Cerita Murid 1 (Jonathan dan Roina)
Muhammad Ulil Amri 16 Oktober 2012Akhirnya, setelah sekian lama di pulau saya bisa menuju kota untuk membahas program kabupaten sekaligus melepas kangen dengan teman-teman PM, belanja logistik, berkomunikasi dengan keluarga, dan mengkoneksikan diri dengan dunia luar. Hehehe....
Kali ini saya mau menerbitkan cerita tentang murid-murid saya secara berkala (kala-kala terbit, kala-kala nggak).
Oke, cerita akan segera saya mulai. Satu...dua...tiga...
*
Pagi itu seperti biasa saya berangkat ke sekolah. Hari-hari menjelang perayaan 17 Agustus sekolah kami mengadakan berbagai lomba untuk anak-anak SD. Untuk sementara kegiatan belajar di dalam kelas diganti dengan lomba. Ya, lomba memang menjadi salah satu cara mengekspresikan kegembiraan dalam menyambut HUT RI. Disamping itu lomba juga mengajarkan anak-anak untuk belajar bekerja sama, disiplin, sportif, dan menanamkan rasa cinta tanah air sejak dini.
Pertandingan hari ini adalah bola voli. Pertandingan demi pertandingan diselenggarakan dengan lancar. Seusai pertandingan, anak-anak bermain. Ada yang meneruskan main voli, ada yang main sepak bola, bulu tangkis. Ada pula yang bermain keroncong.
Saya sedang mengamati kegiatan anak-anak. Tiba-tiba ada anak yang menangis. Saya menghampirinya. Ternyata Roina, anak didikku kelas tiga yang menangis sesenggukan. Dia bilang raket yang dimainkannya direbut oleh Jonathan, anak kelas lima. Saya pun menemui Jonathan dan menyuruh dia mengembalikan raket. Dia mengembalikannya padaku. Namun tiba-tiba gantian Jonathan yang menangis. Loh... saya jadi serba salah. Sambil nangis, Jonathan bilang kalau dia ingin sekali main raket, namun dari tadi Roina tidak mau bergantian bermain. Akhirnya dia merebut paksa raket tersebut. Duarrr...menangislah dua orang. Saya berusaha mendamaikan mereka, namun Jonathan malah lari sambil menangis. Sedangkan anak yang satunya tidak mau lagi bermain. Saya jadi clingak-clinguk sendiri.
Bel berbunyi tanda waktu untuk pulang. Saya tidak langsung pulang. Seperti biasa, saya ngobrol-ngobrol terlebih dahulu dengan guru-guru. Setelah puas ngobrol, saya pulang. Sesampai di rumah saya melihat Jonathan duduk di ayunan dekat rumah saya. Murung. Saya masuk, ganti pakaian, dan berencana mandi, karena siang itu matahari membuat badan ini basah kuyup. Sebelum mandi saya menemui Jonathan.
“John, marah sama pak guru?” tanyaku.
Jonathan diam.
“Kalau pak guru punya salah, pak guru minta maaf ya”. Dia masih tetap diam.
Karena tidak merespon, sayapun beranjak ke kamar mandi.
Anehnya, ketika saya mandi, ada suara gemericik air di luar samping kamar mandi. Setelah selesai mandi, saya melihat Jonathan membawa dua ember air kemudian mengisikannya ke penampung air hujan yang ada di samping kamar mandi. Aneh sekali anak ini, pikirku. Tapi aku senang karena saya menduga dia tidak marah kepadaku.
“Sudah jo, kamu capek nanti. Istirahat saja.” Kataku pada Jonathan. Sejak kejadian itu, Jonathan lebih mudah untuk saya dekati.
Adapun Roina sepertinya merasa tidak pernah terjadi apa-apa. Biasa, anak-anak memang mudah ngambek, tapi mudah lupa pula. Jadi, dia tidak mempermasalahkan perseteruannya dengan Jonathan.
**
Saya juga punya cerita menarik dengan Roina. Anak kelas tiga ini unik. Dia sangat suka menggambar. Hampir di setiap pelajaran dia selalu menggambar. Ketika jam pelajaran apapun, Roina pasti menggambar. Padahal dia masih belum bisa membaca dengan lancar. Kemampuan berhitungnya juga masih terbatas. Jika diminta untuk beralih meninggalkan gambarnya untuk belajar yang lain, dia selalu tidak mau. Menggambar dan selalu menggambar.
Pagi itu hari Selasa anak-anak menuntut pelajaran olah raga. Seharusnya jadwal olah raga adalah hari Senin. Namun karena hari Senin sedang ada kegiatan kerja bakti, maka tidak ada jadwal olah raga. Padahal anak-anak sangat suka olah raga. Saya tak kuasa menahan anak-anak. Mereka berolahraga main sepak bola. Saya menatap mereka dari dalam kelas. Ada satu anak yang masih di dalam kelas. Siapa lagi kalau bukan Roina. Saya mencoba mendekatinya. Saya bilang mau bermain dengan angka-angka.
“Mari kita bermain dengan angka di papan tulis. Kita bermain pengurangan.”
“Main angka?” tanyanya sambil tangannya masih menggores-goreskan pensil di buku tulis.
“Iya, Mari main angka. Nanti kamu menulis angka dengan kapur ini”.
Tak disangka, Roina menyambut ajakanku. Kesempatan langka, pikirku. Dia sangat antusias. Ini kesempatan saya untuk mengajari dia berhitung. Dia senang bukan kepalang. Saya beri dia soal langsung di papan tulis. Kemudian dia ambil kapur. Sepertinya dia senang sekali bisa bermain kapur di papan tulis. Mungkin ini adalah pengalaman pertamanya ia menggoreskan angka di papan tulis.
Meskipun masih belum sepenuhnya bisa, dia sangat antusias belajar. Ini point yang membuat saya bangga. Dari sini, saya menemukan cara sederhana bagaimana mengajak anak untuk belajar tanpa harus menghilangkan kesenangannya.
Menghadapi anak-anak sungguh penuh teka-teki. Terkadang saya tercengang sendiri dengan kelakuan anak-anak yang tidak bisa ditebak. Sangat dibutuhkan kemampuan untuk memahami kepribadian peserta didik agar kita bisa memberikan treatment yang tepat kepada mereka. Jangan sampai apa yang kita lakukan membuat perkembangan anak terhambat.
Anak adalah anugerah Alloh dengan berbagai keistimewaan. Karena istimewa, kita harus memperlakukan mereka dengan istimewa pula.
Matutuang, Oktober 2012
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda