Perempuan, Wanita Perkasa

Muhammad 3 September 2012

 

(Sebuah cerita mengenai perempuan-perempuan Pulau Lipang, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara)

Hari jum’at sore pada minggu ketiga di pulau memukau ini, aku menemukan Ibu-ibu mulai mngangkut pasir dari pantai Mala (salah satu pantai menakjubkan di pulau) menggunakan karung-karung dan sedikit dari mereka menggunakan keranjang anyaman bambu yang digendong di punggung (biasanya mereka gunakan untuk mengangkut hasil kebun). Aku pun tertarik untuk turut mengangkut pasir bersama mereka sembari bercanda dan mendekatkan diri.

Perempuan-perempuan ini mengangkut pasir karena hari minggu besok, suami mereka akan kerja bakti merehab masjid. Butuh banyak pasir dan air untuk rehab masjid. Ibu-ibu luar biasa ini pun berinisiatif  mengangkut pasir pada hari jumat dan air dari sumur pada sabtu sore.

Mereka tidak sendiri. Seperti biasanya,  anak-anak kecil  mengekor ibunya bermain di pantai dan yang cukup besar membantu ibunya menyiapkan pasir sampai  siap angkut atau turut mengangkut pasir  tentunya dengan takaran mereka sendiri. Sungguh fenomena yang tidak biasa di kampung halamanku.

Bukan!  Aku tak bermaksud bicarakan mengenai gotong royong dan nilai-nilai kebersamaan, kau sudah bisa menyimpulkan sendiri dari sekelumit kisah ini. Aku juga tak mau membicarakan gender dan emansipasi, silakan kau nilai sendiri. Tapi memang perempuan-perempuan di sini berperan di banyak hal dari ranah domestik sampai pada ranah publik. Walaupun buatku tetaplah patriarkis.

Tidak ada perempuan dan anak perempuan makan semeja atau lebih dulu dari suami. Setelah sang suami dan anak laki-laki (yang sudah bisa membantu ayahnya) makan, sang ibu baru mengambil bagiannya sambil menyuapi si kecil.

Semua urusan rumah tangga diurus oleh perempuan; makanan, cuci baju dan piring, bersih-bersih rumah, dan urusan anak. Bahkan urusan dapur tidak hanya dalam hal memasak tetapi juga kebutuhan dasarnya seperti belanja dan bahan bakar yang harus dicari dikebun (pelepah dan sabut kelapa, ranting-ranting kayu) dan biasanya dicari bersama anak perempuannya.

Penghasilan utama penduduk sini memang dari hasil laut yang untuk saat ini, tidak bisa dikerjakan perempuan. Tetapi tunggu dulu, perempuan dalam hal ini bersama anaknya harus ke pantai menunggu suaminya kembali dari laut pada saat-saat sang suami biasanya datang. Mereka membantu membawa peralatan melaut, bensin, dan lainnya. Peran menjual ikan ke Kota Tahuna di pulau besar (mereka sebut daratan atau benua) juga dilakukan perempuan.

Beberapa perempuan di pulau ini juga berpenghasilan membantu perkonomian keluarga dengan menjual kukise (cookies) dan buruh cuci. Tidak hanya itu, untuk penghasilan tambahan dari hasil kebun, peran perempuan juga ada. Perempuan bersama anaknya (terutama yang perempuan) juga ke kebun, memetik pala, limun, membawa kelapa dan banyak hal.

Ya.... anak laki-laki di pulau kecil ini cenderung membantu dan mewarisi keterampilan ayahnya baik dalam mencari ikan, urusan mesin pambute (pum-boat), mesin generator, ataupun memanjat kelapa (yang beberapa anak perempuan punya keterampilan yang sama). Anak-anak laki-laki disini diajari untuk menjadi tulang punggung keluarga dan belajar mencari nafkah.  Akhirnya banyak anak laki-laki tidak meneruskan sekolahnya. Berbeda dengan perempuan, jika tidak segera menikah, maka mereka mendapat kesempatan lebih untuk meneruskan sekolahnya bahkan akhir-akhir ini bermunculan minat untuk  sampai pada jenjang perguruan tinggi. Ya.... secara statistik persentase perempuan sekolah jauh lebih banyak daripada laki-laki.... mengesankan!

Belum selesai....! aku tidak membual mengatakan perempuan juga berperan dalam ranah publik.

Ya..... suatu hari di pulau ini aku diundang dalam sebuah pernikahan. Acara dan hiasannya sangat sederhana, namun bukan itu yang mengagetkanku. Ternyata tamu yang datang untuk menyaksikan akad nikah adalah perempuan dan anak-anak yang menunggu pembagian kukise. Memang ada beberapa lki-laki “bertengger” yang tak lain adalah keluarga mempelai, dua saksi, penghulu, dan tentunya .... ehm-ehm “saya” bertindak sebagai pembawa acara dan fotografer sekaligus.

Fenomena ini tentu kutanyakan, dan ternyata..... gonjreng-gonjreng-gonjreng   semua acara, baik acara desa, rapat sekolah sebagai orang tua murid, rapat komite, dan sebagainya dihadiri perempuan. Perempuan di sini mewakili keluarga dalam ranah publik yang bersifat formal. Bahkan media informasi yang selama ini berjalan (pengumuman atau musyawarah setelah sholat jum’at) juga lebih banyak dihadiri perempuan.

Begitu dahsyatnya peran perempuan di pulau indah ini. Seorang ibu, isteri, asisten suami, penguasa rumah, wakil keluarga dan entah apalagi yang mungkin belum kutemukan di sini. Aku tak mau berkomentar mengenai isu gender di pulau ini, silahkan kau sendiri yang menilainya. Yang jelas prempuan di sini amatlah luar biasa. Perempuan di sini adalah wanita perkasa.


Cerita Lainnya

Lihat Semua