Kebebasan Dengan Batas Yang Tepat

LizaraPatriona Syafri 12 April 2016

 Seperti halnya yang pernah dikatakan salah seorang relawan, namanya Mas Rahmat, “Kebebasan yang sebebas-bebasnya itu mengerikan, seperti melihat lautan luas tanpa batas apapun. Tapi berbeda saat kita melihat dari pulau kecil ditengah lautan luas dengan beberapa pulau di sekelilingnya, ada batasan yang tepat.”

Berpijak dari itu saya terpikir suatu hal: memberikan tugas bebas dengan batasan yang tepat pada murid saya di SD Inpres Moilong. Saat pelajaran Kewarganegaraan, saya menuliskan dengan huruf besar di papan tulis: TANGGUNG JAWAB. Seperti biasa, mereka langsung menyerbu saya dengan pertanyaan brutal. Setelah menenangkan mereka dengan sinyal ‘ikan kembung – hap!’, saya menjelaskan dengan perlahan bahwa mereka diperbolehkan keluar sekolah untuk mengamati interaksi sosial yang terjadi pada warga Desa Moilong. Mereka sangat bahagia. Sebagai anak-anak dengan gaya belajar kinestetik garis keras, keluar sekolah dan berkeliling euforianya sama seperti memenangkan pertandingan bola. Hanya saja saya memberikan 3 tanggung jawab yang harus mereka lakukan: menjaga diri dan teman, menjaga nametag dari kertas yang saya berikan, dan menulis hasil pengamatan minimal satu halaman penuh. Kebebasan mereka untuk keluar sekolah diiringi oleh batasan tepat berupa tanggungjawab. Saya pun membagikan kertas post-it untuk mereka tulis degan kalimat “[Nama Anak], sedang bertugas” untuk menjadi identitas mereka agar terhindar dari tuduhan bolos dari siapapun.

Salah satu anak angkat tangan *akhirnya beberapa anak mulai menerapkan budaya angkat tangan sebelum bertanya*. “Nci! Torang bacatat samua?” (Baca: Bu guru, kita catat semuanya?).

Saya tersenyum, “Apapun yang menurut kamu pantas untuk dicatat sebagai pengamatan terhadap perilaku manusia dengan sesamanya.”

Lima menit kemudian mereka berhamburan keluar kelas, ke segala arah. Itu untuk kedua kalinya saya merasa ada waktu jeda sejenak saat mengajar. Kali pertama ketika saya mengajar di kelas 4 yang lebih super kinestetik (menjurus agresif). Saat itu, saya mengisi mata pelajar IPA karena guru mereka tidak masuk kelas sementara sudah tidak ada lagi guru di kantor.

“Para Garuda (sebutan untuk anak-anak kelas 4 yang mereka sepakati bersama) boleh keluar kelas untuk mencari 5 jenis daun berbeda. Nci beri waktu 15 menit yaa..”

Mereka langsung berhamburan dan dalam waktu 5 menit sudah kembali ke kelas dengan lebih dari 5 daun. Kemudian, saya meminta mereka untuk menggambar apapun pada daun tersebut dengan menggunakan apapun. Hasilnya luar biasa. Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa mereka akan memanjat pohon jati demi mengambil daun besar yang ada di sana, sekaligus mereka membantu teman mereka untuk mengambil daun. Tidak pernah juga terpikir oleh saya bahwa ada anak yang akan menggunakan pulpen untuk menyobek daun secara perlahan agar menjadi wayang daun yang memiliki kepala dan tangan. Tidak pula saya berekspektasi akan ada anak yang membuat cerita tentang keluarganya dengan menggunakan daun yang berbeda ukuran. Mereka diberikan batasan tepat berupa tanggungjawab waktu saat berada diluar kelas namun diberikan kebebasan membuat kreasi apapun dengan menggunakan apapun. Hasilnya melebihi dugaan saya. Untuk anak-anak kelas 5 yang saya beri tugas untuk keluar sekolah mengamati interaksi sosial, tidak terbayang juga oleh saya mereka akan rela berjalan jauh demi mencari orang-orang berbeda dari yang pernah mereka temui dan rela menunggu temannya karena tidak mau temannya tertinggal. Satu hal yang saya pelajari dengan memberi aktivitas keluar kelas dengan tanggungjawab ini adalah kebebasan apapun yang tepat untuk anak akan menghasilkan hal kreatif dan menyentuh dari anak itu sendiri. Mereka belajar dari pengalaman langsung. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua