Perjalanan ke Urat, Fakfak Timur

Masdar Fahmi 3 Juli 2012

9 Juni 2012

Siang ini, aku benar-benar akan berpisah dengan rekan-rekanku sekabupaten. Nah, sudah timbul perasaan yang membanjiriku. Perasaan yang lagi-lagi membuat jantung ini ekstra berdetak cepat. Ada sisi yang mengatakan bahwa aku belum siap untuk ditinggalkan sendirian nanti di kampung. Ada pula setan pesimis yang berteriak bahwa aku akan susah beradaptasi di kampung Uratku sana. Ohya, dari 8 orang yang di sebar di Kabupaten Fakfak ini, aku mendapat kehormatan berada di Distrik Fakfak Timur, Kampung Urat.

Dua jam menggunakan Jonson (sejenis perahu nelayan bermesin) menerjang lautan luas. Ahh, pun ini menjadi pengalaman awalku untuk menyebrang sejauh dan selama ini, hanya dengan menggunakan perahu kecil yang lebih mirip sampan besar. Seperti biasa, bagiku, hal pertama selalu spesial. Selalu mengejutkan, mendebarkan, dan menggairahkan tentunya. Saat berpamitan, gemuruh dada ini makin mengencang. Ikatan batin persaudaraan mulai tak terkendali. Biarpun minggu depan akan bertemu lagi, aku sangat melankolis melepas keberpisahan kami berdelapan.

Sudahlah, aku harus pintar-pintar mengatur bagaimana caranya berdamai dengan diri sendiri. Aku berjalan menggunakan taksi (sebutan angkot disini) dengan Wulan—pengajar muda yang akan kulanjutkan perjuangannya di kampung nanti, menuju dermaga. Jangan kau bayangkan dermaga mewah penuh dengan tata desain menawan. Hanya bibir pantai biasa yang digunakan untuk parkir jonson-jonson warga. Sederhana, namun tetap kena nuansa dermaganya.

Menunggu cukup lama membuataku dan Wulan membuka perbincangan apapun. Termasuk pengalaman dia berjuang, menjadi Pengajar muda. Perjuangan yang katanya hanya membutuhkan ketulusan dan hati dalam menggerakkannya. Namun dua kata itu tak semudah bisa dilakukan seenak pusar. Akan mudah jika dipikir mudah dan susah jika pun berpikir susah. Bismillah, aku memantabkan diri everything is gonna be allright.

Eh, driver Jonson telah memanggil kami untuk menaiki kendaraannya. Petualangan 2 jam mengarungi ombak pun di mulai. Aku mulai merasakan excited yang menggebu, baiklah mari kita mulai seberapa kuat aku!! Semenit dua menit, aku masih menikmati perjalanan dengan berpota-poto, merekam video dan hahahihi dengan Wulan. 30 menit berikutnya kepalaku mulai terombang-ambing, pusing mual seperti baru kena pukul bagian tengkukku, berat sekali. Wulan memnyuruhku untuk tiduran saja, tapi bagaimana caranya? Jonson ini hanya bisa diduduki dengan posisi kaki di tekuk—aku mendadak lupa bagaimana kebiasaan mudah tidur kulakukan.

Panjang jonson sekitar 7-10 meteran, pucuk perahu sengaja dikosongkan. Bagian tengah adalah posisi untuk barang-barang yang kami bawa ditutup terpal biru. Di belakangnya sendiri, aku dan Wulan duduk memanjang saling berhadapan. Sedangkan kemudi berada di pangkal belakang Jonson. Sejam berikutnya, sesekali percikan ombak menjawil-jawil kami. Tak hanya itu rupanya, gerimis pun sempat memberikan rasa getaran jantung menurun-naik. Dan, aku memilih mengalihkan iblis perasaan itu dengan bercerita, mendengar, bercerita dan mendengar terus.

Hingga dari kejauhan aku mulai melihat satu per satu desa tetangga di sebrang pulau-pulau cantik Papua. Wow, perkampungan pesisir yang indah dengan masjid berkubah di pinggirnya. Tentu saja pasirnya putih, airnya hijau dan pohon kelapa dengan nyiur yang menjuntai ke segala penjuru arah mata angin. Cantik, sempurna memesona!

Wow, akhirnya pulau signal kelihatan juga. Jika sudah terlihat pulau ini, maka jaraknya sudah sangat dekat dengan perkampungan. Wahh, indah nian karang-karang di bawahnya. Aku sumringah dan penasaran ada apalagi di depan sana nanti. Woow, atap-atap rumah warga sudah mulai terlihat. Di samping perahu kami berlompatan ikan-ikan kecil, berkejar-kejaran—entah ikan apa?

Aku juga melihat sekumpulan anak yang sedang bermain di jauh sana mataku memandang. Aku seolah bisa melihat sorot mata mereka, bertanya-tanya siapakah yang ada di perahu ini?? Semakin mendekat, semakin rapat dengan bibir pantai sudah. Dan akhirnya, “Hei, anak-anak!!” teriak Wulan dengan muka senangnya. Anak-anak membalas dengan senyuman terbaik dan lambaian tangan. Inilah saat-saat mengharukan bagiku. Melihat pertemuan kembali, Wulan dengan warga kampung. Satu persatu berdatangan memeluk Wulan, sebagai wujud tanda rindu mendalam. Wulan sangat dicintai oleh warga, bahkan sebagian pun tak kuat hingga meneteskan air mata. Aku mampu merasakan ketulusan kerja Wulan setahun ini dari dekapan warga kampung Urat.

Indah sekali.

***

lihat juga ini


Cerita Lainnya

Lihat Semua