Sentul

Nicko Rizqi Azhari 18 Agustus 2014

Di pekarangan di samping sekolah, ia berdiri. Di sana, di sebelah parit yang tak begitu lebar dan dalam. Di sekelilingnya, semak cukup lebat. Ia nampak menonjol karena ukuran dan tingginya yang lebih dari pokok-pokok di sekitarnya. Tingginya sekitar 15 meter. Batangnya barangkali sebesar panjang keliling tangan dua muridku yang saling berangkai. Daunnya lebat. Sebelumnya aku tak mengira itu adalah sebuah pokok buah. Yang aku tahu, dia adalah sebuah pokok. Entah pokok apa. Titik.

Sekarang pokok itu sedang berbuah. Barangkali memang sudah tiba musimnya. Setiap hari sebelum lonceng tanda mulai pelajaran dimulai, bahkan sebelum aku datang, murid-muridku sudah mengerumuninya. Sebagian sudah siap dengan ”senjata” masing-masing. Ada yang membawa galah, batu, dan ketapel. Sementara, sebagian yang lain lebih memilih bertangan kosong. Mereka berburu buah dari pokok itu.

Bug... bug... Beberapa muridku melompat-lompat mencoba meraih buahnya. Letak buah yang cukup tinggi rupanya tak mampu dijangkau si galah. Kres... bug... Lemparan batu dari ketapel muridku tepat sasaran. Satu buah jatuh. Segera anak-anak berlari berebut buah itu. Begitu kira-kira kegiatan kegemaran mereka saat ini, pun pada jam istirahat dan sepulang sekolah. Buah dari pokok itu sedang jadi komoditas buruan murid-muridku.

Buah sentul, sebut mereka. Sebagian yang lain menyebutnya buah kecapi. Buahnya belum pernah aku lihat sebelumnya. Buahnya tak seberapa besar. Warnanya hijau hingga kuning kecoklatan. Kulitnya keras, tetapi berbulu halus kecil-kecil seperti kain beludru. Bila dibuka, isi buahnya mirip buah manggis. Hanya saja, kulit bagian dalamnya berwarna kuning kecoklatan. Daging buahnya persis seperti daging buah manggis. Warnanya putih, melekat pada biji. Lembut.

Beberapa hari belakangan, aku sering mendapatkan buah itu sebagai hadiah dari murid-muridku. Semakin hari, buah-buah sentul hadiah dari murid-muridku semakin menambah penuh meja kerjaku di ruang guru yang sudah penuh dengan buku-buku. Kata mereka, “Ika buat bapak kehena lah ngajah kame.” (Ini untuk bapak karena sudah mengajar kami.)

Aku penasaran seperti apa rasa buah yang digemari murid-muridku itu. Kubuka satu, kucicip. Mataku terpejam begitu si daging buah mendarat di lidahku. Ekspresi nyengir tak bisa kutahan. Rasanya asam. Lain dengan kata murid-muridku yang menurut mereka rasanya manis. Mungkin sebelumnya aku perlu menyepakati definisi rasa asam dan manis dengan murid-muridku.

Tak mungkin aku memakan sendiri buah-buah sentul pemberian murid-muridku. Bisa-bisa perutku berontak karena aku makan buah asam sebanyak itu. Karena itu, kubawa buah-buah itu ke kelasku. Murid-muridku terheran. Aku kenal betul air wajah itu. Ekspresi-ekspresi wajah yang seolah berkata, “Aku nak ika!” (Aku mau itu).

“Nanti setelah kita belajar, kita cari sentul ramai-ramai ya? Lalu kita berpesta, makan buah ini bersama-sama,” ajakku pada murid-muridku.

Sorakan-sorakan pertanda setuju segera membuat riuh suasana kelas. Siang itu, kami benar-benar berpesta di bawah rindangnya pokok dan rapatnya semak di samping sekolah. Rasa asam buah sentul itu pun tak kurasakan lagi. Yang ada hanyalah tawa riang, canda, kebersamaan, dan manisnya ketulusan yang mereka tunjukkan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua