Ical dan Deo, Kepolosan Matutuang

Muhammad Ulil Amri 27 Agustus 2012

Negara kita adalah Negara Pancasila yang memiliki keragaman suku, budaya, adat, ras, bahasa, agama, dan perbedaan lainnya. Dengan berbagai perbedaan tersebut, banyak alasan untuk berpisah, menjadi negara-negara sendiri. Akan tetapi dengan semangat persatuan, bangsa kita dengan ikhlas mau untuk bersatu dalam kebhinekaan.ini adalah anugerah yang luar biasa yang perlu kita syukuri.

Sore itu langit masih tampak cerah. Angin semilir membelai pasir-pasir di pinggir pantai. Ombak-ombak seakan enggan untuk menghampiri rumah-rumah nelayan yang tepat di bibir pantai. Ketika itu aku sedang asyik menonton permainan voli. Kebetulan lapangan voli tepat di samping rumah tinggalku. Tiba-tiba dari jauh terdengar teriakan

“Pak Dulu...Pak Dulu.... (pak guru..pak guru)”

Dua bocah usia 3,5 tahun yang masih cedal memanggilku. Ical dan Deo. Dua sahabat itu memang akrab denganku sejak pertama kali bertemu. Kemanapun Ical pergi, disitu ada Deo. Kemanapun ketemu Deo, pasti ketemu Ical. Dan dimanapun mereka ketemu saya, pasti mereka selalu mengikuti langkahku.

“Pak Dulu..mo blajal..(pak guru.. mau belajar)”. Begitu perkataan Ical dan Deo ketika bertamu ke rumahku.

“Pak Dulu, kemana? Mo ikut” Atau, “Pak Dulu mo main”.

Aku sangat senang jika ketemu mereka. Lucu, menggemaskan. Mereka anak-anak yang cerdas. Di usia balitanya, mereka sudah fasih berbahasa Indonesia. Padahal bahasa ibu nya adalah bahasa Sangir.

“Ical mo belajar? Ayo ..” saya menimpali antusiasme mereka.

Kalau sudah begitu, Ical dan Deo akan mengambil buku bergambar, kemudian menanyakan semua yang ada di gambar itu.

“Pak Dulu..ini apa?” tanya Ical dan Deo serempak

“Kereta api,” jawabku.

“Ini apa?”

“Oto (mobil),” orang Sulawesi Utara menyebut mobil dengan sebutan oto.

“Ini apa?”

“Masinis, yang mengemudikan kereta api”

Kalau sudah capek, biasanya saya yang gantian bertanya persis dengan gaya mereka. Merekapun dengan jelas menjawabnya. Ini trik recal, hehe.

Kemana-mana dua sahabat ini membawa mainan dari kayu triplek yang dibentuk menyerupai senjata api laras panjang. Mereka selalu antusias memainkan “AK 47” nya. Keceriaan selalu terpancar dari raut muka mereka berdua.

Ical berpawakan agak gemuk, kulit coklat kehitaman, rambut kribo, dan dari ibu beragama Islam. Sedangkan Deo berpawakan kurus, kulit lebih putih, rambut lurus, dan dari keluarga Kristen. Dengan kepolosan mereka berdua, tidak ada perbedaan yang membuat mereka bertengkar atau saling bermusuhan. Bahkan mereka sangat akrab satu sama lain.

Begitulah representasi masyarakat Matutuang. Masyarakat di pulau kecil ini sangat beragam. Kebanyakan masyarakat Matutuang adalah orang sangir. Sebagian besar lahir dan pernah tinggal di filipina. Sebagian orang asli fiilipina. Ada pula yang dari manado, makassar, dan jawa. Sekitar 70 % Kristen, 30 % islam. Pemeluk Kristen sendiri terbagi menjadi 3 jemaat. Pertama, jemaat yang jumlahnya paling banyak yaitu GMIST (Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud), kemudian jemaat Menara Injil, dan Jemaat Kema Injil. Masing-masing memiliki gereja sendiri-sendiri. Sedangkan masyarakat muslim kebanyakan dari muslim Mindanao yang lama hidup di pulau Balut, Filipina. Ada satu masjid di pulau ini.

Dari segi bahasa, sangat beragam. Bahasa sehari-hari yang umum digunakan mereka adalah bahasa sangir. Ada pula yang berbahasa bisaya dan tagalok, bahasa yang digunakan oleh orang Filipina. Sebagian besar mampu berbahasa indonesa manado pasar, sebagian lain sama sekali tidak kenal bahasa indonesia. Beberapa orang biasa berbahasa inggris.

Dari keragaman tersebut, sebenarnya masyarakat disini punya banyak alasan untuk berkonflik, namun itu tidak terlihat. Masing-masing golongan saling menghargai dan menghormati golongan lain.

Ketika ada acara yang melibatkan orang banyak, pasti semua orang diundang. Masyarakat kristen yang ekonomi keluarganya bagus sering memotong babi sebagai hidangan. Uniknya, hidangan “spesial” ini tidak akan dikeluarkan sebelum tamu muslim pamit pulang. Mereka paham dan menghormati orang muslim tidak memakan babi. Sebagai gantinya mereka juga menyediakan daging ayam, ikan, dan sebagainya untuk tetangga yang muslim.

Ketika malam takbir hari raya idul fitri, masyarakat yang beragama kristen ikut meramaikan pawai takbir keliling. Bahkan, tidak jarang ada remaja-remaja kristen yang berpakaian layaknya orang muslim. Remaja laki-laki ada yang berpeci, berbaju koko, dan bersarung. Remaja perempuan ada yang berjilbab. Entah ini berlebihan atau tidak, namun semua ummat berbahagia tanpa adanya sekat.

Belum pernah ada kabar konflik yang menyebabkan permusuhan antargolongan di pulau ini. Barangkali mereka disatukan oleh perasaan senasib sepenanggungan. Hidup di pulau yang sangat kecil dengan keterbatasan akses. Satu sama lain saling membutuhkan.

Bagi saya, merasakan hidup di laboratorium sosial yang unik ini menjadi berkah tersendiri. Saya banyak belajar tentang perbedaan adat, budaya, dan agama. Saya belajar bagaimana golongan satu menghargai dan menghormati golongan lain. Saya belajar untuk menghilangkan sekat-sekat yang tidak jarang menjadi potensi konflik. Saya belajar bagaimana memandang manusia sebagai manusia, tanpa memandang suku, ras, golongan, dan agama sebagaimana kepolosan Ical dan Deo. Kepolosan Pulau Matutuang.

Matutuang, 18 Juli & 26 Agustus 2012

 01.00 AM

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua