Ramadhan dan Sudut Pandang Baru

Maman Dwi Cahyo 27 Agustus 2012

Pagi itu kami makan sahur bersama keluarga Koos. Zane, Evia, dan Menique Koos adalah keluarga dari Amerika yang sedang berkunjung ke Tarak. Mereka tinggal bersama kami selama 10 hari untuk berlibur, berbagi inspirasi, dan merasakan Idul Fitri di Tarak.

Aku menghabiskan satu piring nasi dan ikan bumbu rendang hasil masakan Mace yang super enak. Tak satu butir nasi pun tersisa (ya mungkin ada separuh butir nasi, yang jelas piringnya bersih). Begitu pula di piring bu Evia, bersih tak ada sisa makanan sedikitpun. Sementara di piring Pace dan Zane masih tersisa beberapa butir nasi. Saat bu Evia melihat piring Zane yang masih banyak sisa nasi di dalamnya, Bu Evia langsung menegur Zane untuk menghabiskan sisa-sisa butir nasi tersebut hingga bersih. Zane pun mematuhi apa yang dikatakan istrinya.

Bu Evia menjelaskan ke Pace, "Jadi, kami sudah biasa begini, kalau makan harus bersih dan tidak menyisakan satu butir nasi pun di piring. Mengapa demikian? Karena sayang dan masih banyak saudara-saudara kita di luar sana yang mungkin belum punya kesempatan untuk makan seperti kita, jadi tidak baik menyia-nyiakan satu butir nasi pun saat makan".

Sementara Pace memiliki filosofi yang berbeda. Setiap makan, pace menyisakan beberapa butir nasi di dalam piringnya. Mengapa demikian? Karena Pace percaya bahwa di luar sana juga banyak kehidupan selain manusia. Ada hewan-hewan, serangga, maupun tanaman yang membutuhkan makanan. Mereka membutuhkan makanan, namun mereka tidak bisa meminta langsung kepada manusia. Oleh karena itu, Pace menyisakan makanan tersebut agar tumbuhan, serangga, atau hewan lain dapat ikut merasakan makanan yang dimakan oleh Pace. Empati.

Sebelumnya aku hanya berpandangan bahwa sebaiknya memang setiap butir nasi itu dihabiskan, ambil seperlunya dan habiskan yang sudah diambil. Namun, dari kearifan lokal yang Pace anut tersebut, saya mendapatkan satu sudut pandang baru yang belum sempat terpikirkan sebelumnya, bahwa "Saling berbagi itu indah, tidak hanya sesama manusia, melainkan sesama makhluk hidup". Sampai sekarang aku masih tetap menghabiskan setiap butir nasi yang ada di piringku, namun pengalaman dalam memandang perbedaan prinsip tersebut memberikan arti sendiri dalam hatiku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua