Jendral Yang Belum Punya Cita-Cita
MuchammadFauzan 12 November 2015Hari itu aku baru pertama kali bertemu Jendral! Bukan di markas besar TNI ataupun pusat daerah militer. Aku bertemu dengannya di sebuah kampung kecil di Desa Oi Bura tepatnya di dusun Kampung Nangka. Desa yang bisa dibilang terpencil ini berada di Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima. Disinilah aku akan menjalani hari-hariku selama setahun ke depan menjadi Pengajar Muda. Di sebuah daerah yang memiliki panorama indah nan permai yang tak sempat memberikan kesempatan mata kita berkedip untuk mengagumi keindahan alam yang dimilikinya. Melewati hamparan biru lautan dan hijau pegunungan berada dalam satu garis horizon sejauh mata memandang di kawasan Ndoro Canga menuju kecamatan Tambora. Ah.. sungguh bersyukur masyarakat disini dengan semua nikmat dan anugrah yang diberikan kepada mereka.
Butuh waktu 6-7 jam perjalanan dengan moda transportasi darat dari pusat kota kabupaten Bima menuju kecamatan Tambora. Selanjutnya menyewa ojek motor dengan waktu tempuh 30-45 menit melintasi medan berdebu, penuh tanjakan dan turunan yang cukup memacu adrenalin. Rasanya setiap kali perjalananku ke desa ini akan membuatku makin memahami ketangguhan hati dan kebesaran jiwa masyarakat disini dengan segala tantangan hidup yang mereka miliki.
Di dusun Kampung Nangka inilah aku bertemu dengan seorang jendral. Setidaknya begitu nama panggilan yang disematkan oleh Mas Suwanto Pengajar Muda VIII yang akan kuteruskan pengabdiannya di desa ini. Sosok Jendral adalah seorang siswa kelas 5 di SD Sori Bura tempatku mengajar. Ia punya postur tubuh yang tidak terlalu tegap dengan warna kulit kecoklatan yang menggelap karena terlalu sering bercengkrama dengan terik matahari yang menemai ia dan teman-temannya saat bermain ataupun saat pergi memetik kopi di kebun bersama kedua orangtuanya. Namun ia juga memiliki senyum yang mampu membuat diri kita mengingat masa kecil yang penuh dengan kenangan.
Di sela aktivitasku membimbing anak-anak di rumah untuk mengikuti Pesantren Kilat yang akan dilaksanakan di desa kami, aku pun sempat bertanya padanya. “Kalau sudah besar, jendral cita-citanya mau jadi apa hayoo?” Dia terdiam cukup lama seolah memikirkan dengan sungguh-sungguh untuk menjawab pertanyaan di pagi hari yang cerah itu. Lalu ia menjawab dengan nada perlahan sambil tersenyum “Gak tau, pak.” Seketika itu aku langsung terdiam. Diam sambil memikirkan bagaimana masa depan “sang jendral” nanti. Setidaknya saat masih kecil, kita punya mimpi mau jadi apa kita saat besar nanti. Meski sebatas angan menjadi polisi, tentara, guru ataupun dokter. Setidaknya kita tahu mau jadi apa saat kita besar nanti.
Aku tak akan pernah menyalahkan jendral karena jawabannya itu. Mungkin bagi jendral hidupnya hanya sebatas bermain di rumah, belajar di sekolah dan membantu ayah ibunya di kebun kopi tanpa tahu akan jadi apa dia kelak saat besar nanti. Atau mungkin ia tak pernah tahu ada kehidupan lain di luar sana jauh diluar kampung kecil tempat ia tinggal sekarang.
Teringat dengan kehidupan anak-anak lain di kota yang sedari kecil sudah “dipaksakan” dengan gadget, jalan-jalan ke mall, menonton televisi dan terkadang pergi ke bioskop, bahkan sudah lincah “bergerilya” di sosial media yang kian makin ramai. Kehidupan yang sudah dianggap biasa, wajar dan seharusnya.
Lain cerita dengan hidup anak-anak disini. Mereka terlahir dan tinggal di desa yang dikelilingi kebun kopi dan jambu mente, listrik dengan dayasolar cell, pasokanair dari mata air yang sering macet. Mereka tak pernah mengeluh dan mengutuki nasib kenapa mereka dilahirkan di sana. Mereka lebih sering menebarkan tawa dan senyum saat bercerita dengan ku. Tentang kebun kopi yang luas, jambu mente yang segar dan bisa mereka ambil setiap pulang sekolah, maen karet dan segala hal yang mereka lakukan disini.
Kembali ke jendral yang juga bagian dari mereka. Ia mungkin bukan tak punya cita-cita, tapi ia belum tahu apa itu cita-cita dan untuk apa harus punya cita-cita. Yang ia butuhkan adalah alasan kuat mengapa ia harus melakukan hal lain selain pergi ke kebun kopi bersama orangtuanya, memetik jambu, tuntutan pergi ke sekolah tiap hari ataupun bermain karet dengan teman-temannya. Baginya itu adalah hidup.
“Jendral, ayo kita bercita-cita”. Ungkapku padanya sore itu. Setelah mengiyakan walau aku tak tahu pasti ia mengerti atau tidak, lantas ia pamit mau memetik kopi di kebun bersama ayahnya yang sudah memanggil namanya sedari tadi.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda