Malam Pertama di Doro Le’de
morinta Rosandini 1 September 2012Malam jumat, 30 September 2012
Malam itu bulan bersinar begitu terang, bulan purnama yang cantik. Saking terangnya saya dapat melihat jalan tanah menuju ‘kakus eksis’ dengan jelasnya, tanpa alat bantu lampu minyak sekalipun. Sepertinya malam itu bulan sedang bersahabat dengan saya.
Hei sebentar..kakus eksis? Apa maksudnya? Haha..yap kakus eksis, kakus terbuka, saking terbukanya, siapapun dapat melihat apa yang orang lakukan di dalam sana, walaupun hingga saat ini belum ada orang yang mau melihat kecuali sapi-sapi ibu yang bebas berkeliaran di luar rumah. Kakus eksis tersebut terdapat di rumah kedua saya di Bima, sebuah dusun di kaki gunung Tambora, Doro le’de (doro=gunung) namanya.
Malam itu adalah malam pertama saya menginap di doro le’de, salah satu dusun dari desa Labuan Kananga. Mengapa demikian? Karena eh karena...dari enam hari efektif belajar di sekolah, saya mengajar dua hari penuh di kelas jauh dari SD induk tempat saya mengajar, letaknya di dusun Doro Le’de tersebut. Dusun ini berjarak setengah sampai satu jam perjalanan memakai kendaraan beroda dua, dikarenakan kondisi jalannya yang buruk, menyebabkan desa ini jarang sekali disinggahi oleh orang.
Di atas (di atas/ke atas adalah istilah yang diambil orang-orang untuk menggambarkan letak doro le’de dengan desa Labuan Kananga) terdapat satu buah sekolah. Sebut saja namanya kelas doro le’de, kelas jauh dari SDN 01 Labuan Kananga, desa Labuan Kananga, kecamatan Tambora, Kabupaten Bima.
Malam itu adalah malam yang saya selalu nanti-nantikan, setelah 2 bulan berada di desa dan sudah berkali-kali mengajar di kelas doro le’de, baru kali ini saya mendapatkan kesempatan untuk menginap disini. Saya menginap di rumah seorang wali murid, mama Ida, mama yang ramah dan selalu punya banyak cerita, mulai dari tentang sambal Lombok hingga tentang tetangga yang kawin lari.
Yup sambal Lombok! Sambal yang menjadi andalan warga doro le’de, karena tahukah kawan, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, haha... dan bahwa sesungguhnya masyarakat doro le’de mayoritas warga pendatang dari Lombok. Sehingga ada banyak perbedaan yang saya rasakan ketika saya menjalani hari-hari di desa Labuan Kananga yang dimana warganya merupakan penduduk asli Bima, dengan ketika saya berinteraksi dengan warga doro le’de, yang jelas-jelas orang Lombok dan berbahasa sasak.
Menarik sekali rasanya menjalani dua dunia ini,dua dunia yang saat ini benar-benar dekat dengan saya. Di doro le’de hanya terdapat satu lokal, satu bangunan, namun satu lokal tersebut harus dibagi dua untuk dua rombongan belajar, kelas 2 dan kelas 5. Sehingga satu kelas akan ramai sekali setiap harinya, karena kelas tidak dipisahkan dengan sekat apapun.
Selain itu setiap hari angin berhembus dengan kencangnya ke dalam kelas, karena kelas kami memiliki jendela, tanpa daun jendela dan memiliki pintu tanpa daun pintu, bagaikan makan durian tanpa kulit (eh durian emang dimakan tanpa kulit ya) mmh...coba saya cari pengandaian yang lebih tepat, bagai memakai baju tak dikancing semoga pengandaian ini tepat). Kelas kami sebenarnya sudah lebih baik kondisinya dibandingkan satu tahun yang lalu, dimana anak-anak murid doro le’de masih belajar di bawah atap daun kelapa tua, berdinding, berkursi dan bermejakan kayu.
Bila dilihat kondisi yang lalu seharusnya kami banyak-banyak bersyukur sudah memiliki kelas batu, namun saya rasa anak-anak disini berhak mendapatkan fasilitas yang lebih layak lagi untuk mereka belajar. Sekolah tanpa berdaun jendela dan berdaun pintu, serta kelas campur tanpa bersekat, masih akan mereka “nikmati” hingga ada yang peduli dengan nasib mereka.
Mereka adalah anak-anak keturunan Lombok, yang tinggal di tanah Bima, mereka adalah anak-anak Indonesia yang memiliki semangat belajar tinggi. Mereka senang belajar dan yang paling penting mereka mau belajar. Pernah suatu saat ketika, lama sudah saya tinggal mereka, karena libur yang berkepanjangan (layaknya musim kemarau disini), Suhar, si manis bergingsul berkata:
“Ibu, kapan kita bisa pintar, kalau sekolah ndak masuk, kalau guru-guru ndak ada yang mau ke atas?”.
Miris saya mendengar Suhar berceloteh, ringan namun menusuk di kalbu. Pikiran saya pun menerawang jauh, akan jadi apa mereka ketika besar nanti bila tidak ada yang benar-benar peduli dengan nasib mereka saat ini, padahal mereka memiliki potensi yang luar biasa, mereka sama layaknya anak-anak yang tinggal di kota, mereka cerdas, ingin tahu banyak hal, senang bermain, suka pelajaran berhitung, tak berhenti berkejaran bersama teman, bedanya mereka hanya kurang beruntung dibanding anak-anak yang tinggal di kota. Mereka adalah pejuang-pejuang cilik doro le’de yang haus akan ilmu dan ingin melihat betapa luasnya dunia di luar sana.
Baiklah.... Kembali pada malam itu, malam terang bulan di doro le’de, malam itu sudah larut, saya terbangun dari tidur lelap, karena dinginnya cuaca di dalam kamar tempat saya menginap. Sebuah ruangan sempit berukuran kira-kira 3x2 m, udah berasa kuburan elite, sebuah ruangan yang hanya cukup untuk sebuah kasur tanpa perabot apapun di dalamnya. Malam itu saya berjalan keluar, menyusuri jalan tanah menuju sebuah tempat pembuangan air, alias kakus.
Apa hal? Tiada lain dan tiada bukan adalah karena saya kebelet pipis, huwaaaah...air dalam badan sedang mendesak keluar, layaknya pendemo di gedung DPR yang memaksa untuk masuk menembus pagar-pagar DPR. Segera saya berlari kecil menuju kakus eksis tersebut.
Teringat malam tadi saya makan dengan lahap, dengan asupan air dua gelas ukuran jumbo, sebuah kewajaran bagi saya bila saya makan di doro le’de, karena suguhan jamuan yang berselera super pedaaaaaas, amboi di lidah namun sedikit bersitegang di bagian perut. Apa daya selera Lombok memang mantabh luar binasa, pedas nikmat merangsang perut, ditambah siang hari terik saat capek pulang dari sekolah dan malam hari saat pulang dari mengajar les tambahan anak-anak doro le’de membuat selera makan semakin membuncah hebat. Walhasil malam itu adalah puncak dari seluruh perjuangan ketahanan tubuh akan reaksi terjangan sambal Lombok yang masuk secara beruntun ke dalam tubuh.
Malam itu, saya berjalan sambil menatap terangnya bulan, menuju tempat persinggahan para manusia melampiaskan hasrat alamiahnya, pipis. Pada awalnya kesunyian malam itu membuat say aragu-ragu melangkah, namun terangnya bulan pada malam itu telah membuat hati ini semakin mantab untuk segera menuntaskan panggilan alam. Malam itu semua berjalan lancar, ada hati yang terpuaskan, ada tugas yang tertuntaskan. Sehingga malam itu saya bisa kembali ke peraduan, kembali menjemput mimpi yang terputus.
Paginya, ketika ayam jantan mulai beraksi pada puncak-puncak pagar rumah, saya kembali terbangun dengan gelisah, kali ini tugas cobaan berat menanti, sesuatu yang sudah saya takutkan akan terjadi disini, namun saya tak menyangka ini akan terjadi begitu cepatnya. Saya kebelet BAB. huwaaaa......segala daya dan upaya saya kerahkan untuk berusaha agar meyakinkan diri bahwa panggilan alam ini hanya sekedar misscall belaka, namun apa daya desakan sambal Lombok membuat pertahanan nurani lebur seketika.
Cuaca yang begitu dingin di pagi hari sekan menjadi ‘pemandu sorak’ yang gagah mendukung panggilan alam ini untuk segera di tuntaskan. Sebenarnya bukan cuaca dingin yang membuat kaki ini enggan melngkah namun ketiadaan septic tang di doro le’de yang membuat kegiatan panggilan alam ‘berat’ mengharuskan saya untuk melakukan penggalian manual di balik rimbunnya semak-semak halaman belakang rumah.
Tak kuasa menahan godaan, akhirnya saya beranikan diri melangkahkan kaki menuju halaman belakang rumah. Terlihat hamparan lahan hijau luas membentang di depan mata. Sambil sedikit berlari, dan tak lupa mengambil seember air serta sebatang kayu kecil yang cukup kuat, saya putuskan dengan cepat, bahwa tempat kejadian perkara yang akan saya eksekusi sesegera mungkin dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya adalah di bawah rimbunnya pohon pisang.
Pagi itu pagi yang dingin, pagi cerah, pagi yang sunyi, semakin syahdu dengan kesuksesa saya dalam menuntaskan panggilan alam dadakan tersebut. Ada sebuah rasa kepuasan dalam batin dan juga rasa kebanggaan dalam diri, bahwa pagi itu rasanya saya sudah sangat-sangat menyatu dengan alam doro le’de. Ritual pagi tersebut membuat hati ini semakin mantap melangkah ke sekolah kembali, bertemu dengan pejuang-pejuang kecil doro le’de, kembali bercanda tawa ria dengan mereka, dalam rangka mennggali ilmu, karena saya yakin, masa mereka suatu saat akan tiba, menembus batas dunia. Membawa doro le’de menuju pentas dunia.
Cerita penuh dengan lika-liku, silahkan dinimkati saat anda sedang santai, atau saat sedang dahi berkerut, semoga dapat terhibur. Salam semangat dari Bima untuk seluruh pejuang pendidikan di manapun berada.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda