Memutar Waktu : Memori di Bulan Pertama

MirandaYasella 13 November 2015

Ini adalah tanah Maluku Utara. Ketika semua orang berbicara seperti marah-marah. Lihat kanan kiri laut biru. Suara lagu dangdut di otto (mobil angkot) yang aduhai kerasnya. Disinilah semua cerita akan bermula.

Kalau bukan karena Indonesia Mengajar, mungkin aku hanya akan jadi orang Indonesia bagian barat dan tengah.  Kalau bukan karena Allah ingin memberiku pengalaman mengenai indahnya hidup dan mengajar, aku mungkin tidak akan menginjakkan kaki di Halmahera Selatan.

Perkenalkan, aku seorang perempuan yang kurang vakansi dan sedang mencari pengalaman satu tahun di tanah timur Indonesia. Hari pertama ditinggalkan Riangga, PM VII sebelumku adalah hari dimana kebingungan bertumpuk. Apa yang akan aku lakukan disini, apa yang harus aku ajarkan, apa dan apa.

Jam 6 di Desa Indong,  desa penempatanku adalah seperti jam 2 di Jogja. Gelap gulita. Jetlag ala Indonesia. Beberapa kali aku memastikan bahwa ini adalah pukul 6 bukan pukul 2 dini hari. Iya, ini satu jam sebelum masuk sekolah. Aku bergegas mandi dengan air yang seadanya. Berjalan menuju sekolah yang langsung terlihat begitu aku keluar dari rumah mamapiara.

Belum ada guru, sepi. Anak-anak sudah ramai melihat guru baru yang celingukan datang pagi-pagi. Ku pastikan lagi ini sudah jam 7. Jam tangan, jam ponsel yang tak bersinyal semua menunjukkan jam 7. Lima menit kemudian pak Anu, wali kelas enam datang membawa kunci ruang guru.

Anak-anak datang dengan seragam putih merah. Sebagian hanya membawa buku di tangan.  Semua berbaris sesuai dengan kelasnya. Mereka memulai apel pagi dengan doa kemudian hapalan. Cara yang unik untuk memulai hari. Nama-nama benua di dunia. Satu Asia, dua Australia, tiga Eropa, empat Amerika Utara, lima Amerika Selatan. Eum, sebentar. Ya baiklah, poin pertama ku catat di buku agenda.

Giliranku masuk kelas dua setelah apel. Kelas idaman. Hari ketiga, anak-anak menyambutku dengan mata berbinar dan sikap siap. Sejauh ini masih kondusif, pikirku. Masuk ke materi satuan dan puluhan. Anak-anak terlihat kosong dan mengawang. Aku mulai perlahan-lahan dari contoh angka sepuluh. “Nol ini namanya satuan, kalau satu namanya puluhan.”. “Bu tulis?” “Saya (iya), salin di buku masing-masing ya.”.

Tiga puluh menit kemudian, anak-anak mulai berulah. Peringatan dari lirikan mata kemudian suaraku mulai melengking. “E jang baku pukul ( jangan saling pukul).”. “Bu, Musafir pukul Rifa.”. “Bu, ini pukul siapa.”. “Bu, dia mencontek Bu.” Bu dan bu menggema di dalam kelas. Suaraku mulai ditelan teriakan anak-anak kelas dua SD Negeri Indong yang volumenya melebihi sound system.

Melihat situasi ini, ku ambil jalan pintas daripada banyak tumpah korban menangis dengan menjadikan tugas sebagai pekerjaan rumah. “So boleh istirahat yang so (sudah) tulis di buku.”. Ye ye ye, riuh suara anak bergembira keluar kelas. Aku masuk ke ruang guru dengan lemas sambil meneguk air putih satu gelas. Apa yang aku lakukan disini, pikirku mendramatisir.

"Selihai-lihainya Pengajar Muda di pelatihan akan bingung juga di penempatan."

(Ditulis saat bulan pertama penempatan dan saat menemukan tulisan ini, memoriku tentang masa itu membuatku haru. Aku sudah sampai di bulan ke-11. Bulan dimana bukan lagi yang pertama kali datang ke sekolah, para guru sudah membuat daftar jaga. Anak-anak mulai dapat belajar dengan kondusif. Anak-anak juga sudah tau kalau benua itu namanya Benua Amerika saja)


Cerita Lainnya

Lihat Semua