Minggu Pertama di Semester Dua

MuhammadFirdaus Ismail 14 Februari 2016

Minggu itu, adalah minggu pertama masuk sekolah di semester dua, setelah hampir tiga minggu libur semester ditambah Libur Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Muridku yang semuanya beragama Kristen Protestan tentunya banyak kegiatan di gereja menyambut natal dan tahun baru.

Minggu itu, di minggu yang pertama aku pun tak langsung mengajarkan materi pelajaran kepada murid-muridku, baik kelas empat, lima maupun kelas enam. Apalagi materi yang aku ajarkan adalah Matematika, yang tentunya akan susah untuk langsung diterima anak-anak, karena pikiran dan aktivitasnya masih terbawa suasana liburan. Oleh karena itu, aku pun mengawali minggu ini dengan bermain dan merenung.

Merenungi apa? Iya, merenungi kebersamaan mereka dengan ku selama satu semester kemarin. Sebagai guru yang baru, ini adalah menjadi pengalamanku yang rasanya ‘nano-nano’ alias campur aduk banget. Antara senang, bahagia, unik, menantang dan khawatir. Khawatir apakah yang aku sampaikan kepada anak-anak bisa diterima oleh anak-anak. Khawatir apakah selama ini anak-anak merasa nyaman ketika belajar bersama ku. Dan khawatir apakah keberadaanku di sini memberi contoh dan pengaruh positif kepada anak-anak atau justru sebaliknya. Iya, itulah beberapa kecemasanku setelah melewati pengalaman satu semester menjadi guru di tempat yang sebelumnya tak pernah terbayangkan oleh ku. Tempat yang sangat berbeda dari apa yang aku lewati selama 23 tahun hidupku.

Dan minggu itu, di minggu yang pertama aku pun ingin mengetahui jawaban dari kekhawatiran ku tadi. Jawaban langsung dari sang penerima ilmu, jawaban jujur dari murid-muridku.

Jika selama ini, kebanyakan guru mendapat bahan evaluasi atau mendapatkan supervisi dari Kepala Sekolah dan atau Pengawas, kali ini aku mencoba hal baru. Aku ingin mendapatkan bahan evaluasi dari murid-muridku yang jujur. Karena merekalah yang sebenar-benarnya merasakan bagaimana kita membersamai mereka, mengajar mereka, dan mendidik mereka.

Minggu itu, di minggu yang pertama itu, aku pun mengajak muridku keluar kelas. Melanjutkan liburan mereka menikmati keindahan alam sekitar sekolah. Naik turun bukit, berlari, merayap, hingga akhirnya sampai di bukit tertinggi dekat sekolah. Bukit yang menampilkan hamparan laut yang luas di depannya, dan di sisi yang lain mempertontonkan pemandangan hutan dengan banyak hewan liar yang sedang asyik menikmati santapan paginya. Di bawah pohon rindang yang aku tak tahu namanya, kami menikmati angin sepoy yang seketika menyingkirkan lelah kami.

Di minggu itu, di minggu yang pertama dan di tempat yang ditemani angin sepoi dengan pahlawan-pahlawan kecilku, aku pun membagikan sepotong kertas kosong kepada setiap muridku. Kertas kosong yang sebentar lagi akan mempengaruhi cara mengajar dan mendidikku selama satu semester ini atau bisa jadi akan mempengaruhi cara ku membersamai anak-anak hingga aku benar-benar mempunyai anak (hehehe). Iya, aku membagikan kertas sebagai bahan evaluasi ku dalam mengajar.

“Anak-anak, sudah mendapatkan kertas semua?” tanyaku. “Sudah Pak...!.” jawab mereka dengan kompak dan semangat. “Oke, sekarang silakan kalian semua memejamkan mata.” Pintaku. “Buat apa ini pak?”, “Son mau pak,” dan komentar-komentar lainnya. Namun, setelah beberapa kali mengingatkan dan dengan sedikit berakting ala-ala pesulap yang ahli dalam hipnotis, anak-anak pun kompak memejamkan mata dan suasana menjadi hening. “Semua sudah hening, Silakan kalian semua membayangkan berada di tempat yang paling nyaman.” Pintaku. “Sudah, sekarang silakan kalian ingat-ingat kenangan yang menyenangkan dalam belajar satu semester bersama Pak Edo. Ingat ketika pertama kali pak masuk kelas, belajar bersama kalian, bermain bersama. Ingat bagaimana selama satu semester kemarin pak menyampaikan materi kepada kalian, dan apapun yang kalian alami bersama Pak Edo, ingatlah semuanya.” “Kalau sudah, silakan kalian membuka mata kalian, Silakan sekarang tuliskan pada kertas yang pak bagikan apa yang kalian ingat-ingat tadi.” Kemudian anak-anak pun menuliskannya dengan penuh semangat.

“Sekarang, pejamkan lagi mata kalian.” Pintaku sekali lagi. “Argghhhh.. apa lagi ini pak.” Begitulah respon muridku. “Bayangkan lagi tempat yang membuat kalian nyaman, sudah . . . “ “Sekarang silakan bayangkan kelas matematika yang menyenangkan buat kalian, pelajaran matematika yang selalu membuat kalian bersemangat untuk belajar. Bayangkan seperti apa gurunya, seperti apa teman-teman kalian, dan seperti apa suasana kelas yang membuat kalian nyaman belajar.” “Kalau sudah silakan tuliskan pada kertas kosong kedua. Tuliskan semua yang kalian bayangkan tadi.”

“Saya senang belajar bersama Pak Edo, saya senang belajar kartu bersama Pak Edo, saya senang belajar sambil bernyanyi, kami senang belajar di pantai, saya senang bersama Pak Edo.”

“Saya senang belajar Matematika, meskipun saya tidak pandai Matematika dan belum bisa perkalian, tapi saya senang belajar Matematika.”

“Kelas idaman kami adalah kelas yang indah, banyak gambar, gurunya baik, teman saya juga baik.”

“Kelas idaman saya adalah kelas yang penuh dengan hiasan, banyak pantun dan puisi, dan bunga. Saya ingin belajar matematika di lapangan dan di pantai.” 

Dan masih banyak lagi apa yang telah dituliskan oleh anak-anak ku. Terima kasih banyak nak, atas apresiasi yang kalian berikan kepada ku, dan terima kasih juga telah memberikan arahan kepada bapak untuk semester ke depan. Semoga kita bisa sama-sama membuat kelas matematika seperti kelas idaman kalian semua.


Cerita Lainnya

Lihat Semua