Aku Bangga Punya Papua (Sebuah Napaktilas Setahun ke Belakang)

Masdar Fahmi 29 Juni 2013

Membaca tulisan teman-teman sesama Pengajar Muda (PM) akhir-akhir ini sesuatu sekali rasanya. Hehe, sungguh sebaran semangat yang luar biasa. Aku semakin sadar, kalo optimis dan pikiran positif itu memang menular!

Aku setuju kata Anggun dalam sebuah catatannya, bahwa pesimis itu tingkat kecepatan menularnya lebih parah. Tinggail pilih, mana yang ingin kita tularkan kepada yang lain?

Indonesia, aku bangga padamu lho. Sungguh. Dan, merasa beruntung menjadi salah satu warga negaramu. Kau ini paket kompit, udah alamnya bagus banget, punya warga yang macem-macem, gemahripah  loh jinawi dan bhineka tunggal ika. Sangking buanyaknya kelebihan, masalahnya pun banyak. Wajar, ibarat pohon yang semakin tinggi akan semakin kencang juga terpaan anginnya, kan?

Paling tidak, setahun terakhir ini lah, banyak hal yang akhirnya menyadarkanku. Ketika aku melihat Indonesia lebih dekat, maka semakin tak punya alasan bagiku untuk tidak bersyukur.

15 Mei 2012, ketika pengumuman bahwa aku ditempatkan di Fakfak, aku menyambutnya dengan sukacita. Sebenarnya dimanapun aku ditempatkan, aku akan sama bahagianya. Masuk menjadi salah satu keluarga PM saja, sudah kebahagiaan yang tak terkira bagiku.

Magic, beberapa hari sebelum pengumuman, ketika ditanya dimanakah keinginanku ditempatkan? Aku selalu menjawab ‘Papua’. Tanpa beban dan malah terkesan bercanda. Ketika ngobrol dengan keluarga, pun aku selalu bilang, semoga bisa ke Papua ya...

Beberapa teman dan kakakku balik meledekku. Ati-ati lho di Papua sana! Ntar nggak betah lho. Begitu katanya. Ibu malah khawatir setengah mati jika aku dapat Papua. Pelosok banget lah, tidak ada listrik, susah sinyal dan lain-lain.

Seminggu sebelum pengumuman, bahkan ibu sempat bilang, “Le, njaluk ben ojo neng Papua le. Adooh le, sing cedak-cedak bae a, Kalimantan wis rapopo, neng kono kan ono lek Hanim.” (Nak, minta agar tidak di Papua nak. Jauh nak, yang dekat-dekat saja lah, Kalimantan tidak apa-apa lah, disana kan ada tante Hanim). 

16 Juni 2012, aku sampai di Fakfak, Papua Barat. Suasana yang beda dengan keindahan alam yang lebih indah kalau menurutku dibanding di Jawa. Papua ini Indonesia lho, bagus banget! Siapa yang nggak bangga coba berada di tempat yang semua orang memuji—bahkan dunia pun mengakui keindahan Papua!

20 Juni 2012, aku menuju kampung penempatan, di kampung Urat distrik Fakfak Timur. Distrik ini menempati urutan ke-5 dalam kategori distrik dengan wilayah terbesar di Kabupaten Fakfak. Luas wilayahnya 1.721 Km2  dan terdiri atas 14 kampung, 7 kampung di pesisir pantai dan 7-nya lagi di punggung bukit.  

Kampungku sendiri, terpisah dari tanah besar. Urat terletak di ujung sebuah pulau Samai. Jarak kota kabupaten ke Urat kurang lebih 120 Km. Bisa ditempuh melalui jalur laut dengan bantuan longboat (orang sini menyebut Jonson), selama 2 – 4 jam, tergantung cuaca, jenis mesin dan muatannya.

Kondisi geografisnya menarik. Depan rumah pesisir pantai, beberapa meter di belakang rumah sudah perbukitan hutan. Belum ada sinyal yang tembus dan PLN pun belum masuk ke kampung. Satu pulau Samai ini dihuni satu kampung 2 RT, kurang lebih 60 KK dengan 200-an jiwa.

Kopi, Rokok dan Pinang. 3 elemen paling penting di kampungku. Bahkan orang sini berprinsip, lebih baik tak makan nasi dari pada tak makan pinang. Canggih!

Kekeluargaan disini sangat terasa. Rumah satu sama lain berdekatan bahkan berdempetan. Mata pencaharian untama adalah berkebun pala, mencari ikan dan kayu.

14 Juli 2012, hari pertamaku mengajar anak-anak. Biarpun belum tahu semua karakter anak-anak, alhamdulillah aku sudah hafal satu-satu nama anak-anak. Sekolah kami punya 3 ruang kelas, 1 ruang guru & kepsek, perpustakaan, dan 2 rumah guru. Halaman sekolah yang cukup luas dengan kontur tanah yang tak merata selalu menjadi tempat kami bermain dan belajar.

Aku kesusahan bagaimana mengekspresikan kisah hidup selama setahun disini. Dinamikanya terlalu kompleks. Semua emosi berbaur secara optimal. Sedih, manakala tak ada guru yang mengajar. Haru, ketika anak-anak udah mulai so sweet. Marah, kalau anak-anak sudah mulai jadi ‘monster’. Hingga emosi kesenangan yang luar biasa kudapatkan, dari tertawa tak karuan sampai tiba-tiba bisa meneteskan air mata.

Memancing, panen pala, panggayung (mendayung perahu), makan nasi kosong, pala campur masako, mie instan tanpa dimasak! Jalan-jalan ke pulau Kambing, cari ciput (kerang), berburu sinyal, makan pinang sampai mulut merah-merah, mandi air garam, jamaah bersama, dan masiiih banyak lagi. Semuanya baru dan seru banget! Itu di Fakfak, Papua, di Indonesia!!!

 29 Juni 2013, hari dimana aku harus meninggalkan Papua, Fakfak, kampung Urat, anak-anak, keluarga angkatku. Melanjutkan kembali kehidupanku dan menjemput impian-impian yang lain. Biarpun suatu saat (semoga) aku akan kembali ke Fakfak, perpisahan selalu menyisakan kesedihan. Semoga kesedihan ini menguatkan!

Aku tahu, tak harus jadi Pengajar Muda untuk kenal Indonesia lebih dekat. Tak harus gabung di IM untuk sama-sama bergerak, memang, nggak harus ke pelosok-pelosok! Tapi Alhamdulillah, menjadi pengajar muda selama setahun, seakan memberikan segala-galanya buatku!

Siapa kita sekarang, di tempat sekarang, dan waktu yang sekarang ini, adalah sudah yang paling tepat! Pilihannya adalah, mau bergerak kah atau diam saja? Biarpun gerakan itu perlahan, aku rasa jauh lebih baik dari pada hanya berpangku tangan. Intinya,  ayo move on!

Sepakat dengan apa yang dibilang Ichal dan teman-teman, tagline ‘setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi’ memang tidak pernah salah. Namun, sepertinya lebih pas untukku : setahun belajar, seumur hidup terinspirasi J

Aku bangga punya Papua, Aku bangga Indonesia!

Enda Guru Jawa.


Cerita Lainnya

Lihat Semua