Bagaimana Aku tak Menyayangi Mereka??!

Masdar Fahmi 20 Oktober 2012

Tingkah polah anak-anak memang tak terduga, kadang menggemaskan, menjengkelkan, membuat senyum simpul atau ngakak. Sebagian yang lain bisa membuat geleng-geleng kepala atau menganga tanpa jeda. Paling tidak, itulah serentetan ekspresi yang kualami ketika bergaul dengan anak-anak Urat ini.

Namun, dibalik kektifan dan kenakalan khas anak-anak, mereka tetaplah polos dan menggemaskan. Ada beberapa sisi yang bisa membuat kita (aku lebih tepatnya) merasa terharu hingga membuat setetes embun di ujung mataku bergulir. So sweet...

Manusela, anak kelas 1 SD yang juga keponakan angkatku. Sebenarnya dia belum genap usia sekolah, hobynya bermain dan sangat aktif. Orangtua angkatku mengatakan bahwa dia anak yang nakal. Ah, tapi dia bisa juga berbuat manis. Suatu saat, ketika aku hendak ke masjid, dia merengek-rengek ke Mama piara untuk diambilkan baju muslim. Rupa-rupanya diamau ke masjid juga.

Entah apa motivasi anak iniikutan ke masjid. Aku tak mau merasa PD dan GR kalo ini gara-gara aku. Hanya saja, kejadian mengharukan ini simpel dan sederhana sekali. Saat sholat usai dan kami berslaman sesama jamaah. Buru-buru dia turun dengan sedikit berlari. Dia sempat menyelonong di depankudan sedikit menyenggolku, hmmm. Dan sureprise, dia merapihkan dua sendalku yang tadinya berserakan, mempersilahkannya dihadapanku dengan mengatakan kata yang sangat sederhana, “ini pak guru!”. Aku mematung. Wussshh... Sepertinya baru saja ada angin sepoi tiba-tiba mendera di hidung lembutku...Nice…

Hidayat, anak kelas 4 paling rajin diantara anak-anak laki-laki yang lain. Karena memang hanya dia saja laki-laki di kelasnya. Hampir setiap hari dia mampir ke rumah. Datang dengan tiba-tiba. Kadang ketika dia ingat, dia akan mengucapkan salam dan langsung berada di hadapanku. Jika tidak, dia pun akan segera menampakkan diri dihadapanku. Aku sering dibuatnya kaget bahkan sempat merasa terganggu karena kedatangannya. Sorry to say…

Bagaimana tidak, kadang, dia datang disaat yang kurang tepat. Saat aku ganti baju, dia pernah tiba-tiba menatapku di depan pintu kamar. Berhubung memang kamarku tak ada pintunya, cuma dibatasi sehelai gorden. Ya sudah, kadang aku menjadi tontonan dadakan ketika dia berhasil masuk rumah begitu saja. Belum lagi serentetan kepo-nya khas anak-anak yang ‘tidak penting’ menurut orang dewasa. Namun, dia adalah anak yang siap siaga membantu. Apapun dan kapanpun.

Tak jarang dia menjadi asisten pribadiku ketika kedatangannya ditengah-tengah kesibukanku yang menderu-dera. Sekedar mengangkatkan sesuatu, mengambil sesuatu, menyampaikan sesuatu, atau bahkan mengantarku mendayung ke Pulau Signal untuk menelpon. Setiap berangkat sekolah, dia menjemputku dan mengawalku, membawakan botol minumanku. Oh wow, dia selalu semangat dan tak pernah melupakan senyuman mringisnya yang khas. Juga, garukan di kepalanya yang padahal tak gatal sama sekali.

Arman, anak kelas 5. Aku melihat anak ini cukup potensial. Dia anak yang berani, keras, galak dan tidak penakut. Sering sekali dia bermasalah dengan teman-temannya karena keberaniannya itu. Misal, adu otot untuk menyelesaikan sebuah permasalahan anak-anak yang beranjak gedhe. Kadang aku geleng-geleng kepala jika teman-temannya melapor tentang ‘hasil kreativitas’ Arman kepada anak lain. Contoh : Menciptakan suatu tangisan pada temannya :)

Tapi, aku merasa lumer saat doa pelajaran berakhir. Tepatnya saat sesi salaman menjelang anak-anak pulang ke rumah amsing-masing. Entah kenapa anak ini mencium tanganku lebih dalam. Hingga seperti disedot, khusuk sekali. Gimana rasanya coba? Seakan dia benar-benar hormat kepada gurunya, tulusnya terasa hingga nyundul sanubariku. Tak hanya itu, ketika habis sholat jamaah pun demikian. Bahkan, tokoh adat kampung tak dia ciumi tangannya, namun ketika tangannya mendarat ditanganku, cup cup muahnya selalu ramah dia templokkan.

Oh ya,pernah suatu saat aku sholat jamaah dan sedikit terlambat. Dia memergokiku aku berbaris dibelakangnya. Ada 2 pilihan kebiasaan yangdia lakukan. Pertama, dia memilih mundur dan memberikan tempatnya padaku, atau dia memberikan sajadahnya dan merapihkannya di persujudanku. Dia sendiri, sholat tanpa alas sajadah atau mundur satu baris ke belakang. Speechless.

Asafa, anak kembar ini punya sisi unik lain dari saudaranya. Tanpa maksud membedakan, dia tumbuh lebih dewasa, terlihat matang, semangat belajar dan rasa ingin tahunya cukup besar. Penerimaan materi pelajaran terbilang lumayan apalagi masalah nyanyi. Dua kali, entah aku merasa dibuat haru olehnya.

Pertama, saat aku mengajarkan materi lagu baru di pagi saat sekolah. Ketika siangnya, dia kembali menghafal dan mengingat-ngingat lirik lagu serta nadanya. Dia ajarkan lagu itu dihadapan adik-adiknya yang juga kembar, sangat semangat. Salah-salah lagi. Tapi usahanya aku acungi jempol, itu juga yang membuat terharu, ketika kau mengajarkan sesuatu, lalu anak-anak mengamalkannya, maka kebahagiaan macam apa yang kau rasakan?

Lagi, sempat beberapa saat dia datang, meminta belajar dan disimak membaca. Disaat anak-anak lain “memanfaatkan”ku dengan meminta sebuah kertas kosong dan menggambar-gambar, diaberani keluar mainstreem yaitu belajar baca. Pernah suatu ketika dia mengudal-udal (mengeluarkan) buku-buku dalam box kardus. Hampir aku emosi, kenapa dia buat makin berantakan? Ketika aku tanyakan perlahan, “Kenapa bukunya dikeluarkan?” Dia menjawab santai, “Mau dirapihkan, pak guru!” Sukses jawaban santai itu menampar persepsiku yang hampir buruk.

Ahh, masih banyak lagi yang lain. Ohya, tak hanya anak-anak, ini pun terjadi pada keluarga piaraku. Biarpun ekspresi mama dan baba susah untuk ditebak itu perasaan apa, ternyata mereka sangat perhatian. Sekelumit masalah makan, Baba selalu mencariku ketika waktu makan telah tiba, mamapun demikian. Lauk yang mereka sajikan selalu yang paling baik yang dihidangkan di hadapanku, bahkan mereka mengalah untukku.

Oneday, tak ada ikan dan sayur. Mama sebenarnya sudah masak nasi, sudah cukup lama. Namun karena belum ada lauk lain, mama tak berani menawariku makan. Hingga aku ke dapur karena benar-benar merasa lapar, mama menyampaikan kesedihannya itu. Aku lebih merasa sedih. Cepat-cepat mama pergi ke kios untuk membeli sarden kaleng atau mie instan. Buru-buru aku menahannya dan bilang, “Ma, sudahlah, tak apa, pakai kecap saja sudah cukup!” *bayangkan adegan ini, aku menatap wajahnya dan memegang kedua tangannya dengan suara lembut, Haha gak lah bercanda! :p

Pernah juga aku menceletuk, bahwa aku suka sekali kepala ikan. Semenjak saat itu, ketika ada ikan-ikan hasil tangkapan atau pancingan, mama selalu menyisakan kepala ikan besar untuk aku santap. Ketika ada kue terbaik kiriman dari tetangga, pun aku yang pertama menyantapnya. Bahkan jika jumlahnya pun hanya satu, mereka akan tetap menyajikannya untukku. Sampai-sampai, ketika mama atau baba pengen sekali makan makanan itu, mereka minta ijin dulu kepadaku, well, begitu merasa dihormatinya aku di tengah keluarga ini...

Well, bagaimana aku tak menyayangi mereka? Tak ada alasan untuk tidak menyayangi mereka bukan? Bagaimana aku tidak bersyukur? Untuk alasan apalagi aku tak bersyukur? Aku menyesal sempat menggalau beberapa hari di awal-awal mingguku di kampung ini. Maka, nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan, Fahmi?

 

16 Agustus, sehari sebelum HUT RI

Enda Guru :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua