info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Lukisan Kelabu: Seni di Bangku Sekolah

Oktavina Qurrota Ayun 4 Juli 2012

Ini mungkin sederhana, tapi sudahkah kita berterima kasih kepada Bapak/Ibu guru seni di masa sekolah dulu yang telah memperkenalkan kita pada seni?

Pendidikan seni merupakan salah satu mata pelajaran yang kerap dipandang sebelah mata oleh sebagian besar dari kita. Jujur saja, ini termasuk saya sendiri ketika duduk di bangku sekolah dulu. Namun ketika bersentuhan dengan realita pendidikan di daerah, saya merasa bersyukur telah diperkenalkan dengan dunia seni semasa sekolah dulu: belajar memainkan pianika, menampilkan permainan angklung dan menari tarian daerah, membuat lukisan cat minyak, serta menyelenggarakan pameran karya siswa di sekolah. Ini merupakan beberapa hal yang saya sepelekan semasa sekolah. Tetapi ketika saya menyadari bahwa siswa saya asing dengan tangga nada, serta ‘takut salah’ menggambar dalam pelajaran Seni Budaya, dan Kreativitas (SBK), saya merasa sedih. Tanpa mereka sadari, mereka nyaris melewatkan satu hal penting dalam hidupnya: bagaimana menemukan dan menikmati keindahan lewat seni. 

Sebagian besar siswa saya tak bisa menggambar tanpa mencontoh gambar lain. Entah mereka harus menjiplak gambar, atau melihat gambar lain untuk digambar ulang di kertas yang saya berikan. Pun ketika saya ajak menggambar bebas, mereka akan selalu mengkonfirmasi, “Gambar saya sudah betul kah, Bu?” Prinsip ‘menggambar bebas’ agak sulit diterima bagi mereka, karena mereka takut disalahkan.

Profesor Primadi Tabrani, salah satu guru besar seni rupa Indonesia, pernah menyatakan dalam salah satu kuliahnya yang saya ingat, bahwa salah satu kesalahan sistem pendidikan seni rupa yang di sekolah-sekolah dasar negeri ialah menghilangkan potensi kreatif anak Indonesia dengan konsep ‘gambar benar dan gambar salah’. Masih ingat ‘topi koboy’ dalam buku The Little Prince karya Antoine de Saint Exupery? Si anak yang menggambarnya bersikeras bahwa itu ialah gambar ular yang baru saja memakan gajah. Namun orang-orang dewasa yang melihat gambarnya berkata, “Salah Nak, itu topi koboy.”

Dalam satu titik di hidup ini, kita pasti pernah menggambar dua gunung dengan matahari di tengahnya. Gambar tipikal yang menjangkiti anak-anak di seluruh Indonesia ini bagaikan suatu zona aman: tak ada guru yang pernah menyalahkan gambar tersebut. Namun ketika seorang anak menggambar manusia dengan kepala yang tidak proporsional dengan badannya, atau rumah di seberang jalan secara terbalik (karena begitulah rumah tersebut terlihat dalam persepsinya), guru tak akan segan-segan menyatakan bahwa gambarnya salah, atau memberi nilai jelek karena gambarnya ‘salah’. Repetisi dari pernyataan, “Gambarmu salah!” atau, “Mana mungkin gambarnya begitu?” membuat anak lambat laun yakin bahwa dirinya tidak berbakat menggambar, dan dengan demikian matilah kreativitasnya.

Sebagian besar guru dan orang tua masih menganggap pelajaran seni, baik seni rupa ataupun seni musik, hanya sebagai pelengkap nilai di rapor. Jika anak mendapat nilai 5 untuk pelajaran matematika atau IPA, ia bisa jadi akan dimarahi habis-habisan. Namun ketika ia mendapat nilai yang sama untuk pelajaran seni rupa, biasanya orang tua hanya akan melihatnya secara sepintas dan dengan mudah menyimpulkan bahwa anaknya memang tidak berbakat dalam bidang seni.

Tapi seni bukan hanya mengenai bakat atau tak berbakat. Seni adalah tentang mengapresiasi keindahan, dan melihat yang tak nampak dari hal-hal lain yang kasat-mata. Secara rasional, pendidikan seni sendiri penting untuk menumbuhkan kreativitas: bahwa ada lebih dari satu solusi untuk suatu masalah, atau lebih dari satu jawaban untuk sebuah pertanyaan.

Inilah lubang menganga dalam sistem pendidikan kita. Metode pembelajaran satu arah yang menghasilkan cetak biru pemikiran yang lateral pula: hanya ada satu jawaban untuk sebuah pertanyaan. Soal tipe X jawabannya X’, sementara soal Y jawabannya pasti Y’. Akibatnya, pemahaman siswa lemah, mereka bisa menjawab pertanyaan tetapi belum tentu bisa memecahkan masalah. Tanpa pendidikan seni yang baik, siswa tidak terbiasa berpikir kreatif dan mengekspresikan dirinya karena kreativitas berpikirnya keburu dipagari oleh paradigma benar-salah yang didiktekan oleh guru.

Menumbuhkan kreativitas hanyalah salah satu dimensi yang dapat kita peroleh dengan mencanangkan program pengajaran seni yang baik di sekolah. Lebih jauh lagi, pendidikan seni merupakan sarana untuk mempertajam kepekaan emosi. Seni membiasakan anak untuk berpikir dalam kerangka ‘penciptaan’ yang menumbuhkan motivasi diri untuk mengkomunikasikan gagasannya. Ketika mereka terbiasa untuk mengapresiasi dirinya, mereka juga belajar untuk menghormati orang lain melalui karya dan idenya.

Pendidikan seni, pada hakikatnya, adalah usaha untuk ‘memanusiakan’ seseorang. Sebagai manusia, kita hidup untuk menikmati keindahan. Mendidik anak melalui seni, adalah cara untuk mengajak mereka menyelami dirinya, mengikuti intuisi dan rasa ingin tahunya, dan menjadi bagian dari keindahan itu sendiri.


Cerita Lainnya

Lihat Semua