Pemalu bukan berarti tak Berani
Anggun Piputri Sasongko 2 September 2012Pertama aku menginjakkan kaki di sekolah, SD Inpres Oeoko. Aku mulai dengan menyapa mereka, “Hallo, selamat pagi?” tetapi tanggapan yang datang jauh dari ekspektasiku. Tidak ada balasan satu katapun, hanya diam memandangiku sebentar lalu pergi menjauh. Dalam hati, bagaimana aku mampu menaklukan mereka? Berapa lama? Akankah dalam kegiatan belajar mereka juga akan seperti ini? Pertanyaan ini bertubi-tubi memenuhi pikiranku. Ada rasa khawatir tentunya. Namun disaat yang bersamaan, ada pikiran positif yang sekelibat terpintas, ‘mungkin saja mereka pemalu seperti ini karena mereka terlalu senang kedatangan guru baru di sekolahnya’.
Aku menyebut mereka Mutiara Selatan. Layaknya sebuah mutiara, sesuatu yang sangat berharga. Mereka memang sangat berharga, murid-muridku yang selalu membuat tersenyum setiap hari, yang mempercepat kaki ini ingin segera menuju sekolah dan bertemu dengan mereka. Sesederhana sapaan, “Selamat pagi, Ibu” atau dari kejauhan mereka memanggil “Ibu Anggun” lalu sama-sama kami berjalan. Bahagia terasanya. Walaupun dengan pancaran wajah malu-malu. Tetapi aku tahu dalam diri mereka terdapat keberanian yang melebihi apapun, bahkan keberanianku berada disini.
Ternyata benar terbukti, mereka sesungguhnya anak-anak yang pemberani, hanya saja kesempatan yang tidak pernah diberikan untuk mereka. Sebagai guru mata pelajaran, adalah kegembiraan buatku karena dapat mengenal seluruh murid, dari kelas 1 sampai 6, tanpa terkecuali. Dan tentunya mereka akan memperoleh kesempatan itu dengan cuma-cuma. Kesempatan yang belum pernah mereka dapat dan rasakan sebelumnya.
Ketika aku mengajar dikelas, betapa terlihat begitu pemalunya mereka. Apalagi kalau aku tanya, siapa namamu? Kadang mereka tidak mau menjawab, kalaupun menjawab suaranya sangat pelan. Aku mulai dengan permainan, tetapi juga masih terlihat malu-malu. Sampai pada saatnya aku masuk pada materi pelajaran.
Kali ini materi yang kuajarkan tentang perkenalan. Aku membuat kalimat perkenalan pada selembar kertas warna yang kemudian kupotong-potong, sehingga kalimat tersebut terbagi menjadi beberapa kata. Hello. What is your name? My name is Anggun.. Aku memasang sebagian kata tersebut di papan tulis dengan mengosongkan beberapa bagian kata; ______ is your _____? My name ___ Anggun. Lalu aku meminta kepada mereka untuk melengkapi kata yang tepat pada bagian yang belum diisi tersebut. Caranya, mereka memilih kata-kata yang sudah aku taruh di meja secara acak, lalu mereka menempelnya di papan tulis.
Begitu dengan lantang aku bertanya “Siapa yang bisa melengkapi kata-kata ini? Kejutanpun datang, serentak hampir seluruhnya mengangkat tangan! Aku jadi bingung mana murid yang akan kupilih. Sampai-sampai aku mengulangnya dengan mengatakan “Ibu hitung 1 sampai 3 yang menunjuk tangannya paling cepat dia yang akan maju kedepan” Satu, dua, tiga! Alamak, jari malah menunjuk semua keatas, bahkan sampai berebut menyampaikan keinginannya masing-masing “saya Bu, saya!” Aku mecoba cara lain, “Duduk yang paling rapi dan tertib dia yang akan maju” dengan cepat mereka juga menunjukkan sikap paling tertib. Siapa sangka mereka kuanggap sebagai anak yang pemalu, sangat pemalu., nyatanya di dalam kelas ketika belajar mereka adalah anak-anak yang pemberani.
Aku menyadari bahwa sesungguhnya ada keinginan, kemauan dan semangat yang selama ini mereka pendam. AKU BISA, AKU INGIN JADI ANAK HEBAT, AKU TIDAK TAKUT, bersamaan ketika menunjuk tangan, mereka juga berbicara dalam hatinya. Seperti ingin menunjukkan pada dunia kalau mereka ADA.
Hanya saja selama ini kesempatan itu tidak pernah mereka dapatkan. Mereka terjebak dengan tuntutan untuk selalu mendengar tetapi tidak ada Kesempatan didengar. Mereka terjebak dengan buku cetak yang hanya diperintahkan untuk mereka baca tetapi tidak diberi Kesempatan bertanya. Mereka terjebak dengan ketakutan untuk menjawab, yang tidak memberi mereka kesempatan untuk menjadi berani. Mereka terjebak dengan kebisuan karena takut apabila banyak bertanya, akan di anggap sebagai “anak bodoh”. Senyum dan tawa mereka hilang karena dianggap tidak menghormati.
Bukankah kesempatan itu tidak terbatas? Selau ada dan dimana-mana. Apalagi mereka, dunia mereka, anak-anak, seharusnya menawarkan sejuta kesempatan. Berikan itu untuk mereka, biarkan mereka meraihnya. Ya, pendidikan yang layak.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda