Kemerdekaan Pars Pro Toto

Billy David Nerotumilena 2 September 2012

 

 “........Hiduplah Tanahku, Hiduplah Negeriku

Bangsaku Rakyatku, Semuanya.....”

***

Tentu teks lagu ini bukan merupakan sesuatu yang asing bagi kita, rakyat Indonesia. Tapi benarkah demikian?

Generalisasi yang masih mentah, karena tentunya juga bukan untuk semua rakyat Indonesia yang masih awam dengan Lagu Kebangsaan Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, ini juga sebuah fakta. Fakta tentang wawasan kebangsaan rakyat Indonesia. Hal yang mudah dijawab tentunya oleh lembaga survey manapun, berapa jumlah jiwa rakyat Indonesia yang memiliki pendapatan per kapita rendah sehingga terpinggirkan menjadi rakyat Indonesia berkasta rendah dalam hal perekonomian. Tapi, statistik tentang rakyat Indonesia yang tidak hafal atau bahkan tidak mengerti Bahasa Indonesia, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”, Pancasila dan sebagainya, apakah pernah dihitung dalam jumlah jiwa? apakah juga bisa dikategorikan sebagai kaum papa kebangsaan? Tentunya kita tidak bisa menjawab karena ini bukan merupakan rumusan statistik yang penting, karena Indonesia sekarang sedang demam statistik elektabilitas calon pemimpin bangsa, sehingga fakta seperti ini seringkali teralihkan dengan isu yang sedang dominan.

Pada penggalan lagu kebangsaan Indonesia Raya ini, tidak memiliki makna terselubung apapun. Sang Pencipta, W.R. Soepratman, tentunya memiliki harapan terhadap negeri dan juga rakyat Indonesia. Lagu kebangsaan ini diciptakan dan diperdengarkan pada publik, lebih dari seabad yag lalu. Saat berbicara mengenai harapan, tentunya diinginkan sebuah perwujudan, sehingga harapan itu menjadi kenyataan. Kini jauh kemudian perlu dipertanyakan, bagaimana wujud harapan tersebut, masihkah berbentuk gaib tak berwujud? Coba kita refleksikan dengan aktualisasi bangsa Indonesia saat ini, tentu relevansi maknanya perlu dikaji lebih mendalam.

Secara etimologi, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, susunan W.J.S Poerwadarminta, Tahun 2011, bangsa memiliki pengertian “kesatuan dari orang-orang yang sama atau bersamaan asal keturunan, bahasa, adat dan sejarahnya, yang di bawah pemerintahan sendiri”. Sedangkan rakyat merupakan “segenap penduduk suatu negara”. Dengan demikian, bangsa dan rakyat memiliki hubungan komplementer yang tidak dapat terpisahkan. Bagian terpenting dari pemaknaan ini, secara definitif, bangsa maupun rakyat merupakan suatu kesatuan, tidak ada pembedaan dan tidak ada pengecualian. Pemaknaan ini jika dikomparasikan dengan penggalan teks lagu kebangsaan Republik Indonesia ini memiliki makna yang mendalam terhadap cita-cita kebangsaan untuk melihat kesejahteraan dan perkembangan taraf hidup rakyat di dalamnya secara menyeluruh, tanpa terkecuali, tanpa melihat kondisi geografis wilayah, strata hidup dari sudut pandang ekonomi, gelar, keturunan, bahasa, warna lain dan faktor yang berpengaruh lainnya.

Kemerdekaaan hanya untuk sebagian rakyat Indonesia

Tahun ini, genap 67 tahun republik ini sudah merdeka dari segala jenis penjajahan dan penindasan. Era kolonial sudah berlalu. Tapi bentuk penjajahan itu sekarang berbeda. Penjajahan sekarang ini bernama disparitas. Dalam semua aspek pembangunan infrastruktur, sumber daya alam dan sumber daya manusia terjadi ketimpangan yang nampak ke permukaan atau hanya terasa di kedalaman.

Berikut ini beberapa data statistik terkait disparitas tersebut :

Tahun 2010

Presentase penduduk  buta huruf usia produktif :

DKI Jakarta      :    0.19 %

Papua              : 30.73 %

Presentase angka partisipasi sekolah usia 7-12 tahun:

DKI Jakarta      : 99,16 %

Papua              : 76,22 %

Presentase Penduduk Miskin:

DKI Jakarta      :   2,62 %

Maluku            : 28,23 %

Papua              : 37.53 %

Indeks Pembangunan Manusia

DKI Jakarta      : 77,60 %

Maluku            : 69,03 %

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012

Apa yang anda pikirkan setelah membaca data tersebut ?

Beberapa sampel data tersebut bisa jelas mendeskripsikan bahwa disparitas itu memang ada, dan mungkin akan selalu ada antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Tentunya masih banyak data statistik di berbagai aspek lain yang bisa menjadi bukti konkret adanya disparitas tersebut. Keterjangkauan secara geografis, komposisi sumberdaya, kecepatan pembangunan, dan semua alasan klasik yang menjadi penyebab disparitas tersebut.

Sebagai salah seorang Pengajar Muda, saya melihat tentunya setiap kasus yang menunjukkan adanya disparitas akan selalu tetap ada, bahkan mudah sekali ditemui. Setiap administratif wilayah, gejala kenampakannya juga pasti akan berbeda. Kasus disparitas di Maluku Tenggara Barat dengan Muara Enim, tentunya berbeda, demikian juga halnya di wilayah yang lainnya, baik di Indonesia barat ataupun di Indonesia Timur.

Terlepas dari semuanya itu, pilihannya jelas untuk kita, tetap mengernyitkan dahi dan berpangku tangan, atau mengayunkan langkah melakukan sesuatu?

Pars pro toto

Memperdebatkan justifikasi semata terhadap semua penyebab kenikmatan kemerdekaan,  yang ada akan terus menjadi friksi yang berkepanjangan. “Orang sini” tidak akan bisa menerima fakta buruk tentang kondisi “sini”. Kecenderungan “orang sini” hanya bisa menerima segala hal baik tentang kondisi “kesiniannya”, begitu pula “orang sana”, dimanapun jari telunjuk menunjuk semua tempat di peta Indonesia, kita tidak bisa menampikkan fakta tersebut.

Kotak diskriminasi tanpa kita sadari sudah mendarah daging, mari kita lihat apakah kita juga seperti itu?

Dalam Bahasa Indonesia, kita mengenal beragam gaya bahasa (majas), salah satunya adalah gaya bahasa tentang kemajemukan.Majas Pars pro toto, memiliki pengertian majas yang digunakan sebagian unsur/objek untuk menunjukkan keseluruhan objek (sumber:Wikipedia,2012). Sudah genap 67 tahun republik ini merdeka dan selama masih dijumpai disparitas yang, sah saja kita menggayakan dengan bahasa, bahwa kemerdekaan itu tetap pars pro toto. Kemerdekaan yang dinikmati sebagian orang, sebagian wilayah dan sebagian pihak.

Refleksi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-67.

Salam hangat dari Maluku Tenggara Barat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua