info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Belajar Malam

Khairil Hanan Lubis 26 Mei 2013

 

Dulu, waktu aku masih SD, malam saat hari sekolah berarti harus ada buku yang terbuka di hadapan. Entah mengerjakan PR, menyalin catatan, menghapal karena besoknya mau ulangan, atau sekadar ada buku yang terbuka. Kalau belum selesai PR tak boleh nonton TV. Jam 9 sudah harus menyusun buku sesuai mata pelajaran besok dan tak lama sesudah itu mata harus mulai tertutup.

Begitulah malam-malam masa sekolah dasar dulu. Meski berawal dengan kata ‘harus’, tapi kemudian terbentuk menjadi sebuah budaya belajar. Dan manfaatnya kusadari beberapa tahun kemudian.

Kini, anak-anakku di Lamdesar Barat, juga ‘harus’ ditularkan budaya tersebut. Maka, kami pun memulai 'belajar malam'.    

***

15 September 2012. Belajar malam pertama dengan melibatkan siswa satu kelas pun dimulai. Sebenarnya, tiap malam sudah biasa ada belajar malam di rumah, tapi dikhususkan bagi yang belum tuntas materinya.

Nah, malam ini seharusnya giliran lima orang yang belum bisa pembagian untuk datang. Tapi rupanya yang lain protes. Mereka menuntut hak yang sama. “Katong mau lebih ngerti lai.” Akhirnya semua sepakat untuk belajar bersama. Dua orang bersedia bawa tikar, belajar malam pun siap digelar.

Jam di tanganku menunjukkan pukul 19.00 WIT, waktu yang sudah disepakati bersama. Belum ada satu pun yang datang. Padahal sambil menunggu tadi, aku sudah membuat banyak materi soal untuk disesuaikan dengan masing-masing kemampuan anak. Sampai 19.30, belum ada juga yang datang. Aku menduga mereka saling menunggu dan akhirnya malah tak ada yang datang. Hampir jam delapan, terdengar suara ribut anak-anak dari luar. Aku langsung tersenyum. Mereka pasti datang.

Dua tikar itu langsung digelar di dalam rumah. Aku duduk di tengah. Beberapa orang yang masih belum tuntas duduk dekat denganku. Mereka mendapat karakter soal yang berbeda dengan yang sudah lancar.

Banyaknya anak memang membuatku sedikit kerepotan dengan jenis soal yang berbeda-beda. Mereka berebut minta periksa kalau sudah selesai dan langsung minta soal baru. Tapi kami semua memang benar-benar antusias malam itu.

Ada satu anak namanya Susi. Ia termasuk yang datang ke rumah malam sebelumnya dan sampai berakhir belum juga bisa memahami konsep pembagian. Tapi malam tadi, ia bisa! Waktu ku bilang dia sudah bisa, Susi terlihat senang sekali. Tiap soal disambutnya dengan antusias. Bahkan saat ku minta dia mengajari teman yang masih belum bisa, dia pun dengan senyum merekah melakukannya. 

Pak Ohi, bapak piaraku,  yang notabene pensiunan kepala sekolah juga seolah bangkit jiwa mengajarnya. Ia ikut duduk di antara kami dan membantu anak-anak mengerjakan soal. Luar biasa kurasakan semangat malam itu. Hingga tak terasa sudah hampir pukul 22.00.

“Besok pinjam papan tulis dari rumah Pak Ongir untuk belajar di rumah. Tinggal cari kapur,” kata Pak Ohi saat semuanya sudah pulang. Aha, dukungan dari pemilik rumah inilah yang paling aku butuhkan. Pak Ohi memang tersentak saat di malam sebelumnya dia mendapati murid-muridku kelas VI masih kesulitan operasi penjumlahan dan pengurangan.

Malam itu, meski terasa sangat lelah, aku tertidur sambil tersenyum.

***

Sejak malam itu, belajar malam pun terus berlangsung saban hari. Sama seperti belajar siang di perpustakaan. Kalau siang untuk mengejar ketertinggalan materi, sementara malam pemantapan materi pelajaran hari itu. Hanya hari Sabtu dan Minggu yang libur.

Tempatnya tak lagi hanya di rumahku. Dengan sistem ‘arisan belajar’, tempatnya digilir dari rumah ke rumah tiap anak. Tiap pagi diundi siapa yang akan menjadi tuan rumah untuk belajar malam harinya.

Meski secara umum keadaan ekonomi masyarakat hampir sama, tapi secara spesifik kondisi keluarga tiap anak tentu berbeda, termasuk kondisi rumahnya. Salah satu siswaku, ada yang rumahnya belum punya listrik dan berlantaikan pasir. Saat giliran di rumahnya, sempat terjadi kegaduhan sebelum belajar. Pertama, karena gelap. Kedua, ada satu anak yang membawa tikar, tak mau membuka tikarnya karena langsung di atas pasir. Pelan-pelan situasi mulai tenang. Aku mulai bersuara mengajukan soal-soal pertanyaan. Dengan cahaya pelita, kami pun belajar.

Hebatnya, walaupun sering salah menulis soal karena gelap, anak-anak itu tetap semangat. Bahkan saat kemudian aku memberi mereka tugas 2 soal untuk dikerjakan di rumah, mereka terus menuntut tambah hingga akhirnya 5 soal. Senang aja rasanya mendengar teriakan-teriakan mereka minta terus tambah soal. Ya walaupun setelah diperiksa, sebagian besar salah semua. Hehe...

Kesan pada tiap rumah berbeda. Tapi kami menjadi lebih kenal satu sama lain, termasuk dengan orang tuanya. Hampir di tiap rumah, orang tua sang anak selalu mengikuti proses belajar-mengajar kami. Di rumah yang belum ada listrik tadi, sepanjang belajar mamanya dengan sabar memegangi senter ke arah buku-buku kami. Bahkan tak hanya orang tua, seringkali para tetangga dan anak-anak lain pun ikut dalam ruang belajar kami. Ya, kami belajar bersama.

Belajar malam juga mempengaruhi perasaanku –atau kami, sebelum tidur. Bagaimana suasana belajar malam itu amat menentukan. Pada satu waktu, aku bisa menutup mata sambil tersenyum-senyum. Dan pada waktu yang lain, sambil menahankan kepala yang sakit.

Anak-anak juga mulai terbiasa untuk membuka buku malam hari. Saat aku membagi waktu belajar malam untuk persiapan Olimpiade Sains Kuark, anak-anak lain yang tak ikut persiapan, membentuk kelompok belajar mereka sendiri. Mereka atas inisiatif sendiri, memilih salah satu rumah sebagai tempat belajar, dan mempercayakan salah satu di antara teman mereka untuk menjadi gurunya. Padahal, aku hanya meminta mereka untuk belajar di rumah masing-masing. Aku bahkan baru tahu, saat di malam berikutnya dua anakku datang berniat pinjam spidol. “Untuk mengajar di rumah,” kata Bobi, salah satu anak itu.

***

Kini, aku tak perlu lagi mengingat masa kecilku untuk merasakan kembali nuansa malamnya anak sekolah. Belajar malamku yang sekarang terasa lebih komplit. Kami, di Lamdesar Barat, punya cerita belajar malam kami sendiri.

 

Salam,

Manise Tanah Beta

 

* Katong             : kami/kita

   Lai                       : lagi

  


Cerita Lainnya

Lihat Semua