Pinang Pertamaku!

Masdar Fahmi 18 Februari 2013

Cerita kali ini adalah tentang masyarakat di kampung Urat. Terletak di pulau besar bernama Semai, namun hanya ada satu kampung di sebuah titik di pucuk pulaunya. Indah, putih pasirnya, hijau warna airnya dan gagah daun-daun kelapanya. Kehidupan di dalamnya, pun sudah pasti wow dong. Cekidot ya... Semoga bermanfaat mengisi waktu luang Anda :) hehehe

Akhir Januari ini bisa dibilang hari yang sibuk bagi warga kampung Urat. Banyak kegiatan yang dijalani menjelang pergantian bulan baru. Minggu ini saja ada hajatan 9 hari berturut-turut karena adanya kematian seseorang.

Pelaksanaan hajatan kematian di kampung ini lamanya melebihi nikahan puteri kraton di Jawa. Setahuku, jika di Jawa tahlil dan baca-baca doa dilakukan 7 hari saja, namun disini mendapat tambahan 2 hari.

Sang punya hajat, biarpun sedang berduka, harus mampu menggelar event ini. Demi mendoakan sang arwah agar dapat diterima di sisi-Nya, demikianlah keyakinan mereka. Jangan bayangkan akan ada jogad-joged dan minum-minuman, alhamdulillah semuanya aman dengan tradisi adat dan ritualnya.

Akan banyak makanan disini. Tentu saja aneka cemilan khas kampung dan masakan sedap siap tersaji—dengan sangat menggodanya—di tengah-tengah ruangan. Yang aku suka, setiap hajatan di kampung pastilah tak lepas dari sistem gotong-royong. Mereka baku bantu—sumbang bahan makanan, tenaga, waktu dan yang pasti empati—agar beban sang empu hajat terasa ringan.

Prosesi pemakaman disini tentu saja berbeda. Di beberapa daerah pedalaman Papua, ada yang memakamkan jasad seseorang dengan cara disimpan di atas pohon, diawetkan di kotak-kotak peti khusus dan dibiarkan begitu saja hingga tulang-belulangnya akan terlihat suatu saat nanti. Tapi, tentu saja hal ini tak berlaku di Fakfak.

Almarhum sebelum dimandikan, disholatkan dan dikuburkan, akan disemayamkan di rumah duka. Beberapa ibu-ibu akan berdatangan mengucapkan salam terakhirnya dengan menangis sejadi-jadinya. Mereka menumpahkan segala unek-unek apapun yang ingin mereka sampaikan, meraung-raung sekeras-kerasnya. Sedangkan kaum adam beramah-tamah seusai membacakan yasin dan doa-doa.

Malamnya, tahlil dan doa serta bakar kemenyan seperti biasanya. Uniknya, akan ada baca Al Quran macam seperti tadarus di bulan Ramadhan dan harus khatam 30 juz di hari yang ke 9. Setiap pagi dan sore akan ada barisan Mojin atau khotib bersama anak-anak membawa air untuk disiramkan di kuburan.

Bagi pengajar muda sepertiku, yang haus akan sosialisasi dan merasa penting untuk lebih mendekat ke masyarakat, tentu sangat memanfaatkan event ini. Tak akan pernah kulewatkan hajatan semacam ini. Alhadmulillah, hajat macam ini memang bisa meleburkan diri dengan mereka.

Salah satu hal yang tak akan mungkin ketinggalan di hajatan adalah pinang. Dua komponen pendukung pinang adalah sirih dan kapur. Makanan boleh sedikit dan sederhana, tapi pinang awas saja kalau sampai tidak ada! Hahae... Ohya, kopi dan rokok juga tak akan pernah ketinggalan. Nah, cemilan-cemilan inilah yang akan membuat acara ramah-tamah setelah hajatan makin memesona.

“Pak guru, kalau di Papua begini sudah!” Celetuk pak Salamu sembari mengunyah pinang dan sirihnya.

Kami berdua baru saja selesai mengikuti doa-doa dan baca tahlil. Sudah beberapa materi yang kita obrolkan. Aku menrasa klik ngobrol dengannya.

Aku mendongakkan kepala tanda berkata iya.

“Pak guru juga harus coba makan pinang. Kalau belum makan pinang itu berati pak guru belum ke Papua.”Katanya mencoba mengajakku makan pinang.

Beginilah kiranya salah satu jurus dari orang Urat untuk mengenalkan tradisinya. Aku sendiri tak masalah dan memang sudah lama ingin mencoba makan pinang. Mungkin malam ini akan menjadi malam bersejarah bagiku, pinang pertamaku!

Sudah eman bulan aku disini tapi belum pernah makan pinang. Aku menganggap cupu diriku sendiri. Beberapa teman lain sudah bercerita betapa wow-nya menikmati pinang pertamanya. Sebenarnya sudah dari bulan-bulan pertama di sini aku ingin ‘meminang’.  Tapi beberapa orang melarangku, takut aku mabuk.

Aku baru tahu bahwa pinang itu memabukkan. Jadi timbul pertanyaan, jika memabukkan apakah pinang itu halal?  Ah, mungkin jika berlebihan, baru memabukkan dan haram. Seperti jika kita terlalu banyak minum air putih sampai mabuk, berarti air itu akan menjadi haram juga. Semoga benar pemikiranku ini, hahae...

Setelah berpikir masak-masak dan sesekali aku melirik pinang, tanganku benar-benar meraih pinang itu sekarang. Separo pinang sesen akhirnya mendarat di mulutku. Pak Salamu tampak senang karena berhasil membujukku makan pinang.

“Iyo, begitu pak guru, makan juga sirihnya biar tidak mabuk!” Dia menyemangati.

Aku mendongakkan kepala lalu meraih sirih setengah lembar yang sudah berbalur kapur sambil terus mengunyah. Aku tak bisa bicara karena mulutku kini berair.

“Nah, su mau jadi pak guru sedikit lagi su merah!”Matanya tak lepas memerhatikan mulutku.

Aku masih kesusahan berkata-kata. Pinang ini makin lama dikunyah dan ditambah sirih memang rasanya makin sedap. Awalnya kau akan merasa sepat, mulut terasa pekat dan aneh. Namun jika sudah berair dan ditambah sirih, maka rasanya jauh lebih nikmat.

“Taruh airnya disini pak guru!”Ajak pak Salamu sembari menyodorkan piring kosong.

Aku memegangi piring dan mengalirkan pelan-pelan air yang mulai penuh di mulutku. Sedikit demi sedikit. Kukunyah lagi dan seketika airpun terkumpul banyak lagi di mulut.

“Pak guru mabuk?”Tanyanya sedikit khawatir karena melihat keringatku yang mulai bermunculan di wajah.

Aku menggelengkan kepala, kembali kualirkan air di mulut ke piring yang kini sudah separuh isinya. Wow, benar-benar warnanya sudah merah, aku berhasil!

“Airnya banyak sekali, susah untuk bicara!” Kataku sambil mengusap-usap area mulut agar tak belepotan.

“Jangan usap pakai pakaian e, nanti tara bisa hilang pak guru. Nah, sekarang pak guru su tau makan pinang e”Sambung Pak Salamu, sesekali matanya memerhatikan lengan baju kokoku.

Pakcik-pakcik lain yang memerhatikan aku beberapa komentar.

“Wah, pak guru makan pinang!”

“Su jadi orang Papua sekarang e...” 

“Pak guru mabuk kah tarada?”

Ada juga makcik yang khawatirlalu berkata, “E, pak guru jangan makan pinang nanti mabuk!” da bla bla bla lainnya.

Aku sendiri justru merasa ada kebanggaan menyelinap di hati. Semacam telah melalui fase penting dalam kehidupan. Inilah cara meleburkan diri paling efektif ketika di kampung. Pinang akan menjadi kunci pembuka komunikasi-komunikasi berikutnya.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah aku tertawa-tiwi. Kutepuk-tepuk pundak sebelah kiriku dan kukatakan “Good Job!” Tak pernah kumerasa sepuas malam ini. Alhamdulillah...


Cerita Lainnya

Lihat Semua