Aku Jadi Wali Nikah, Apa?!

Masdar Fahmi 30 September 2012

Kejadian ini sungguh tak kuduga sebelumnya. Bayangkan, bagaimana bisa aku menjadi seorang wali nikah?? Begitulah, di daerah penempatan apa saja bisa terjadi. Tentu, ini sebenarnya sebuah kehormatan bagi saya. Tapi, entahlah, ya Alloh, aku dosa kah?

Cerita dimulai saat ada seseorang yang datang ke rumah. Waktu itu aku sedang menemani mamapiara di dapur. Dorang (dia) sedang memasak kue. Seseorang itu menyampaikan pesan bahwa ada hajat di rumahnya. Kebiasaan orang-orang kampung disini memang begitu. Jika ada hajatan, akan ada satu atau dua orang yang keliling kampung untuk menyampaikan kabar berita tersebut.

Aha, tak akan pernah kulewatkan momen ini. Pernikahan siri booy!! Sekaligus kesempatan untuk ekesis (tolong dibaca : bersosialisasi, hahaeee). Dan ternyata juga,kue yang mama buat adalah untuk konsumsi acara hajat itu. Yasudah,aku turun di muka (duluan) ke tempat hajat. Sudah ada beberapa warga yang berkumpul. Tidak begitu rame. Mungkin sebagian masih di kota. Atau mungkin memang sengaja yang diundang sedikit. Entahlah.

Aku disambut bapak-bapak yang sudah hadir. Ada pak Imam Kampung yang sudah datang, duduk di barisan depan. Biasanya barisan ini disediakan untuk tokoh-tokohadat, orang tua, tomas (tokoh masyarakat), atau yang lebih dituakan dan dihormati. Termasuk guru, ya guru juga lho... hahaee...Namun, aku memilih duduk di tempat biasa saja, biarpun orang-orang memaksa pindah. Biarlah, aku tak enak hati ah.

Sebelum acaradimulai, secara aklamasi—bahkan paksaan, pak Imam menunjukku menjadi wali nikah. Maksudnya apa?? Awalnya, diabilang saksi, namun malah berubah jadi wali.APA??!!!!

Jadi begini, si laki-laki adalah warga asli kampungini. Biarpun sebenarnya dia keturunan Maluku. Namun sedari lahir sudah hidup di Urat. Nah, calon istrinya ini adalah orang Jawa. Dia sebatangkara di Papua. Kabarnya dulu terpisah dengan orangtuanya saat ada gempa di Bogor—aku bingung, beberapa bulan lalu adakah gempa di Bogor? Ahh, itu bukan urusanku.

Jadi begitu, aku ditunjuk sebagai wali, karena sama-sama orang Jawa. Dan aku dianggap bisa mewakili dari pihak keluarga. Sungguh aku ingin menolaknya, tapi pak Imam sudah memilih, dan warga lain pun bersepakat. Apa boleh buat?? Lalu bagaimana caranya aku menikahkan? Are you kidding me, pak Imam??!! (pikirku dalam hati).

Lalu, pak Imam bertanya padaku, “Pak Guru, nanti jadi Wali. Terserah pak Guru, mau menikahkan sendiri atau diwakilkan ke saya saja?” tanyanya santai. Aku berceletuk dalam hati, Menurut Anda Pak Imam???Jelaslah, aku minta beliau mewakilkannya. Lalu dia menjabat erat tanganku dan mengatakan, “Sah ya pak guru?” aku grogi dan deg-degan, lalu reflek bilang, “Insya Alloh pak Imam!”

Prosesi dimulai, eng ing eng....

Begini kronologisnya. Mula-mula, ada dua orang yang mempersiapkan diri untuk keperluan ijab qobul. Ada sebuah tikar, ditutup kain putih. Dan, di balik kain putih itu terselubung bantal. Mungkin itu untuk duduk atau bertindak sebagai meja, pikirku. Disamping itu juga ada orang yang mempersiapkan kemenyan.

Aku dengan satu perwakilan dari mempelai putra—namanya pak Alimudin, mendampingi mempelai putra berhadapan dengan pak Imam—beliau yang nantinya menikahkan. Pak imam berbincang kepada kami sebagai wakil kedua mempelai. “Coba, dong (anda semua) tanya kepada calon istri, ingin mas kawin apa?” Lantas kami berdua masuk ke dalam kamar mempelai wanita dengan cara bergandengan—mungkin ini adat ya, so sweet kan...

Sang pengantin perempuan sudah dirias, berjilbab, kebaya hijau terbaik, wangi pula. Dia juga ditemani dua mama yang mungkin juga maksudnya adalah perwakilan dari kedua mempelai. Salah satunya adalah mama piaraku. Komunikasi berantai pun terjadi—ribet deh. Pak Alimudin bertanya pada mama piara tentang maskawin. Mama menyampaikannya ke mempelai wanita. Sang mempelai menjawab kalung.

Lantas, pak Alimudin menjelaskan, kalau mas kawin dibayar hutang bagaimana? Mama kembali menyampaikan ke sang pengantin wanita. Jawabannya, tidak apa-apa. Ahh, kenapa harus berantai begini sih, macam kayak kuis-kuis di TV aja.

Kami keluar, dan menyampaikan ke pak Imam. Tak lama setelah menyampaikan perihal mas kawin, upacara ijab qobul dimulai. Rangkaian acara dimulai dengan doa-doa. Semacam tahlil. Biasa, ditemani dengan kemenyan. Sudah tradisi di kampung ini.

Nah setelahnya, ini yang unik. Pak Imam dan mempelai pria berhadapan duduk seperti orang tahiyat. Lutut kanan pak Imam menyentuh lutut kanan mempelai, lalu kedua tangan saling bersalaman seperti orang mau panco. Kedua jempol tangan mereka bersatu dan dibelitkan sebuah cincin—udah disiapin sebelumnya. Lalu tangan merekaditutup dengan sapu tangan. Aku belum tanya apa maksud dari kegiatan ini.

Ijab qobul pun dimulai. Pak Imam menyebutkan beberapa kalimat dalam bahasaarab, sang mempelai mengikutinya. Hingga pak Imam bilang, “Hai Sukri, saya nikahkan Shinta binti Sarifudin dengan mas kawin kalung di bayar huuuu........” Nnnaaahhh, saat kata hutang yang diperpanjang itu, mempelai mengucapkan qobulnya, “Saya terima nikah beserta mas kawinnyatersebut.” Kemudian baru para saksi dan wali bilang sah! Nah, waktu itu, ijab qobul sempat dilaksanakan 2kali, karena yang pertama dianggap tidak lancar dan belum sah.

Ijab qobul selesai, doa-doa dikumandangkan, kami semua bersalaman satu sama lain. Lalu, aku dan pak Alimudin menggandeng Sukri menjemput Istrinya di dalam kamar. Lagi-lagi kami saling bergandengan, mungkin menandakan ikatan kekeluargaan.

Tawa kebahagiaan hadir di tengah ruangan kamar yang sempit itu. Shinta terlihat bahagia, kedua mempelai bersalaman. Dia mengatakan sesuatu dalam bahasa Jawa kepadaku, “Untung ada kamu mas yang sama-sama Jawa!”Haduh, entahlah, aku bingung dengan apa yang baru saja kualami.

Itu sudah, ngobrol di kamar dan berhaha-hihi, saling memberikan selamat, setelah itu keduanya keluar ke ruang tamu kembali. Shinta berpegang tangan (salaman) kepada seluruh hadirin yang datang, muter begitu. Hingga berakhir dengan acara ramah tamah dan ngobrol-ngobrol masalah pernikahan, keluarga, tentang puasa dan lain-lain. HIngga acara berakhir, salah satu warga mengatakan, “Wah, Pak guru su (sudah) punya Ipar sekarang di kampung!” Ckckck…


Cerita Lainnya

Lihat Semua