Gaji Pertamamu adalah Ketulusan

Maria Goretti 29 April 2013

 

Mengulang Ingatan

Minggu, 21 April 2013, saya mendapat kabar bahwa pada esok hari, pelatihan intensif Pengajar Muda Angkatan VI akan dimulai. Betapa waktu tak mau menunggu. Baru sejenak rasanya menikmati kicauan para murid hampir setiap hari, ternyata penerus gerakan ini akan tiba sebentar lagi seiring kami pergi. Ingatan-ingatan tentang pelatihan yang kami jalani dulu menggeliat-geliat dalam kepala saya. Ada yang muncul di sana, suatu pernyataan yang pernah saya garis bawahi. Pernyataan tersebut milik Hikmat Hardono, direktur program Indonesia Mengajar, "Gaji pertamamu adalah ketulusan". Dulu saya mencatatnya dalam jurnal pribadi karena kalimat itu menarik. Saya anggap menarik justru karena saya belum mengerti maksudnya. Saya belum mengalami artinya. Jelas, karena saat itu saya masih calon pengajar muda, belum terima gaji pertama. Ketika itu penanda waktu menunjuk pada Mei 2012.

Waktu bergulir hingga Agustus, Lebaran tiba. Saya dan sembilan kawan sudah hampir dua bulan di Kapuas Hulu. Lebaran diperingati oleh hampir semua sekolah tempat kami bertugas dengan libur selama dua minggu. Kesempatan tersebut kami manfaatkan untuk bersilahturahmi dengan para pemangku kepentingan dan keluarga angkat kami di Putussibau, ibukota kabupaten Kapuas Hulu. Setelah berbagai agenda silahturahmi terlaksana; saya, Didi Suryana, dan Mirah Mahaswari memutuskan untuk kandau ke Desa Kepala Gurung, Kecamatan Mentebah, tempat Herry Dharmawan bertugas.

Mas Nyoto

Untuk pertama kalinya saya bertemu Mas Nyoto, bapak angkat Herry. Mas Nyoto adalah transmigran dari Jawa. Menurut Herry, Mas Nyoto adalah tokoh yang disegani di Kepala Gurung. Mas Nyotosudah sekitar dua puluh tahun tinggal di Kepala Gurung. Kepala desa yang sekarang menjabat pun atas dukungan Mas Nyoto.

Mas Nyoto mempersilakan kami bermalam di rumahnya. Istri Mas Nyoto tidak pernah membolehkan kami mencuci alat makan. Jika kami lapar, kami dipersilakan mengambil makanan sendiri. Saat Lebaran, istri dan ibu mas Nyoto menyembelih ayam, memasak sayur serta menyediakan aneka kue kering dalam jumlah banyak. Sudah tradisi di kalangan para trans, setiap Lebaran mereka akan sowan, kandau, silahturahmi ke rumah Mas Nyoto. Mereka menghidangkan segala bahan yang dapat mereka masak dan sajikan, untuk puluhan keluarga trans (orang yang bertransmigrasi) yang akan datang dari pagi hingga menjelang sore. Semua biaya keluar dari kantung Mas Nyoto. Setelah sekitar tiga hari di Kepala Gurung, kami pamit. Kami hendak melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Selimbau. Kami sempat singgah di Putussibau, di rumah Bu Fauziana. Keluarga Bu Fau, begitu ia biasa disapa, adalah keluarga angkat kami di Putussibau. Masih dalam suasana Lebaran, kami diajak silahturahmi ke rumah kerabat Bu Fau. Saat akan berangkat ke Selimbau, Bu Fau memberi sekantung plastik berisi entah apa kepada Herry. Karena hari hampir sore, setelah pamit kami bergegas tanpa melihat isinya.

Percakapan Sehangat Ibu dan Aroma Kopi

Kesalahan pertama kami adalah berangkat lewat tengah hari. Dwima Rizky dan Aryana Kusumaningrum, kawan kami yang sedang berada di Selimbau dengan keluarga angkat desa mereka, sudah memperkirakan bahwa kami akan tiba saat matahari telah pergi ke barat dan menyisakan gelap. Berbekal petunjuk jalan dari Dwima dan Bu Fau, kami tetap pergi. Selepas maghrib kami belum sampai setengah perjalanan. Ketika itu kami mengisi bensin, di sini biasa disebut minyak, di Simpang Menendang. Ponsel saya memberitahu bahwa beberapa menit lalu ada sebuah nomor tak dikenal menelpon. Nomor yang sama menghubungi Herry. Ternyata Bu Fau. Ia menanyakan keberadaan kami. Bu Fau khawatir kami kehujanan, karena sore itu hujan deras mampir di Putussibau. Sebuah percakapan telepon yang kurang dari dua menit ternyata mampu menghangatkan hati kami, empat sekawan yang mencoba meraba jalan ke Selimbau. Ternyata ada seorang ibu selain ibu kandung, yang mengkhawatirkan keselamatan kami.

Setelah mengisi bahan bakar, kami melanjutkan perjalanan. Dari Simpang Menendang kami harus masuk jalan hutan. Orang-orang yang kami tanya menyarankan kami untuk melanjutkan perjalanan esok hari. "Bahkan yang sudah biasa ke Selimbau bisa muter-muter gak jelas, gelap soalnya," kata seorang penjaga kios minyak. Berbekal tekad dan rasa kebersamaan, kami tetap lanjut. Seolah sepakat dengan para penunjuk jalan, langit meneteskan airnya. Kami singgah di sebuah warung. Percakapan kami ditemani aroma kopi yang menabrak harum tetes hujan. Saat itulah kami membuka bekal yang diberikan Bu Fau. Ternyata isinya beberapa kaleng minuman soda dan kue lapis legit. Berbinar mata kami ketika melihat semua itu. Dengan mata sayu karena haru, Herry berkata, "Bu Fau memang bagaikan mama kita."

Hutan dan Empat Sekawan

Hari telah sampai pada angka sembilan malam ketika kami melanjutkan perjalanan. Herry membonceng saya, sementara Mirah dibonceng Didi. Kami sempat terpisah di tengah hutan. Saya dan Herry tertinggal. Di hadapan kami, jalan bercabang dua seperti lidah ular. Satu ke kiri, lainnya ke kanan. Satu-satunya sumber cahaya adalah lampu sepeda motor. Mendung di cakrawala yang telah gelap pekat tak mengizinkan bulan memantulkan cahaya dari bintang. Suara klakson berkali-kali memanggil Didi rasanya sia-sia. Saya dan Herry pasrah, namun masih sempat tertawa. Setelah lima menit yang bagaikan lima jam, dua orang pengendara sepeda motor datang dari cabang kanan. Mereka memberikan petunjuk arah jembatan gantung yang harus kami lalui ke arah Selimbau. Saat menuju ke arah jembatan, saya dan Herry bertemu kembali dengan Didi serta Mirah. Tak ada rasa lega yang tak hadir pada suasana itu. Namun tantangan baru dimulai. Kami harus melalui papan-papan basah jembatan gantung dengan bersepeda motor, ditemani pekat malam dan desiran angin dingin. Saya menawarkan diri untuk berjalan menyusuri jembatan, namun Herry yakin bahwa ia dapat membonceng saya dengan selamat sampai ke ujung. Kami semua selamat. Keselamatan kami itu membawa kami tersesat ke Jongkong, membangunkan penunggu puskesmas suatu desa untuk menanyakan kios minyak terdekat, membeli minyak sekitar pukul sepuluh malam, dan sekitar tiga kali bolak-balik melewati jalan hutan yang sama karena kehilangan arah.

Sarapan Setulus Dua Keping di Meja Persembahan

Hampir pukul dua belas malam ketika kami sampai ke tempat yang katanya merupakan desa terakhir sebelum Selimbau. Hujan membuat jalan tanah menjadi berlumpur dan licin. Panggilan kepada Dwima tak diangkat. Aryana memang menjawab telepon kami, namun jawabannya tidak cukup untuk membuat kami yakin melanjutkan perjalanan. Saat itulah saya dan Mirah mengetuk pintu papan sebuah rumah di pinggir jalan. Rasa sungkan memenuhi benak kami. Siapa kami hingga berani mengetuk rumah orang tak dikenal pada tengah malam? Ketukan itu ternyata dijawab dengan pintu terbuka. Seorang lelaki berusia sekitar 25-an muncul. Maksud kami menanyakan arah, lelaki tersebut malah mempersilakan kami masuk. Ruang depan rumahnya hanya berukuran 2 x 2 meter. Kami bercakap-cakap ditemani cahaya lilin. Seorang wanita, yang adalah istri si lelaki, muncul membawakan teko berisi kopi panas dan enam gelas kaca. Hati saya semakin sungkan, saya yakin begitu pula dengan kawan lain. Seakan kami belum cukup merepotkan, pasangan suami istri tersebut meminta kami menginap di rumah mereka, dan melanjutkan perjalanan saat pagi hari. Keadaan tak dapat membuat kami menolak. Saya dan Mirah diminta tidur di kamar suami istri tersebut. Penolakan halus kami tidak berguna. Suami istri itu lalu tidur di sebuah ruangan sempit dekat dapur. Saya dan Mirah diberi bantal dari kain jarik untuk selimut. Sedangkan Herry dan Didi merebahkan diri di ruang depan. Ketika pagi menampakkan sinarnya malu-malu, kami baru melihat perawakan suami istri tersebut dengan jelas. Rumah mereka terbuat dari semen yang belum dicat. Dari arah pintu masuk, kamar tidur pasangan suami istri itu ada di sebelah kanan. Di belakang ruang depan ada sebuah ruangan berukuran 2 x 2 meter yang tersambung dengan dapur. Dapur menjadi satu dengan tempat mencuci, yang berlantai papan. Tak ada kompor gas di sana, hanya tungku dan kayu bakar.

Mereka punya seorang balita laki-laki yang sudah terlelap ketika kami mengusik rumahnya tadi malam. "Nanti saja berangkatnya, masih gerimis di luar. Selimbau sudah dekat, kira-kira satu jam lagi," ujar si lelaki. Ketika menunggu, saya dan Herry tertidur karena masih lelah. Anak suami istri tersebut menonton film dari laptop Herry. Entah sudah tertidur selama berapa lama ketika saya dibangunkan Mirah. Kami diajak makan di ruangan dekat dapur. Di lantai ruangan itu sudah tersedia nasi, mie goreng, dan sarden. Si suami tidak ikut makan bersama kami, katanya, "Saya makan kalau di ladang, bawa bekal." Lalu ia bergegas ke ladang. Saat si istri telah selesai menyuapi anaknya, dia pergi dari ruangan itu. Seakan tahu kami lambat makan karena belum lapar, Mirah berkata, "Ayo dimakan. Kalian tahu, gak, tadi pagi si ibu pergi ke warung. Pulang-pulang bawa bungkusan mie instan sama sarden kaleng. Soalnya di rumahnya gak ada apa-apa buat dimasak buat kita."

Perkataan Mirah menggiring saya pada perumpamaan dalam kitab sebuah agama keturunan Ibrahim tentang seorang wanita miskin. Wanita tersebut hendak memberi uang persembahan di tempat ibadah. Kalau saya tidak salah ingat, jumlahnya dua keping. Jumlah yang sangat sedikit dibanding orang-orang lain yang menyumbang uang di tempat itu. Tuhan berfirman bahwa wanita miskin itulah yang menerima pahala dari-Nya. Dibandingkan dengan orang-orang kaya yang memberi berkeping-keping uang untuk pamer, dua keping adalah segala yang wanita itu punya dan ia memberikannya dengan tulus. Ingatan tentang perumpamaan itu membuat makan saya terasa lebih nikmat. Ungkapan pamit kami kepada si istri disertai ucapan terima kasih yang tak terhingga. Bagaimana kami dapat membalas kebaikan suami istri itu? Ketika kami sudah beberapa meter meninggalkan rumah di pinggir jalan berlumpur tersebut, kami baru sadar bahwa tidak satu pun dari kami yang menanyakan nama si suami, si istri, atau identitas keluarga mereka. Sampai sekarang, hal itu masih menjadi misteri karena ketika meninggalkan Selimbau, kami tidak melalui jalan yang sama.

 

 

"Gaji pertamamu adalah ketulusan", kalimat tersebut kembali membisikkan maknanya sekarang, setelah saya mengenang kembali pada yang terjadi pada Lebaran tahun kemarin. Kenikmatan tunjangan hari raya Lebaran kami diawali oleh Mas Nyoto, lalu Bu Fau, hingga akhirnya ditutup dengan manis oleh sebuah keluarga yang sampai saat ini belum kami ketahui namanya. Tiga contoh tersebut hanya sekilas dari lembaran-lembaran ketulusan yang kami terima dalam napak tilas hampir setahun ini. Selamat menjalani pelatihan intensif, calon Pengajar Muda Angkatan VI. Bersabarlah hingga gaji pertamamu.

 

 

 

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua