Si Pelita (Edisi Renungan :)

Masdar Fahmi 12 Januari 2013

Di teras depan rumah, ditemani secercah pelita.

Waktu kecil aku takut sekali dengan kegelapan. Saatlistrik padam, maka aku akan berteriak atau langsung menangis. Memanggil ibu, bapak atau kakak mencariperlindungan. Kegelapan seperti hendakmemakanku hidup-hidup atau membawaku pada dunia lain.

Bahkan, ketika tidur, ruanganku harus terus terang. Ketika malam sendirian di rumah,maka semua lampu di berbagai sudut harus menyala. Kegelapan benar-benar menjadi musuh besarku!!!

Didaerah penempatanku mengajar,belum ada PLN. Sebagian masyarakat kampung menggunakan genset untuk sumber penerangan—jika ada minyak yaa. Itupun tak sepanjang malam. Itupun lagi, bagi mereka yang punya mesin lampu. Maka, satu-satunya penerangdikampung yang sangat bisa diandalkan adalah pelita.

Pelita itu sangat sederhana. Terbuat dari kaleng-kaleng bekas susu, sarden atau minuman ringan. Lalu, dadar guling dari adonan lempengan seng isi sumbu dikaitkan pada bibir kaleng dengan kawat. Biarkan sumbu menyumbul sedikit ke atas dan bergelambir ke bawah—agar mampu menghisap minyak. Pelita siap digunakan!

Pelita ini lebih awetdari lilin, tak meninggalkan sisa pula. Nyalanya bisa diatur sesuai selera, tinggal tarik ulur saja sumbunya. Sepertiga kaleng diisi minyak akan membuat lampu tradisional ini terjaga semalam suntuk.

Nah, aku beruntung tinggal dikeluarga yang jarang menyalakan lampu. Makanya, aku akrab dengan si pelita. Setiap malam dia selalu berpendar memberikan secercah harapan. Cahaya remang-remang yang dia hasilkan mampu menghantarkan tidurku yang lelah.

Aku menemukan sisi lain—kenyamanan dari sebuah kegelapan. Persepsi takut terhadap gelap perlahan mulai membaik. Sekarang, aku menikmatinya lhoo... Kata sebuah lirik lagu, ‘Jangan takut akan gelap, karena gelap melindungi diri kita, dari kelelaha...’Extremely i believe it!

(Baca bagian di bawah ini sembari mendengarkan instrumen sendu, perlahan, dengan hati)

Ada kondisi yang jauh lebih gelap dari sekedar tak ada lampu di kamar. Fase setelah kehidupan. Ketika terkubur dalam luas tanah maksimal 2 x 1 meter. Bayangkan, seperti apa gelapnya? Tubuh terbujur kaku. Disingkap kafan. Ditindis gundukan tanah meliat. Digerogoti cacing-cacing atau binatang-binatang pedalaman. Sendirian!

Bisajadi,sekarang adalah latihan bersetubuh dengan gelap. Jika gelap pun bisa mendatangkan kenikmatan, jadi apalagi yang pantas kita keluhkan? Gelap yang identik dengan sengsara, kini bisa membiasmenjadi pelangi penuh warna.


Cerita Lainnya

Lihat Semua