Guru-guru Luar Biasa Menanamkan Nasionalisme (part II)

Muhammad Ulil Amri 26 Mei 2013

Judul diatas saya tambah dengan part II dalam tanda kurung karena sebelumnya sudah ada tulisan di blog  ini yang menceritakan guru-guru SDN Matutuang oleh PM II, Yuri Alfa Centauri, Pengajar Muda sebelum saya di pulau Matutuang.

Menjadi bagian dari masyarakat pulau kecil bagi orang yang biasa dengan kenyamanan kota tidaklah mudah. Keterbatasan akses transportasi dan komunikasi menjadi alasan utama pulau paling utara indonesia ini disebut terpencil. Keberadaannya di klaster perbatasan Indonesia-Filipina menjadikan pulau ini termasuk pulau terluar.

Setidaknya itu yang saya rasakan sebagai Pengajar Muda. Saya kira tidak ada yang mau mengajar di tempat seperti pulau Matutuang yang superkecil dan terpencil ini. Namun anggapan itu terpatahkan karena disini ada guru-guru luar biasa yang bersedia mengabdikan diri demi kemajuan anak bangsa.

“Anak bangsa?”

 Awalnya saya mempertanyakan definisi anak bangsa di Matutuang ini karena sebagian besar anak-anak disini adalah anak-anak yang dilahirkan oleh “imigran” dari Filipina. Kurang tepat disebut imigrak karena sebenarnya mereka masih diakui sebagai warga negara Indonesia yang lahir, besar, dan tinggal di Filipina, bahkan banyak pula yang menikah dengan warga sana. Sehingga seakan-akan mereka mempunyai dua kewarganegaraan. Apalagi warga perbatasan baik Indonesia maupun Filipina masih leluasa melintasi batas negara tanpa dokumen resmi. Oleh karena itu, rasa nasionalisme mereka bisa jadi terbelah dua, Indonesia-Filipina.

Siapa yang mengajarkan anak-anak ini tentang Indonesia? Siapa yang membiasakan mereka dengan berbicara dengan bahasa Indonesia? Siapa pula yang mengajarkan mereka tentang hal-hal yang berbau Nasionalisme?

Jawabannya mudah ditebak. Ya, tentu saja guru-guru di sekolah Matutuang yang meletakkan konsep dasar rasa bangga berada di wilayah NKRI. Namun jika tidak ada mereka, tentu kita akan kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas.

Guru-guru luar biasa di SDN Matutuang adalah Ibu LT Nanangkong (Kepala Sekolah, PNS), Bapak PD Sumolang (PNS), Bapak DS Lukas (PNS), Bapak DH Wawo (honorer), Ibu Ponganton (honorer), Ibu Malbia Salor (honorer), Ibu R Kainage (honorer), dan Bapak B Mokansi (honorer).

Hanya sedikit guru yang mau ditempatkan di pulau. Bahkan seringkali PNS baru yang mendapatkan SK penempatan di pulau Matutuang tidak pernah menginjakkan kaki sama sekali di pulau ini. Ditengah keengganan sebagian orang untuk mengajar di pulau terpincil, mereka tampil dengan semangat ambil bagian dalam melunasi janji kemerdekaan: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Setiap pagi, sebelum masuk kelas, siswa-siswa berbaris terlebih dahulu untuk melaksanakan apel pagi. Dalam apel tersebut siswa-siswa menyanyikan lagu wajib nasional, disusul dengan berdoa, kemudian arahan dari guru. Kegiatan apel ditutup dengan penghormatan kepada sang Merah Putih.

Ibu Ponganton, pensiunan PNS yang masih setia mengabdi dalam setiap kesempatan pelajaran Seni Budaya mengajarkan anak-anak lagu-lagu wajib nasional. Pak Lukas dengan gitarnya mengiringi anak-anak menyanyikan lagu “gugur bunga” di kelas 5 dan 6. Tidak ketinggalan ibu LT Nanangkong mengajari anak-anak ber-dirigen lagu Indonesia Raya.

Barangkali hal seperti ini adalah hal sepele yang biasa di sekolah-sekolah kota atau sekolah-sekolah di daratan. Namun ini menjadi hal yang patut diapresiasi setinggi-tingginya karena mereka menularkan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia di tempat yang nyaris menenggelamkan tema Keindonesiaan.

Menurut penuturan Ibu Ponganton, ketika awal berdirinya SD di Matutuang sekitar tahun 2002, anak-anak tidak tahu sama sekali dengan bahasa Indonesia. Mereka terbiasa dengan bahasa Bisaya (Filipina) karena orang tua menggunakan bahasa Bisaya. Sebagian lagi menggunakan bahasa Sangir. awal-awal ibu ponganton bingung karena sulit  berkomunikasi.

Penanaman konsep nasionalisme sangat penting dilakukan sejak dini. Apalagi urgensi di pulau yang terkenal sebagai penghasil sirip hiu ini menjadi pulau persinggahan orang-orang Filipina yang mengail ikan atau membeli hasil tangkapan ikan warga Matutuang. Keberadaan orang-orang dari luar negeri ini tentunya memengaruhi anak-anak, apalagi orangtua mereka (bahkan anak-anak) sangat mudah melintas menuju Filipina. Bahkan sekitar awal Mei lalu, puluhan orang Matutuang melintas ke negara Filipina untuk mengikuti Pilkada Balut ( Nama salah satu kabupaten  di Filipina yang paling dekat dengan Sangihe). mereka masih tercatat sebagai daftar pemilih disana padahal mereka juga tercatat sebagai warga Pulau Matutuang (baca: Warga Negara Indonesia). Satu hal yang hampir tidak mungkin terjadi. Nah lho....

Tahuna, 26 Mei 2013

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua