Saya Perkenalkan: Kursi Kesadaran Diri

LizaraPatriona Syafri 16 Maret 2016

 

"Abil, sini. Bawa kursimu dan duduk di dekat dinding sana," titah saya dengan nada datar. 

Tidak hanya Abil si kelas 1, Mail kelas 5, Aidil kelas 2, dan Dirga kelas 2 sudah pernah mendapatkan perlakuan yang sama. Bukan karena mereka nakal, tapi karena mereka sudah menyalahi budaya kelas: tidak tertib atau tidak menjaga teman (dalam artian memukul hingga temannya menangis). 

Abil sejatinya anak yang pintar, terutama dalam matematika, ranking 1 pula di kelasnya. Akan tetapi, dia sering sekali memukul Iki tanpa sebab dan sering mengejek Iki karena kulitnya sangat hitam. Pernah suatu kali ia menendang Iki hingga Iki menangis, saat itulah pertama kali saya memperkenalkan kursi kesadaran diri.  Peraturannya ada 3: (1) Melihat terus ke dinding sambil duduk tertib (tanpa suara) (2) Hanya boleh keluar dari kursi jika sudah diminta guru untuk keluar (3) Renungkan apa yang sudah diperbuat sehingga masuk kursi kesadaran diri.

Durasi di dalam kursi kesadaran diri tergantung kualitas perilaku: semakin fatal semakin lama. Biasanya saya akan mengakhiri kursi kesadaran diri dengan menanyakan, "Coba menurut kamu kenapa kamu bisa masuk kursi kesadaran diri?"  Rata-rata akan menjawab karena nakal (semacam sudah label diri kalau mereka nakal karena siapapun selalu bilang begitu pada mereka). 

Biasanya lagi saya menambahkan, "Nakalnya seperti apa?" Mereka saya tanya terus hingga jawabannya yang berkaitan dengan perilaku spesifik, seperti: karena tidak badiam (diam), baku pukul (saling pukul), tidak badengar (tidak mendengarkan).  Biasanya lagi, saya menambahkan penjelasan tentang budaya kelas untuk tertib dan arahan perilaku yang sesuai dengan budaya kelas.

Diawal-awal, kursi kesadaran diri ini adalah tantangan besar, apalagi untuk anak hiperaktif macam Aidil dan Abil, kelas kecil pula. Mereka akan semena-mena keluar dari kursi kesadaran diri. Saya bahkan pernah bolak-balik sampai 10 kali untuk membuat Abil kembali ke kursinya. Lucunya, Aidil pernah keluar dari kursi dan tetiba berdiri di depan kelas berdiri satu kaki sambil menjewer kedua kupingnya.

"Kenapa Aidil?"

"Bosan Nciiii~~"

Bagi dia, menjewer kuping lebih menyenangkan. Bahkan sepertinya anak-anak ini lebih menyukai hukuman fisik macam dicubit atau dipukul oleh guru daripada diabaikan di sudut kelas. Temuan hebat lainnya, nada marah teriak-teriak akan membuat mereka bahagia sambil berhamburan lari dari kejaran guru. Dipukul tangannya sambil dimarah-marahi sepertinya sudah biasa.

"Abil, duduk."

"Bosan, Ncii~"

"Duduk dulu sampai Nci minta keluar kursi kesadaran diri."

"Torang bisa bajawab soal itu, Ncii~~" Dia menunjuk pada soal-soal matematika di papan tulis yang kewalahan dijawab teman-temannya. 

"Iya Nci tau, tapi sekarang kamu duduk dulu disini."

"Nciii~~ Beh!" Dia angkat kaki naik ke atas kursi.

Karena lelah bicara, saya menunjuk dinding dengan gestur menyuruh lalu meninggalkannya. 

Eureka!

Itu semacam menemukan harta karun ketika akhirnya Abil menurunkan kakinya, duduk tertib menghadap dinding. Gestur ternyata lebih didengar daripada perintah kata. 

Di pertemuan-pertemuan berikutnya antara Abil dan kursi kesadaran diri, dia memiliki peningkatan: semakin berkurang waktunya berada dalam kursi. Bahkan ketika pelajaran pun dia yang mengingatkan harus menjaga teman dan tertib.

Well, kursi kesadaran diri ini masih berproses. Doakan saya agar bisa menularkan ini pada guru-guru lain dan membuat mereka mengganti kayu pukul menjadi kursi kesadaran diri.

 

Moilong, 11 Maret 2016


Cerita Lainnya

Lihat Semua