info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Jamaah di Masjid untuk Pertama kalinya

Masdar Fahmi 31 Juli 2012

30 Juni 2012

Siang ini, aku mendapat kesempatan untuk pergi ke Kampung tetangga. Namanya Wambar, sekitar 45 menit dari Urat ditempuh dengan Jonson ke arah timur laut, eh entahlah susah menentukan arah disini. Jika dari kota Fakfak, maka akan memakan waktu +/- 1 jam perjalanan. Sedang ada hajatandi Wambar, pernikahan katanya.

Pak Kapitan (tokoh adat di Urat) mengabariku pagi-pagi sekitar jam 8. Eh, aku tak begitu ingat, yang aku ingat aku sudah selesai mandi, namun belum minum teh. Tadinya, aku akan pergi dengan bapak piara, tapi entahlah mungkin beliau sibuk petik pala atau pekerjaan lain, makanya aku jadi perwakilan dari keluarga angkatku sekaligus mewakili Ibu Guru Wulan (seorang PM sebelumku).

Beberapa lama menunggu Jonson, akhirnya jam 12-an siang Pak Kapitan mengajakku bersiap. Kami menuju perahu yang akan pergi ke kota. Wow, ada banyak orang yang turut serta, aku lupa berapa pastinya, sekitar 10 mungkin lebih. Tak hanya manusia, ada beberapa bawaan (mungkin untuk dijual) seperti balok-balok kayu, kelapa, tumpukan derigen minyak, dan rusa (apa?? Rusa??). Yaa, rusa itu terdengar tersiksa dari raungan suaranya. Aku bahkan tak sempat melihat mukanya.

Jonson sekecil itu bermuatan cukup banyak. Tapi, aku tak begitu khawatir akan tenggelam, pasalnya cuaca siang ini begitu teduh. Anginnya sepoi dan airnya tidak begitu bertingkah macam-macam. Anteng sekali, seperti biasa, aku menuai pandang di sejauh pupilku mampu menangkap gambar-gambar Tuhan yang indah. Subhanallah, laut ini, bening, hijau, tersimpan sejuta keayaan di dalamnya, asin pula (ya iyalah, anak kecil juga tau rasa air laut itu asin!).

Oh, perjalanan siang ini lebih terkendali. Sesekali aku menimba air di dalam perahu yang diam-diam masuk tanpa ijin. Membetulkan mantelku dan topiku manakala panas sedikit menyengat. Aku berharap ada lumba-lumba yang girang berlompatan di atas air, namun tak kudapatkan adegan itu. Aku baru sekali melihatnya. Hanya ikan-ikan kecil berwarna mirip zebra yang terlihat di pinggir bebatuan.

Jonson kami melipir sebentar, di sebuah pulau yang ternyata tempat orang-orang kampung mencari nafkah. Entah petik pala, belah kayu atau cari daun tikar. Tak lama, hanya mengantarkan si Iqbal (anak seorang warga yang kebetulan sedari tadi pagi ada di pulau itu), lalu lanjut lagi perjalanan.

Tak terasa lama juga, akhirnya kami sampai di sebuah perkampungan pesisiran, yang nyiur kelapanya tampak begitu anggun. Panjang menjuntai batang tubuhnya, buahnya lebat dan daunnya berserakan namun rapih membentuk arah mata angin. Pantainya lebih lebar sehingga pasirnya terlihat lebih rapih, rata dan putih. Mirip seperti bedak-bedak padat ibu-ibu. Cantik sekali, tentu airnya hijau. Di belahan sisi yang lain, ada bebatuan dan sedikit tebing tak terlalu tinggi. Sehingga lumutnya yang menempel di atas batu-batunya terlihat jelas manakala air sedang surut. Inilah kondisi alam di desa Wambar.

Dari segi akomodasi, Wambar setapak lebih maju dari kampung Urat. Beberapa rumah sudah memiliki WC sendiri, ada akses jalan raya untuk ke kota, meskipun belum teraspal sempurna (namun sudah ada angkot yang lewat). Dan, yang membuatku senang, ada masjid besar di balik nyiur-nyiur hijau yang melambai.

Hatiku dag-dig-dug melihat masjid berkubah dengan tambahan kubah kecil di setiap sudutnya. Itu bangunan pertama yang ingin aku kunjungi, sholat dhuhur di masjid, pikirku dalam hati. Tapi ternyata, pak Kapitan mengajakku ke suatu rumah, tak jauh dari masjid untuk meletakkan tas-tas kami. Setelah itu makanlah sudah di tempat hajatannya.

Makan sudah, sholat sudah dan aku mengecek HP, ups ada sinyal. Hebohlah sendiri dan langsung jempolku menari-nari, membuat kombinasi huruf-huruf serupa kalimat, dan sentke nomor-nomor keluarga dan sahabat. Alhamdulillah sedikit melepas kangen, hingga sore tiba dan waktunya sholat ashar.

Aku melangkahkan kaki ke masjid, menginjak anak tangganya yang cukup banyak. Menuju puncak, koridor masjid dan tempat wudhu. Tak ada kamar kecil di sebelah tempat wudhunya. Penampung air sengaja disiapkan, hanya berbentuk kotak besar layaknya bak mandi, lalu dipasang keran-keran disisinya sepadan dengan orang dewasa membungkukkan badan. Aku berwudhu, mengusap wajah, tangan, rambut, telinga dan kaki. Lalu masuk ke masjidnya.

Betapa senang hatiku, sudah siap bapak-bapak tua (yang akhirnya aku tahu ternyata pak Imam kampung) dengan sholat qobliyahnya. Beliau selesai, aku mendekat dengan maksud turut serta jamaah ashar, dia mengiyakan, aku melantunkan iqomah. Ya Alloh, ini adalah hari ke-22 ku di Fakfak, dan baru kali ini aku sholat berjamaah di masjid, meskipun hanya berdua saja. Dan seperti biasa, bagiku, hal pertama selalu spesial. Selalu mengejutkan, mendebarkan, dan menggairahkan tentunya.

Aku terlarut dalam gerakan-gerakan sholat.Tak terasa, di pertengahan rokaat, air mata ini tumpah. Sungguh aku bagai merasa baru bersuadengan sesuatu yang lama sekali tak kutemui. Ya Alloh,aku rindu sholat jamaah di masjid. Menyesal sekali, rasa-rasanya dulu aku jarang pergi ke masjid untuk sholat jamaah. So, buat yang masih banyak kesempatanbertemu masjid, jaga selalu sholat jamaahnya di masjid ya :)

lihat juga

***


Cerita Lainnya

Lihat Semua