Hutan Mengantarkan Keindahan dan Kebersamaan

adji prakoso 6 Juli 2012

Saya sambut Minggu pagi 24 Juni 2012 penuh suka cita. Meskipun letih menyelimuti anggota tubuh. Dekapan bantal ditinggalkan demi menggapai pengalaman baru. Pengalaman menjelajah hutan dan kebun bapak Nainggolan, warga desa Kepayang. Awalnya tawaran ini ditujukan kepada mbak Milastri Muzakkar, pengajar muda angkatan 2. Setelah mendapatkan persetujuan pemilik lahan untuk mengajak teman, mbak Mila menawarkan ajakan menarik ini kepada saya. Tanpa ragu-ragu, mengiyakan ajakannya berjelajah hutan sawit, karet dan tanaman lainnya. Selain menyukai kegiatan menjelajah tempat baru, khususnyaa alam bebas. Aktivitas ini juga wahana mengakrabkan diri dengan masyarakat, apalagi bapak Nainggolan salah satu tokoh masyarakat di desa.

Menuju lahan perkebunan bapak Nainggolan, hanya bisa ditempuh menggunakan ketek ( perahu motor ) berukuran kecil tanpa atap. Sempat khawatir saat hendak menginjakan kaki di perahu ketek, penyebab ketakutannya perahu ketek bergoyang ketika seorang keluarga tuan rumah menaikinya. Saya berfikir apakah sanggup perahu kecil ini melawan arus sungai Musi ? Apalagi sungai Musi tekenal luas dan memiliki kedalaman yang ekstrem dibandingkan lainnya. Bahkan penduduk desa menyebutnya bukan sungai, melainkan laut.

Kapasitas perahu ketek milik bapak Nainggolan terisi penuh rombongan yang akan menjelajah lahan perkebunan miliknya. Kekhawatiran saya semakin memuncak, saat perahu yang ditumpangi mulai bergerak meninggalkan dermaga. Perahu bergerak lamban, dengan tenaga yang tertatih. Belum lagi perjalanan berlawanan dengan arus sungai. Beberapa kali perahu bersusah payah menghadang arus sungai yang bergerak deras. Saya melihat anak bapak Nainggolan yang ditugaskan mengemudikan perahu ketek, kewalahan mengendalikan perahu. Banting haluan kekanan dan kekiri untuk menghindari derasnya aliran sungai, di lakoninya. Dia memperlihatkan kepiawaian dan pengalamannya mengemudikan perahu ketek tersebut. Sudah jadi kebiasaan mengemudikan perahu ketek untuk mengantar orang tuanya mengelola lahan perkebunan.

Perasaan tegang hilang berganti takjub, ketika perahu ketek berbelok menuju anak sungai. Tidak lagi ditemukan derasnya aliran sungai Musi, digantikan lebatnya hutan sawit dan karet sebelah kanan maupun kiri sungai. Beberapa kali tingkah jenaka hewan penghuni hutan mewarnai pengalaman baru ini. Ada monyet sibuk mencari dahan untuk bergelantungan, ular bergerak mencari mangsanya dan biawak yang keluar dari tempat persembunyiaannya di pinggir sungai. Seluruh alam semesta bergerak bebas, tanpa rekayasa yang dibentuk manusia untuk mengeruk keuntungan. Semua berbagi dalam satu wadah yang di anugrahi Tuhan.

Setelah berjalan kurang lebih 45 menit menggunakan perahu ketek. Akhirnya kami tiba di lahan perkebunan bapak Nainggolan. Desiran angin menyambut kedatangan kami. Halaman depan perkebunan terbangun sebuah pondok peristirahatan yang digunakan pemilik lahan beristirahat setelah mengelola lahannya. Senyum bahagia tumpah ruah saat turun dari perahu, menuju alam terbuka yang indah. Daun-daun pohon seperti memanggilku untuk segera berlari menghampirinya. Saya resapi setiap langkah di lahan yang luas ini. Rasa syukur tidak henti-hentinya bersenandung dalam hati. Aku jatuh cinta terhadap lahan milik Tuhan yang dititipkan kepada bapak Nainggolan ini.

Tugas pertama ketika sampai dibelakang pondok, memotong ayam yang dibawa khusus, sebagai menu santapan utama siang hari itu. Ayam yang dibawa dan dipotong, kepunyaan bapak Nainggolan. Selain mengelola lahan, aktivitasnya beternak ayam. Saya belajar ketekunan dan kerja keras dari sosoknya. Bahkan dia berujar, awalnya bertani mengelola lahan dan beternak berangkat dari nol besar. “Saya belajar dari pengalaman orang lain dan buku. Naik turun dalam setiap usaha dan belajar sudah biasa. Yang terpenting kita  memaknai dari setiap kegagalan dan keberhasilan”, tambahnya. Sosok yang pantas jadi tauladan.

Setelah memotong ayam selesai. Saya membantu membakar jagung yang dipetik langsung Mbak Mila dari kebun. Sambil membolak balikan jagung, saya melihat ibu Nainggolan  memetik daun singkong untuk dijadikan sayur pelengkap makan siang. Aktivitas pasca membakar jagung, saya berjalan menuju lahan yang ditanami pohon karet. Sejuk dan sunyi senyap cocok dijadikan tempat menggali inspirasi atau sekedar melepas penat. Setelah itu, panggilan makan bersama datang. Kami nikmati makanan dalam satu wadah daun pisang, diiringi canda tawa. Pengalaman baru yang tidak terlupakan, hari ini saya banyak belajar dari alam dan makhluk hidup yang mewarnainya.

Semoga kekayaan alam Sumatera Selatan yang baru saja kami nikmati, tidak tergusur oleh penindasan yang berpura-pura dibalik pembangunan. Jikalau terdapat pembangunan harus bermanfaat bagi kepentingan masyarakat sekitar. Sebab tuhan wariskan kekayaan alam, bukan untuk dikeruk demi kepentingan perorangan tetapi dikelola menggunakan perasaan untuk keberdayaan bersama.

Alam semesta bercerita tentang keadilan dan kebersamaan, penuh kejujuran yang dikhiasi beragam warna


Cerita Lainnya

Lihat Semua