  Suatu kesenangan yang tidak terpikirkan sebelumnya setelah saya balik dari kabupaten ke desa, tiba-tiba saya melihat ruangan kelas empat yang berubah menyerupai kelas lima malahan lebih bagus. Iya, Ibu Chan telah menduplikasi apa yang telah dilakukan siswa kelas lima. Ibu Chan melibatkan siswanya untuk membuat suasana kelas yang menyenangkan, baik mengatur posisi tempat duduk dan membuat pohon ajaib. Yang menyenangkan lagi Ibu Chan sudah jarang sekali pegang rotan, dan pembelajaran di kelas pun Ibu Chan selalu membuat keceriaan siswanya dengan bernyanyi dan metode tepok-tepok yang ia buat sendiri. Bukan cuma di kelas, ditambah lagi Ibu Chan ternyata juga memikirkan perkembangan anak dengan peduli dan mau mendampingi siswa lomba Final Cerdas Cermat di kota kabupaten, padahal sebelum-sebelumnya Ibu Chan jarang atau hampir tidak pernah mengurusi lomba-lomba yang berkaitan dengan pengembangan akademik siswa. Sehari sebelum lomba, siswa-siswi yang akan mengikuti lomba menginap di rumah Ibu Chan dan diberikan arahan dan sedikit latihan untuk menghadapi lomba. Keesokan harinya Siswa-siswi dan Ibu Chan terlihat ceria dan senang datang di tempat lomba dengan optimis. Dengan membawa nama kecamatan kepulauan Botang Lomang karena dalam babak penyisihan SD Inpres Sawangakar menduduki peringkat satu se-kecamatan dan berhak mewakili di tingkat kabupaten.

Saya pun masih bingung, seperti cerita saya di muka kalau interaksi saya dengan Ibu Chan itu sangat jarang. Ibu Chan yang jarang sekali berbicara dan bercerita, sosoknya yang pendiam tapi hadir selalu di kelas. Bagaimana Ibu Chan melakukan hal demikian? Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dicari jawabannya. Karena jawaban apapun itu, Ibu Chan sudah melakukan perubahan dan telah memberikan efek baik kepada anak-anak didiknya. Dengan momen ini pula, interaksi saya dengan Ibu Chan semakin terjalin baik dan saling membutuhkan. Sebuah kemandirian yang berujung pada kepercayaan untuk berkolaborasi membangun pendidikan desa Sawangakar.


Cerita Lainnya

Lihat Semua