info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Saya tidak PUAS dengan Indonesia Mengajar

Masdar Fahmi 22 Juni 2013

“Saya Tidak PUAS dengan Indonesia Mengajar!” Kalimat ini dilontarkan seorang Ibu Guru di salah satu SD di distrikku.

Aku kebingungan, salah tingkah dan sedikit merasa malu, kenapa tega seorang ibu guru berkata demikian. Barangkali kalau ibu itu mengkritikku habis-habisan, aku masih bisa terima. Tapi ketika beliau berkata seperti ini, mengeluhkan program IM di hadapan Pak Distrik, Guru-guru, warga dan anak-anak peserta UN se-Distrik, kok saya langsung lemes.

Apa sih alasan ibu mengatakan demikian? Aku sungguh tak habis pikir.

Memang, setiap langkah, sebuah gerakan perjuangan, pasti akan menemui banyak tantangan. Biarpun itu suatu kebaikan dan memang untuk perubahan yang lebih baik. Ternyata ada saja yang menentang! Barangkali ini sudah menjadi paket, berbuat baik pun memiliki resikonya.

Saat upacara penutupan UNSD 8 Mei lalu, pak Miswanto—Kepala Distrik atau Camat—menyampaikan pesan kepada anak-anak peserta Ujian. Beliau menyemangati anak-anak agar bisa terus semangat bersekolah sampai setinggi-tingginya. Anak-anak dan orang tua pendamping mendengarkan dengan serius.

Ketika topik bahasan pak Distrik menjurus ke arah ‘kepasifan guru dalam  mengajar’, beliau sedikit menyinggung tentang Indonesia Mengajar. Sebenarnya, mulai dari sini perasaanku sudah tidak enak.

“Mohon maaf, saya harus memuji kehadiran teman-teman dari Indonesia Mengajar. Mereka ini datang, dikirim dari Jakarta membantu kitorang. Mengajar anak-anak di kampung-kampung! Biarpun disiplin ilmu mereka bukan dari guru, namun ternyata mereka bisa mengajar, betah mengajar di kampung!” Tatapannya tajam beliau bagi ke semua audiens.

Tak lama setelah kalimat itu diucapkan, seorang ibu guru berkacamata mengangkat tangannya. Menyela pidato siang itu dan menggantikan ceramah pak Distrik.

Saya yang baru saja mengambil gambar pak Mis, sedikit kaget melihat pemandangan itu.  Soalnya, jarang-jarang ya, ketika ada sambutan, tiba-tiba ada yang interupsi ingin bicara.

Saya melipir mundur ke barisan guru-guru. Penasaran apa sih yang disampaikan beliau?

Ternyata, ibu itu menyampaikan keluhannya tentang Indonesia Mengajar. Beliau tidak puas dengan Indonesia Mengajar. Panjang lebar beliau bicara, berputar-putar, ditambah curhat, lalu kembali lagi mengatakan kalimat yang intinya tidak puas dengan kehadiran Indonesia Mengajar.

Jujur, saya malu sekali waktu itu. Saya flashback kurang lebih setahun ke belakang, mulai dari tanggal 16 Juni tahun lalu saya menginjakkan kaki di Fakfak. Apakah aku pernah melakukan kesalahan fatal, sehingga beliau tega mengatakan demikian? Atau, teman-temanku sepenempatan?

Saya menenangkan diri dengan berpikir positif, oh ini mungkin sebuah masukan atau kritikan. Baiklah, saya menunggu alasan beliau kenapa begitu emosional mengatakan hal ini. Sampai-sampai sempat menunjuk ke arahku.

Kupasang telinga baik-baik, 100% fokus dengan apa yang disampaikan beliau, dan setengah sadar merekam pidato beliau dengan kamera yang masih kugenggam.

5 menit pertama, tak ada alasan ketidakpuasan beliau. Kalimat, ‘saya tidak puas dengan Indonesia Mengajar’ tidak ada sambungannya. Beliau cerita masalah pribadi malah. Aku sampai gregetan, iya oke, ibu tidak puas dengan IM, tapi bagian mananya yang membuat ibu tidak puas, kenapa ibu bicara begitu, apa alasannya? Gumamku.

Di dua menit terakhir beliau bicara—setelah panjang lebar—barulah aku tahu.

“Kalo kita tidak sekolah kita cukup jadi penonton di katong pu negeri. Itu yang tadi pak camat andalkan Indonesia Mengajar. Kalau saya orang Fakfak asli, saya tidak puas. Jadi adik-adik kalau sekolah itu sekolah yang betul agar pak camat tidak andalkan Indonesia Mengajar. Saya tidak suka! Kenapa kita tidak diberangkatkan kasih sekolah?” Demikian petikan kalimat pengantarnya.

Mmmm, Beliau protes tentang kehadiran Indonesia Mengajar atau apa ya sebenarnya? Betul banget apa kata ibu, bagus sekali kalau ada orang nagri yang mau membangun nagrinya sendiri.

Lalu beliau lanjutkan lagi dengan curhatan. Beberapa waktu lalu beliau wisuda, sekolah lagi di Jogja. Beliau mengeluhkan, kenapa dari Pemkab hanya membantu sedikit saja, bahkan untuk biaya transportasi PP Fakfak-Jogja saja tidak cukup?

Loh kok, kaitannya dengan IM apa ini? Lagi-lagi pembicaraannyaa berputar, saya masih penasaran mencari-cari relasi antara ketidakpuasan beliau dengan IM.

Lalu beliau bicara lagi, kali ini suaranya tersengal-sengal, serak seperti hampir habis.

“Jadi begitu bapak, tolong, kamu punya proyek Indonesia Mengajar kalau bisa batal dia sudah kasih habis tahun ini! Tahun depan kasih kitong anak Fakfak sekolah saja. Supaya kita pulang kita bangun kitong pu negeri sendiri tho. Kalau bapak pakai Indonesia Mengajar hari ini, satu dua tahun dia datang, besok dia pulang. Coba bapak angkat saya dari Kalamanuk, terus dari Kotam satu, Wambar, Urat, Tunasgain. Kan kita kembali di katong pu anak di negeri sendiri.  Coba bapak datangkan orang lain. Ya namanya proyek, habis proyek pulang, tapi kan uang bapak habis!”

Ada semacam pemahaman yang akhirnya saya dapat.

Beliau tahunya, Pemkab panggil IM untuk menjadi guru di pelosok-pelosok. Panggil IM berarti ada sejumlah dana yang dikeluarkan dari Pemkab untuk IM. Nah, beliau bahasakan dengan nama ‘proyek’ tadi.

Setelah ibu itu selesai bicara, aku menunduk, menghembuskan nafas, berusaha tetap tersenyum.

Pak Mis, mencoba menjelaskan. Terlihat sekali beliau merasa tak enak dengan kejadian berusan. Alih-alih mau memberikan masukan ke guru-guru yang kurang aktif, malah akhirnya dapat ‘serangan panas’.

Pak Camat menjelaskan sedikit tentang IM. Mulus sekali, maksudnya tidak ada yang salah dari yang beliau jelaskan. Beliau memang sudah tahu tentang gerakan kita ini. Kapan berdirinya, siapa pelopornya, penempatan dimana saja, ada berapa angkatan sampai saat ini dan lain-lain.

Kemudian beliau pelan-pelan mengklarifikasi, agar tidak menyinggung siapapun, bahwa distrik, pemkab, bahkan pemerintah pusat di Jakarta sana tidak membayar IM sedikitpun. IM mencari dananya sendiri, sudah ada fundingnya sendiri. Jadi IM benar-benar datang untuk membantu saja, mengajar anak-anak di katong pu nagri.

Seusai acara penutupan. Pak Camat menyalamiku, meminta maaf secara pribadi. Beberapa guru yang lain juga menyalamiku, beberapa sampai memeluk, dan bersimpati padaku.

Lalu, aku masuk ke dalam ruangan, mencari sosok ibu yang berbicara tadi. Saya ulurkan tangan, jabat erat beliau sambil tersenyum, “Ibu, terimakasih banyak atas masukannya!” Demikian kusampaikan padanya.

Beberapa guru malah ada yang menyoraki, berceletuk ”Nah begitu boleh!”

Kami melebur makan bersama, mengobrol sana-sini dan aku pun sempatkan bertemu dengan warga kampungku yang memang hadir dalam acara ini.

Beberapa berkomentar, pak guru sabar e jangan marah, kasih  tinggal sudah dong tara tahu tho (maksudnya, biarin aja, maklum kan beliau tidak tahu), ada juga yang justru marah sama ibu-nya, dan marah ke warga kampung, kenapa tak membelaku saat ibu itu marah-marah J

Arman, muridku yang ikut UNSD berkata,”Pak guru, beta macam mau menangis ibu itu kasih marah pak guru. Paling tara suka kalau dong marah-marah katong pu pak guru!”

Saat semua sudah selesai dan aku hendak pamit pulang, pak Camat menghampiriku. Beliau sampaikan lagi permohonan maaf atas nama pribadi dan ibu guru tadi kepadaku pribadi dan IM sebagai yayasan.

“Pak guru, sebenarnya beliau bukan tidak puas dengan IM. Ini semacam akumulasi dari masalah-masalah beliau dengan dinas, lalu kemarin dapat musibah mesin perahunya jatuh ke air garam, dan masalah lain. Tapi, pas sekali beliau sampaikan semuanya tadi keluhan tersebut. Beliau pun sebenarnya ingin ada pengajar muda di SDnya. Kenapa kok cuma Urat saja yang dapat? Begitu, saya minta maaf lagi ya..”Pak Mis tersenyum sembari menjabat tanganku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua