Aku Masih PDKT
Masdar Fahmi 17 Juli 20121 Juli 2012 jam 13.00 WIT
Hei, selamat siang. Di sini sudah siang, panas sekali. Aku sedang duduk d hamparan pesisir indah. Pasirnya putih, pohon kelapa banyak terjejer d tepiannya, anginnya? Jangan ditanya,semilir dan segar sekali.
Aku akan ceritakan sedikit, tentang sesuatu. Sssssttt, aku sedang PDKT dengannya, doakan ya agar benih-benih cinta itu akan mucul setelahnya. Cekidot...
***
Sekarang, adalah hari ke 22 aku d Papua. Tepatnya dikabupaten Fakfak. Aku ditempatkan dikampung kepulauan, namanya pulau Semai atau Samai. Sedangkan kampungku sendiri namanya Kampung Urat. Perlu waktu sekitar 2 jam dari kota dengan perahu bermesin atau orang sini biasa menyebut Jonson.
Jonson sebenarnya adalahnamamerk mesin baling-balingperahu. Seperti kita menyebut Honda untuk kata ganti motor, atau Pepsodentuntuk kata ganti pasta gigi. Hahha ternyata, semacam ini juga terjadi di sini. Lucu sekali. Kalo merk Jonson sekarang su tarada (sudah tidak ada), hampir semuanya memakai Yamaha.
Jonson atau perahu nelayan,sepanjang sekitar 7 sampai 10 meter setia membawaku bolak-balik kemana saja. Ya, aku harus terbiasa dengan perjalanan laut ini. Makanya, pihak Yayasan memberiku hadiah sebuah pelampung. Tapi pada prakteknya, aku baru sekali memakainya, itupun saat awal aku kesini, membawa serta barang-barang bawaan yang sebanyak orang pindahan. Biarpun alat ini untuk standar keselamatan, namun banyak warga yang tak memilikinya, ribet juga untuk membawa-bawanya.
Entah kenapa, aku merasa waktu disini berjalan sangat merangkak. Lama sekali. Mungkin karena belum banyak aktivitas yang aku lakukan. Hanya makan, tidur, ngobrol, jalan-jalan, dan membaca. Alhamdulillah, setiap hari sekarang aku mulai merutinkan membaca. Walaupun bacaanku masih novel—Tereliye. Tak masalah, kebiasaan bisa dimulai dari hal-halyang sederhana bukan?
Bahasa di kampungku memakai bahasa Indonesia. Aku salut sekali, bahkan anak-anak kecil pun sudah mengerti ketika kuajak berdialog dengan bahasa Indonesia. Namun, ada satu bahasa daerah yang sungguh tak kumengerti, bahasa Baham. Ini dia bahasa daerah d Kampung Urat. Sungguh, tak ada sepenggal kata pun kumengerti maksudnya. Aku hanya bisa tersenyum jika mereka sudah membombardirku dengan bahasa daerah.
Beruntung sekali, aku tinggal bersama orang tua angkat yang baik. Bapak piaraku bahkan tak segan-segan mengajariku bahasa Baham. Kata-kata sederhana saja, seperti makan (cagasnawa), tidur (garuk), dan kata-kata benda seperti sarung (mar), baju (londo), air putih (kriya) dll. Bapak angkatku ini suka bercerita, apalagi tentang perjalanan 26 harinya ke Jawa. Sdangkan ibu angkatku sendiri kecil namun lincah, pemalu dan sedikit lucu. Aku memiliki 6 saudara angkat dan 4 (mungkin lebih) kemenakan angkat. Woow kan.. Heheehe...
Sejauh ini, aku mengenal orang-orang di kampung sangat ramah. Mereka memandang status guru sangat terhormat. Bahkan di acara-acara hajatan, guru ditempatkan di bagian darat (baca muka, depan, atau tempat duduk utama). Sejajar dengan tokoh adat, tuan rumah, Pak Imam, Kepala Kampung dan pejabat penting lainnya. Hal ini, sungguh membuatku sedikit tak nyaman, aku yang masih ingusan ini harus sejajar dengan orang-orang tuadan tokoh penting kampung? Hahha,canggungsekali kedengarannya.
Aku suka kebiasaan ketika makan disini. Mereka punya tradisi makan bersama-sama. Tapi sayangnya bukan untuk semua anggota keluarga. Man first, untuk masalah makan. Mama-mama boleh makan setelah kaum pria selesai makan, atau kalo sudah tak kuat, mereka makan dibelakang, terpisah dari para lelaki. Bukan bagian ini yang kusuka, namun momen makan selalu digunakan untuk mengobrol santai dan waktu efektif untuk PDKT.
Selain itu, saat minum teh juga saatnya bicara. Eh, iklan banget. Setiap pagi dan sore, masyarakat kampungku ini punya kebiasaan itu. Setiap pagi setelah minum teh, mereka akan pergi bekerja, entah memetik pala, belah kayu, tangkap ikan, cari daun tikar, atau apapun pekerjaannya. Ohya, ada satu kebiasaan bagus yang menuruni jejak Rasulullah, yaitu : mereka akan makan jika sudah merasa lapar. Subhanallah, namun jamnya tak pasti (ini yang kadang memaksaku untuk sedikit menderita—kelaparan, hahha). Intinya ada di dua waktu siang dan malam, itu untuk makan besar—dengan nasi.
Mmmm, untuk kesadaran lingkungan. Tampaknya, masyarakat di kampungku belum begitu aware. Mereka bahkan belum menggunakan tempat sampah di setiap depan rumahnya. Mereka memilih membuangnya di Pantai. Sedihnya, padahal pantaiku indah. Tapi, aku bersyukur juga karena masih ada beberapa yang sadar dengan tidak membuang begitu saja—tapi membakarnya ditepian pantai.
Sejalan dengan tempat sampah, tempat MCK pun tarada. Mungkin hampir semua dari mereka blummemiliki kamar mandi, atau WC. Hanya sumur-sumur di depan kampung yang menjadi sarana air bersih mereka. Sekaligus air tadah hujan yang mereka tampung dengan drum besar atau tangki air hasil bantuan dari pemerintah. Ngomong-ngomong, hanya ada satu WC umum ditengah kampung. Aku setia menggunakannyauntuk aktivitas MCK, mungkin yang pakai cuma aku, mungkin.
Ada sekitar 59 kepala keluarga dengan jumlah 200-an penduduk kampung. Termasuk anak-anak, pria dan wanita. Ohya, ada juga pendatangnya lhoo, namun hanya segelintir, bisa dihitung jari. Dari maluku, jawa timur, yang mungkin tak lebih dari 5 orang. Penghuni paling banyak, mungkin anak-anak. Banyak sekali mereka yang masih berada di usia-usia balita.
Euy, masih banyak lagi yang ingin kutahu dari kampung ini. Aku berharap setiap hari cintaku makin bertambah. Entah kepada masyarakatnya, alamnya, local wisdomnya, adat-istiadatnya, sehingga setahun ke depan akan terasa begitu singkat. Aku yakin, kampung Urat di distrik Fakfak Timur ini akan mampu menjadi kampung keduaku suatu saat nanti, amin.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda