Haini, Putra Dan Cita - Cita Sederhananya

Muh Asnoer Laagu 11 Desember 2011

Pagi ini adalah hari yang istimewa karena bertepatan dengan hari guru, seperti dengan hari – sebelumnya tidak ada suatu kegiatan istimewa untuk menyambut hari guru tersebut. Yang ada hanyalah proses kegiatan belajar mengajar seperti hari sebelumnya dan seperti biasa guru – guru pun hanya 1 – 2 orang yang hadir. Kegiatan sekolah pun kami mulai seperti hari sebelumnya, 2 orang guru masuk ke kelasnya masing – masing sementara saya kebagian untuk mengisi 4 sisa kelas dari 6 kelas yang ada, metode mengajar 6 kelas sekaligus saya terapkan, pertama dengan menggunakan teknik “lempar batu diatas air” lalu untuk membuat anak – anak tidak merasa bosan, teknik “tsunami” saya terapkan dalam mengajar 4 kelas tersebut yakni kelas 2, 4, 5, dan 6. Dengan teknik “tsunami” tersebut saya kemudian berpikir  untuk membuat hari guru terasa berkesan kepada anak – anak, saya pun mengajak mereka untuk membuat sebuah pohon dari kertas, yang kami namakan pohon cita – cita, dimana di setiap helai daun pohon tersebut akan dituliskan cita – cita dari masing – masing anak.

Anak – anak sangat antusias melakukan kegiatan tersebut, mulai dari membuat pohonya, mengunting daun – daunnya, sampai menuliskan cita – cita mereka pada daun tersebut dan menempelkannya pada pohon yang telah mereka buat, sebagai guru saya hanya menjadi fasilitator buat mereka dan membimbing mereka untuk mengeluarkan semua sisi kreatifitas yang mereka miliki. Cita – cita yang mereka tuliskan sangat beragam, seperti ingin menjadi tentara, polisi, dokter, suster, bahkan menjadi guru. Namun diantara anak – anak yang telah menuliskan cita – citanya tersebut ada diantara mereka yang mempunyai cita – cita yang sangat unik, seperti putra alias iput murid kelas 2 yang bercita – cita menjadi pohon, ketika saya menanyakan kenapa dia mau menjadi pohon, iput dengan polosnya menjawab “jadi pohon enak pak guru, bisa diam tidak capek” dan memang yang terjadi iput adalah salah satu anak yang paling aktif dalam segala hal, mulai dari berlari di dalam kelas, membuat konser tunggal di dalam kelas alias memukul – mukul meja sehingga mempunyai sebuah irama yang ketika orang lain mendengarnya bisa lamgsung memekakkan telinga, maju ke papan tulis untuk mengerjakan soal yang saya berikan, dan selalu tidak pernah mempunyai tempat duduk yang tetap (nomaden). Dan ternyata, tulisan tangan iput itu semuanya terbalik, mulai dari huruf sampai angka, semuanya serba terbalik, namun dibalik semua keterbalikannya tersebut iput mempunyai gerakan tangan yang sangat cepat terutama dalam menggambar. Saya teringat pada sebuah film dari india yang mengisahkan anak penderita dyseleksia, yakni anak yang menulis terbalik namun mempunyai sisi kreatifitas yang tinggi dalam bidang seni, mungkin ini juga yang terjadi pada iput murid saya, bisa jadi tulisan dia terbalik, tapi yang pasti dia menyimpan sebuah potensi yang harus saya gali lebih dalam dari dalam dirinya.

Selain iput, ada lagi satu murid saya yang mempunyai cita – cita yang sangat unik, sederhana dan amat mulia, namanya haini, murid kelas 4, cita – citanya sangat sederhana yaitu ingin menjadi “tukang bantu ibu”. Haini adalah seorang anak keturunan cina, orang tuanya berprofesi sebagai nelayan, walaupun rumahnya jauh dari sekolah tapi seperti pada cerita “ketika perpustakaan kami ada” dia adalah salah satu anak yang paling cepat datang ke sekolah. Ketika saya menanyakan kenapa haini bercita – cita ingin menjadi “tukang bantu ibu” dia menjawab dengan sangat sederhana, “pak, dirumah bapak sering keluar melaut dan ibu tidak ada yang bantu, makanya saya ingin membantu ibu terus – menerus. “wow” cita – cita yang sangat mulia, di balik cita – citanya yang sangat sederhana tersebut, haini adalah salah satu anak yang paling cerdas di kelas 4 khususnya pada pelajaran matematika, ketika teman – temannya yang lain kesulitan untuk mengerjakan beberapa soal, haini –lah yang selalu mengerjakan dan menyelesaikan persoalan yang saya berikan tersebut.  Dia sangat cepat dalam berhitung, ketika teman – temannya yang lain harus dijelaskan secara berulang – ulang, haini sendiri cukup di jelaskan sekali sudah bisa untuk menyelesaikan persoalan apa yang saya berikan. Istilah “don’t judge the book from the cover” sangatlah tepat untuk menggambarkan haini, seorang anak nelayan, keturunan cina, yang merupakan minoritas di desa ini, tapi dia membuktikan bahwa minoritas pun bisa untuk bersaing dengan mayoritas bahkan melebihi mereka.

Mempunyai cita – cita yang berbeda dengan teman – teman yang lain tidak membuat haini dan putra untuk merasa minder dengan cita – cita mereka, bahkan mereka berdua dengan bangga memamerkan cita – cita mereka di hadapan teman – temannya. Menjadi seseorang yang beda di banding yang lain merupakan suatu nilai tambah bagi mereka, mempunyai cita – cita yang cukup sederhana di banding yang lainnya tidak lantas membuat mereka kurang berprestasi, tapi yang terjadi adalah mereka berdualah yang paling cepat dalam menyelelesaikan tugas dan persoalan yang sering saya berikan di kelas mereka masing – masing. Menjadi unik, menjadi beda, dan menjadi sesuatu yang mungkin tidak ada di dalam suatu kumpulan kita jangan membuat kita merasa untuk rendah diri, merasa kurang mampu, dan merasa tidak percaya diri, tapi tunjukanlah dibalik perbedaan itu ada suatu potensi yang dapat kita kembangkan dari dalam diri kita. Tetaplah menjadi diri sendiri, kawan.

Salam dari desa sekodi, ujung pulau bengkalis....!!!


Cerita Lainnya

Lihat Semua