Suhar

morinta Rosandini 26 Mei 2013

Senyum manisnya,

candaan nya,

dan

uluran tangannya sepulang sekolah,

semua itulah yang kurindukan dari seorang gadis kecil bernama Suhar.

Suhar lahir di Lombok 12 tahun yang lalu, kemudian berpindah tinggal di beberapa tempat di Sumbawa dan Bima, hingga akhirnya Suhar menetap di sebuah dusun sepi, bernama Doro Le’de. Sebuah dusun tempatku mengajar di kelas jauh, atau kelas gunung aku menyebutnya. Karena memang letaknya sedikit di atas bukit, atau 45 menit dari pesisir pantai. Di sekolah gunung ini pulalah aku dipertemukan dengan sosoknya. Saat pertama bertemu denganku Suhar sama dengan anak Lombok lainnya, malu-malu. Namun seiring kami sering berinteraksi dalam kelas dan di luar kelas membuat Suhar sudah tak lagi malu untuk bercerita dan berbagi dengan ku. Dua bulan, tiga bulan berlalu, Suhar menjadi salah satu murid yang spesial di mataku. Bukan karena kemampuan menulis atau kecerdasannya dalam berhitung yang membuatnya spesial, tapi karena keceriaan, antusiasme dan semangat yang dibawanya di dalam dan diluar kelas. Dialah selalu yang berhasil menggiring teman-temannya untuk melakukan banyak hal pengaruhnya cukup kuat, dia bagaikan ketua gank bagi anak-anak peremuan di kelas ku. Selain itu kecakapan Suhar dalam membaca ayat suci Al-Qur’an pun membuatku semakin kagum dengan gadis kecil satu itu. Setiap sore di mushola dusun, setelah selesai adzan magrib berkumandang, suara Suhar-lah yang membacakan sholawat Nabi. Suaranya merdu membahana di dusun kami.               

Aku masih ingat sholawat yang sering dilantunkan oleh Suhar hingga sekarang. Karena sepulang sekolah Suhar pernah mengajarkannya padaku, dengan nada Lombok yang khas.

“Allahummaghfirlana dzunubana, wadzunuba wali daina, warrhamhumma kama robbayana sighoro, Ya Allah hu Ya Rahman, ampunilah dosa kami, dan segala dosa ibu bapak kami, sayangilah keduanya seperti mereka menyayangi kami di masa kecil”.

Rindu rasanya ketika mengingatnya kembali. Ya rasa itu adalah rindu, karena sosoknya sudah tak dapat kutemui lagi berkeliaran di kelas. Suhar kini telah pergi, pergi jauh dari dusun kami. Di awal semester baru ini, Suhar diajak ayahnya untuk tinggal dan bersekolah di Lombok, tempat kelahirannya, kampung halamannya. Keputusannya untuk bersekolah di Lombok, dikarenakan ayahnya yang menginginkan agar Suhar dapat bersekolah setiap hari, tidak seperti di kelas jauh kami, yang gurunya masuk seperti jam “kuliah”, antara ada dan tiada. Ayah Suhar menginginkan pendidikan yang lebih baik bagi anaknya, sehingga beliau memindahkan Suhar ke kampung halamannya.

Ketika aku mengetahui keputusan ayahnya untuk pindah, hatiku berdegup kencang, tak akan tahan aku menahan tangis. Kepergiannya mendadak, bahkan Suhar tak sempat berpamitan denganku, yang ada hanyalah kabar kepergiannya yang begitu cepat. Kini tak ada lagi Suhar di kelas jauh kami, tak ada lagi senyuman manis itu, tak ada lagi lantunan doa di masjid saat magrib tiba. Murid kelas jauh yang sedikit pun semakin sedikit dan semakin sepi tanpa kehadiran Suhar.

Beberapa hari setelah kepergiannya, Suhar menghubungiku lewat telepon. Suhar mengabari bahwa dia sudah sampai di Lombok dan sangat senang sekali akan bersekolah di tempat yang baru, di akhir teleponnya Suhar bilang “Kangen sama buk Morin”. Aku pun berkata, “Ibu juga kangen sama Suhar, baik-baik disana ya, sekolah yang rajin, jangan lupa sama pelajaran disini”.

Suhar memang sudah tidak lagi ada di dusun kami dan di sekolah kami, tapi semangat nya untuk terus belajar tetap mengalir dan terus menular pada teman-teman seperjuangannya disini.

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua