Kejutan Kecil di Senin Pagi

Melissa Tuanakotta 4 Mei 2012

Setiap orang pernah merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan itu berbeda-beda tergantung dari sudut pandang orang yang merasakannya. Kebahagiaan itu berasal dari hati, tanpa terasa seolah membuat warna dan warni sehingga bibir pun tersenyum dan pamer gigi.

Minggu lalu aku sempat melakukan aksi tutup mulut kepada murid-muridku. Tak sepatah katapun aku ucapkan kepada mereka dan tak sedikitpun senyum aku berikan. Aku diam di mejaku seperti patung seolah-olah tidak mau mendengar atau tidak mau melihat apapun.

Hari Kamis, waktunya kami belajar IPA. Semustinya kami belajar dengan riang gembira. Tapi berujung kepada aksi diam seketika. Aku tidak mau marah, aku menghela nafas dan diam. Aku tidak mau mendengar alasan aku tidak mau menerima penyangkalan aku hanya mau diam.

Aku sedikit kesal dengan murid-muridku. Entah bagaimana atau siapa yang salah. Sekolahku ini sangat minim buku paket pelajaran sekolah. Di kelasku, 1 buku dibanding dengan tiga orang, bahkan 2 buku bisa untuk 12 orang. Hari ini seusai aku menyapa mereka dan meminta mereka mengambil buku IPA, mereka hanya duduk diam tak bergerak dan berkata:

“Bu aku gak kebagian buku, bukunya hanya ada satu,”

Perkataan polos keluar begitu saja tanpa ada rasa apa-apa. Tanpa penyesalan sedikitpun dan tanpa ada rasa tanggung jawab sedikitpun, murid-muridku itu menyatakan bahwa buku paket telah hilang. Bayangkan pada awalnya buku itu ada empat, lama kelamaan tinggal satu. Bagaimana caranya mereka berduabelas berbagi dengan satu buku? Tapi yang membuat aku kesal bukan hilangnya sang buku, tapi murid-muridku itu tidak ada tindakan sedikitpun untuk mencari. Yang ada hanyalah saling menyalahkan, saling tuduh, berteriak, dan tidak ada yang mau disalahkan. Semua mencari alibi, entah itu alibi sebenarnya atau alibi yang dibuat-buat. Ribut macam pasar.

Aku diam, mereka ribut.

Mereka saling tuduh, aku diam.

Aku diam, mereka mulai diam.

Aku diam, mereka diam.

“Sudah ributnya? Sebenarnya apa sih yang kalian lakukan? Ibu bener-bener ga ngerti dengan apa yang kalian lakukan. Buku kalian hilang tapi tidak ada satu orang pun yang mau bertanggung jawab. Kalau buku kalian hilang, kalian mau belajar dengan apa? Yang ibu harapkan kalian itu bukannya saling tuduh, yang ibu harapkan kalian mencari jalan keluar untuk menemukan buku itu. Apa dengan kalian berteriak bukunya akan datang?”

Akhirnya aku tenggelam dalam diam.

Mereka kembali saling tuduh.

Aku diam dengan tatapan tajam, dan pada akhirnya mereka pun bergerak untuk mencari.

Ketemu? Jangan harap. Buku itu telah hilang entah kemana. Aku sedih sekali melihat buku yang hilang. Sulitnya akses menuju perkotaan untuk mendapatkan buku, buku yang ada dan bisa dibilang langka hilang begitu saja tanpa jejak.

Aksi diamku ini nampak memberi pukulan kepada murid-muridku. Tidak adanya kegembiraan yang dipancarkan oleh sang guru si ibu MTK hari itu. Kegiatan belajar mengajar berjalan dengan kering.

Aku pulang membawa jurnal harian yang selalu murid-muridku tulis sebelum pulang sekolah. Aku membaca satu persatu. Dalam torehan pena mereka, aku melihat rasa penyesalan. Dari torehan pena itu pun aku mengetahui betapa mereka sedih dan takut ketika ibu MTK melakukan aksi diam. Mereka menangkap sinyal bahwa aku marah.

Setelah aku membaca 12 jurnal harian yang ada, pikiranku langsung terbuka. Aku ini sedang dihadapkan dengan bocah-bocah yang sangat jujur apa adanya. Ketika mereka bilang tidak, mereka pasti memang tidak melakukan apa-apa. Ketika mereka bilang iya, mereka pasti memang melakukannya. Entah mengapa aku begitu tidak bisa memahami dan memercayai mereka hari itu.

Keesokkan harinya Aku menanamkan aura positif dalam langkahku, kutebarkan senyuman termanis (yang aku sangat harapkan memang manis) yang aku punya. Murid-muridku menangkap aura positifku. Seperti biasa begitu mereka melihat kedatanganku mereka langsung berteriak:

“MASUUUUUUUUK, BUK MELISSA DATAAAAAAAAANG!”

 Semua berlarian seperti semut-semut yang ketahuan sedang menggerumuti makanan. Sekejap mereka mengucapkan salam kepadaku. Murid-murid kelas lima pun ikut menyapa kedatanganku.

“Good Morning Miss Melissa”

Ya, betul! Mereka menyapaku dengan menggunakan Bahasa Inggris. Aku selalu membuat mereka terbiasa dengan Bahasa Inggris, dan mereka patut bangga kemungkinan besar dari seluruh sekolah di desa ini hanya merekalah yang memberi salam kepada sang guru dengan bahasa internasional tersebut.

Hari ini hari Jum’at, harinya olahraga. Dengan semangat mereka pun ikut senam dengan riang gembira.

 

Ceritaku tak usai di hari Jum’at. Justru cerita utama dimulai di hari Senin dua hari kemudian. Hari Senin terakhir di bulan Mei.

Setiap hari Senin (dan Selasa), aku selalu mengajar di Sekolah Induk. Tapi aku selalu menyempatkan diri untuk singgah di sekolah lokal jauh untuk memastikan dan menertibkan anak-anak menjalankan upacara bendera. Begitu tiba, aku langsung disapa oleh murid-muridku seperti biasanya. Siklus teratur yang aku jalani setiap hari.

Begitu aku masuk kelas, dan menaruh tasku di meja. Aku terkejut, sangat terkejut. Jantungku berdebar dengan kencang, seolah-olah hawa hangat menyelimuti diriku, rasanya mata ini pun berkaca-kaca. Mejaku hari ini berbeda dengan biasanya, mejaku hari ini berhiaskan rangkaian bunga berwarna merah muda. Bunga hasil kreasi murid-muridku di kelas lima.

“Ya ampun bagus banget bunganya, siapa yang buat?”

“Yang buat kita semua...”

“Iya buk, ini bunga buat ibu, biar ibu selalu senyum. kalau ibu senyum kita seneng soalnya ibu manis"

“Ya ampun, Ibu nilai bunga ini sepuluh, eh bukan seratus, eh,, engga, bunga ini tidak ternilai. Bunga ini bernilai sangat tinggi bagi ibu. Terima Kasih..”

Aku melihat mereka satu persatu. Aku melihat mereka sumber kebahagiaanku. Seumur aku menginjakkan kaki di bumi ini, aku baru merasa sangat disayangi oleh seseorang, selain orang tuaku. Oleh mereka yang baru saja aku kenal enam bulan yang lalu. Oleh mereka yang beberapa saat lalu terkena aksi diamku. Disayangi secara tulus tanpa menuntut apa-apa. Mereka hanya meminta agar aku selalu tersenyum dan jangan marah.

Sepulang sekolah aku membaca kembali jurnal harian mereka. Aku melihat ekspresi bahagia mereka ketika mengetahui aku sangat amat senang dengan kejutan mereka. Kejutan kecil di senin pagi dengan hadiah terindah dan termanis yang pernah aku dapatkan.

Terima kasih Tuhan, Kau telah memberikan kebahagiaan ini kepadaku.

Terima kasih Tuhan, Kau telah memertemukan aku dengan orang-orang yang menyangiku.

Terima kasih Tuhan, semoga Kau memberikan segala bentuk rahmatmu untuk murid-muridku.

:)


Cerita Lainnya

Lihat Semua