Anak Siboru Itu Hebat

Mario Surya Ramadhan 4 Mei 2013

Murid saya di sini adalah sumber inspirasi saya. Mereka adalah murid, sahabat dan anak bagi saya. Saya memang mengajar mereka tetapi tanpa mereka sadari, pada saat yang sama mereka juga mengajari saya, mengajari bagaimana hidup bahagia dalam keterbatasan.

Waktu saya memandangi murid-murid seringkali saya melamun terkenang akan masa kecil. Kadang-kadang saya membandingkan masa kecil yang saya alami dengan apa yang anak-anak murid di sini alami. Berbeda jauh. Mereka jauh lebih hebat dari saya. Kenapa saya bisa mengatakan seperti itu?

Waktu kecil saya punya mainan yang cukup lengkap, mulai dari mobil-mobilan, robot-robotan sampai video game. Saya sering menangis, mengamuk meminta dibelikan mainan baru kepada orang tua saya. Saya sangat senang ketika orang tua saya membelikan mainan baru untuk saya.

Anak-anak Siboru itu hebat, mereka menciptakan mainan mereka sendiri. Kebanyakan bersumber dari lingkungan sekitar, seperti dari kayu atau kerang-kerang. Mereka sudah sangat bahagia bermain “roda-roda”. Permainan menggelindingkan roda bekas, dikendalikan menggunakan tongkat kayu sambil berlari dengan kecepatan tinggi. Jika kita perhatikan anak laki-laki Siboru memiliki style yang sama, “ketapel” selalu siap sedia di selipkan di punggung. Ada lagi “gacok” permainan menggunakan karet gelang. Dan yang paling membuat mereka bahagia adalah mandi air garam alias mandi-mandi di laut.

Waktu kecil hari yang paling saya tunggu adalah hari minggu karena minggu pagi saya bisa puas menonton film kartun. Doraemon, Ninja Hatori, Crayon Shincan, Dragon Ball, Tamiya, Saint Saiya, Detektif Conan tidak pernah saya lewatkan. Kalau saya bangun terlambat rasanya kesal luar biasa. Mood saya bisa rusak seharian.

Anak-anak Siboru itu hebat, mereka tetap senang tanpa tahu makhluk macam apa  Doraemon itu. Jika kamu tanyakan soal Doraemon kepada anak-anak Siboru paling-paling reaksi mereka hanya mengerutkan dahi atau geleng-geleng kepala. Anak-anak Siboru tidak kenal dengan Doraemon dan teman-temannya. Lho kok bisa ada anak kecil di Indonesia yang tidak tahu Doraemon, film kartun lintas generasi yang sudah puluhan tahun diputar pada hari minggu jam 8.00 WIB di RCTI ?

Setiap hari listrik desa (Lisdes) hanya menyala pada malam hari mulai dari matahari terbenam sampai tengah malam, jika beruntung (baca: penjaga genset lisdes ketiduran) bisa menyala sampai jam enam pagi. Itulah yang menyebabkan anak-anak Siboru tidak mengenal Doraemon. Pagi-pagi tidak ada listrik di kampung kami.

Waktu kecil saya tidak terlalu suka makan tetapi saya bersyukur bisa makan secara teratur, tiga kali sehari dengan menu bergizi. Sebelum sekolah ibu saya menyiapkan sarapan dan segelas susu. Pulang sekolah bibi sudah menyiapkan makan siang. Jika sewaktu-waktu saya lapar tinggal goreng telur atau sosis yang ada di kulkas.

Anak-anak Siboru itu hebat, tidak ada kepastian kapan mereka akan makan nasi dengan lauk lengkap dalam satu hari. “Pak Guru, pulang sudah, beta su lapar”, kalimat itu yang kerap saya dengar jika sudah masuk jam 10 ke atas, dengan wajah memelas anak-anak meminta pulang karena lapar.

Sebelum berangkat sekolah, anak-anak Siboru biasanya hanya sarapan “teh kosong”, jika beruntung ditemani pisang, patatas, keladi atau kasbi goreng. Jadi tidak heran jika jam 10 mereka sudah minta pulang untuk makan. Alasan ini juga penyebab utama anak-anak raib di jam istirahat dan tidak kembali lagi ke sekolah.

Pulang bukan berarti mereka akan makan “normal”, mereka sering hanya makan “nasi kosong” atau nasi disiram air teh manis. Saya pernah bertanya ke salah satu anak apakah enak makan nasi disiram teh manis, jawabannya tentu saja “Yang penting beta kenyang Pak Guru”. Sering juga anak-anak mencari buah-buahan seperti langsat, kedondong atau rambutan di sekeliling kampung, sekedar mengganjal perut. Pada saat acara hajat atau perayaan hari besar keagamaan anak-anak senang bukan main karena makanan melimpah. Nasi kuning, daging ikan, daging rusa, daging babi, daging ayam, sayur sampai es buah semua tersedia. Mereka bisa makan puas.

Kadang saya merenung daya tangkap kebanyakan anak yang lambat disebabkan asupan gizi yang tidak seimbang. Tapi lagi-lagi, anak Siboru itu hebat, meskipun begitu mereka tetap pergi belajar ke sekolah, bermain riang gembira, pergi ke kebun membantu orang tua, membelah kayu bakar, menjaga adik, membantu mengangkat batu tela (batako) atau memikul pasir untuk membangun gereja.

Waktu kecil saya tumbuh dan berkembang dengan kasih sayang dari bapak dan ibu. Anak Siboru itu hebat, mereka mandiri di usia dini. Sebagian dari anak-anak murid saya tidak bisa merasakan tumbuh dan berkembang bersama orang tua kandung mereka. Banyak dari murid saya yang orang tuanya sudah meninggal. Ada juga yang keberadaan bapak atau ibunya entah di mana. Mereka dipiara oleh kakek-nenek atau paman-bibi mereka.

Tinus, salah seorang murid kelas tiga yang paling sering tidur di rumah saya, menceritakan bahwa waktu dia masih kecil ibunya bunuh diri karena bapaknya ingin menikah lagi. Saat ini Tinus dipiara oleh kakek dan nenek nya. Saya takjub dia bisa menceritakan kepada saya. Tinus tetap semangat sekolah dan bermain. Pagi-pagi ia selalu datang ke rumah meminta kunci untuk membuka pintu kelas. Ada lagi Diana, pindahan dari Serui, ketika saya tanya “Diana pu bapa, mama dengan kaka di mana ?” Diana menjawab dengan santai, “Kitong cari jalan masing-masing Pa Guru”.

Cerita hidup mereka memang tak seindah cerita putri dari negeri dongeng. tetapi mereka tetap memberikan senyum indah setiap harinya. Senyum indah yang seolah-olah berkata “Saya punya masa depan cerah !” 


Cerita Lainnya

Lihat Semua