Selamat Datang di Kampung Siboru

Kurnia Widyastuti 20 November 2014

Selamat datang di Kampung Siboru, Distrik Fakfak Barat, Kabupaten Fakfak, Irian Jaya Sore itu, tepat pukul 16.00 WIT saya dengan kak Corry melaju dengan taxi sewaan menuju terminal jauh untuk kemudian menyudahi perjalanan darat. Di pasar jauh, keluarga bapak desa dengan kerabatnya sudah menunggu untuk menjemput. Sedikit demi sedikit barang-barang dipindahkan. Seetelah semua barang bawaan dipindahkan ke dalam jonson, berjalanlah jonson menuju desa tujuan dimana selama satu tahun kemudian hidupku dijalankan. Menyisiri lautan papua yang cukup tenang, saya mencoba menikmati keindahan lautan ini. Tenang, seperti tanpa dosa angin sore menyambut kedatangan jonson kami. Disaat yang sama dua buah hati milik manusia beradu. Satu hati penuh kekhawatiran akan bagaimana ia mampu memberikan manfaat pada satu tahun kedepan pengabdiannya kelak, bagaimana ia akan mampu berdiri tegap memberikan segala rupa yang terbaik yang ia miliki, bagaimana ia bisa memaksimalkan diri bagi sekitar. Sedangkan hati manusia yang satu lagi berangan akan sebuah refleksi. Berfikir keras tentang perjalanan waktu yang telah menyeretnya cukup cepat ke akhir waktu pengabdian. Mempersiapkan diri guna menikmati masa-masa akhir purna bakti pada desa penempatan yang sudah terlanjur jatuh di hati selama satu tahun pengabdian. Rasaku memutar kembali serentetan kisah hidup dan meyakini bahwa permulaan ini pun akan aku tutup dengan sebuah senyuman seperti rasa apa yang akan aku mulai. Ada rasa menggelitik dan hal ini akan terus menerus terjadi. Disepanjang perjalanan ini, saya ditemani berbincang dengan mama muda kak corry pu saudara. Banyak hal terbahas. Awalnya seperti keraguan, namun selanjutnya itu bentuk diam itu seperti bentuk malu dan ragu untuk memulai percakapan duluan dengan ibu guru baru mereka. Mama muda ini seperti juga dengan mama atau masyarakat lainnya pun demikian. Ah, tenangnya, ternyata hanya rasa malu untuk sebuah kekauan di awal percakapan. Sikap skeptis ini pun terbayarkan rasa alhamdulillah. Keramahan mereka sangat bersinar bagi diri saya yang tidak memiliki apa-apa ini. Berkenalan dengan keluarga bapak kepala desa, masuk menuju rumah yang banyak di huni oleh beberapa anjingnya yang hilir mudik measuk keluar rumah. Sampai pada akhirnya menyicil barang-barang untuk diantarkan menuju rumah mama manu. Awalnya, dengan dibantu kak corry, sebuah tas masing-masing dibawakan, sambil diiringi oleh lelarian anak-anak menuju atas bukit. Menebak-nebak rumah mana yang kemudian akan saya tempati untuk menjadi rumah tinggal selama satu tahun kedepan disini. Akhirnya, berhentilah kami pada sebuah rumah bercatpink dimana didalamnya telah duduk wanita keibuan dengan bobot yang dapat dikategorikan sebagai obesitas. Wanita itu dengan kalemnya beranjak dari tempat yang ia duduki. Secara fakta, rupanya telah seharian penuh ia duduk menunggu disitu demi menanti calon anak yang akan menempati kediamannya selama satu tahun. Mama manu, akhirnya kami bertemu. Mama manu tampak malu sekali. Dengan takzim, saya mencium punggung tangan beliau, mencoba menciumnya tanpa beda rasa seperti saya mencium punggung tangan ibu kandung saya sendiri. Ibu, saya datang. Saya peluk badan beliau yang tidak dapat saya raih secara keseluruhan. Saya cium pipi kanan dan kirinya. Bismillah, semoga ibund di rumah tidak iri dalam hati ya.. hehe. Ah, bahagianya menjadi seorang ibu :) Saya kembali menuju rumah bapak kepala desa, mencoba mengangkut beberapa barang sekaligus. Namun rupanya, seorang anak laki-laki khas papua sudah mengajukan diri, mengangkat sebuah koper besar yang sebenarnya saya pun tak mampu mengangkatnya menuju rumah mama manu. Astaga, bahagianya saya memiliki calon anak didik yang seperti ini. Dan cerita-cerita berikutnya akan banyak tertuliskan mengenai bagaimana saya takjub dan tak percaya akan anugerah yang telah Allah berikan di awal kedatangan saya ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua