info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

3 Hal Hari Pertama

LizaraPatriona Syafri 14 Februari 2016

Hari pertama sekolah: bahagia, main, dan kurang enak badan.   Pertama kali menginjakan kaki di sekolah, Ucan teriak dari jauh, "Saketek! Saketek!" (baca: sedikit-sedikit). Itu adalah kosakata minang yang dia pelajari saat kami sebelumnya pernah bermain di pantai bersama-sama sambil mencari tudek (baca: kerang lumpur). Ada pula yang menyapa, "Nci Ara! Nci Ara!" (Baca: Ibu Guru Ara), suara Rianti. Lalu, anak-anak lain juga sahut-sahutan menyapa, padahal sebelumnya belum pernah bertemu. Berbondong-bondong yang lain keluar/terhenti membersihkan kelas, bagi mereka ada ibu guru baru membuat mereka penasaran, meskipun ikutan teriak tapi mereka malu-malu untuk bertemu.   Saya pun masuk ke kantor. Pertama kali punya meja kantor yang polos, hahaha. Rupanya, hari ini adalah hari pembagian raport, hanya saja ditunda karena ada guru yang belum menyelesaikan raport muridnya. Jadilah, saya keluar dan bermain bersama anak-anak. Berawal dari mengajarkan lagu gerakan maga-maga, twinis, hingga selamat pagi/siang/sore/malam ala Secapa AD yang selalu dilakukan PMXI. Kami bermain kucing tikus dan tebak hitung jari dengan bahagia, hingga saat duduk-duduk pun kami menyanyikan lagu-lagu yang pernah diajarkan Nci/Bapak yang pernah mengajar sebelumnya dari Indonesia Mengajar: Nci Yanti, Nci Eva, dan Pak Hanif.    Mulanya, anak-anak menanyakan lagu yang pernah dinyanyikan Pak Hanif saat perpisahan. Dari sanalah kami pun merekam lagu beserta ucapan untuk masing-masing Nci/Bapak guru. Saat menyanyikan lagu Sahabat Kecil untuk Bapak Hanif, ada yang mulai berkaca-kaca hampir menangis karena memang lagunya tentang perpisahan. Well, disitulah saya merasa bingung, hahaha. Akhirnya kami menyanyikan lagu-lagu bahagia yang pernah diajarkan Nci Eva dan Nci Yanti agar tidak ada pertumpahan air mata lagi. Saya pun mengirim rekaman lagu beserta ucapan dari anak-anak tersebut via chatting ke mereka (dengan penuh usaha mencari sinyal mumpuni di depan rumah, wkwkwk). Disamping itu, mereka juga minta diajari lagu-lagu dan tarian yang saya tahu (berhubung mereka mendengar rekaman lagu medley daerah yang pernah saya buat). Akhirnya, untuk mengisi waktu yang tidak jadi bagi rapor, kami pun berlatih tarian "hamko rambe yamko" dari Papua karena gerakan tariannya yang netral bisa dilakukan laki-laki perempuan. Sejujurnya, tenaga saya terkuras banyak mengajarkan mereka karena hampir semua gerakannya tentang melompat, hahaha.   Atas inisiatif Nci Dahlia (guru honor tempat saya tinggal), beberapa anak-anak SD Inpres Moilong pun diberitahu kalau ada rumah baca di daerah Lopon (aslinya: lokpon, tapi lama-lama dibaca lopon). Namanya rumah baca Nurul Izmi, yang mengurus Kak Baiya (masih numpang di rumah beliau). Awalnya, hanya pada anak-anak kelas 5, tapi ternyata yang datang kumpul di rumah Nci Dahlia ramai sekali. Hasilnya, sepanjang jalan kami dilihati warga karena memang anak-anak Moilong ini jarang bahkan belum pernah main ke Lopon.   Awalnya, ini adalah misi menyatukan anak-anak Lopon dan Moilong karena memang mereka jarang bermain bersama. Versi anak-anak Lopon, anak-anak Moilong nakal-nakal, kalau mereka lewat sana selalu saja "cari lawan" ingin berkelahi. Akhirnya, anak-anak Lopon yang biasa main di rumah baca tidak mau ikutan karena anak-anak Moilong ramai sekali memenuhi rumah. Hanya ada Astrid, Wanda, dan Ikram setelah dibujuk untuk ikutan dan kenalan dengan teman-teman dari Moilong. Astrid bilang kalau anak-anak dari Moilong selalu datang ke rumah baca, anak-anak Lopon tidak mau datang kesana.   Lagi-lagi, disitulah saya merasa bingung.   Ini adalah tantangan besar:  menyatukan anak-anak Moilong dan Lopon karena memang warga (termasuk orang tua mereka) kedua wilayah ini selalu ingin merasa unggul satu sama lain. Lagipula, anak-anak ini berasal dari dua sekolah yang berbeda, satu dari SD Inpres Moilong (tempat saya mengajar) dan SDN Bumibaru (yang cukup dekat dengan tempat tinggal saya), dimana kedua sd juga saling sama iri. Lengkap sudah, hmm..   Saat membaca buku dan mendongeng, tenaga saya makin terkuras. Pasalnya, saya memang kurang enak badan sejak pagi, barangkali ini adalah efek hujan-hujanan saat melapor ke Kodim saat berada di Luwuk (ibukota kabupaten), serta kena galigato (Orang Minang menyebutnya begitu, semacam gatal yang jika digaruk akan menyebar terus, jadinya gatal-gatal disekujur badan semalaman) saat menginap di tempat Nci Muawiyah (guru kelas 1). Well, sisa-sisa tenaga yang sudah dipakai saat melatih nari dan nyanyi anak-anak, serta sudah lari-larian ikutan bermain mulai menipis saat mendongeng bersama anak-anak. Akhirnya, wajah lelah mulai terlihat. Satu hal yang saya pelajari: anak-anak peka terhadap ekspresi dan mereka akan menyampaikan dengan polosnya kenapa wajah saya tidak "happy". Saya hanya tersenyum dan jujur bilang saya agak lelah karena kurang enak badan. Barangkali lebih baik begitu daripada dipaksakan to?


Cerita Lainnya

Lihat Semua