Lights, Camera, Action! (2)

Nicko Rizqi Azhari 3 November 2014

Tos yang disertai teriakan penuh semangat siang itu adalah sebuah ekspresi kegembiraan. Ekspresi kegembiraan dari murid-muridku yang baru saja menyelesaikan satu episode proses belajar mereka. Siang itu, mereka baru saja merampungkan pengambilan adegan terakhir untuk video pendek kami.

Hampir setiap hari dalam dua pekanbelakangan, murid-muridku melakukan syuting. Sempat terhenti beberapa waktu karena kehilangan semangat,hingga akhirnya semangat itu datang kembali. Proses belajar yang aku prediksi akan bisa diselesaikan dalam waktu empat hari, menghulur hingga menjadi dua pekan. Membuat murid-muridku mendapat tambahan waktu lebih banyak untuk belajar lebih banyak lagi. Aku ingat betul betapa mereka benar-benar berjuang untuk menyelesaikan pengambilan gambar itu. Setiap sore sepulang sekolah mereka berkumpul untuk melakukan syuting. Dalam belajar yang sangat menyita waktu bermain itu mereka berdinamika.

Pernah suatu saat, murid-muridku harus menunggu lama hujan yang turun sangat lebat untuk pengambilan gambar. Pernah juga beberapa petang, niat mengambil gambar matahari tenggelam dari dermaga urung dilakukan karena awan menggelayut, menutup jalan matahari menuju malam. Pernah pula, justru saat hujan benar-benar kami harapkan, ia tak kunjung turunselama beberapa hari. Jadilah kami membuat ‘becek buatan’ untuk mendukung latar videokami. Murid-muridku tak pernah kehabisan akal. Parit depan sekolah yang airnya jarang kering itu mereka jadikan sumber air dan sumber lumpur, untuk membuat lingkungan yang tampak basah dan becek layaknya selepas hujan.

Satu kesulitan lain: mencari pemeran mamak si tokoh utama. Gara-gara ‘mamak’ ini, adegan-adegan yang ada peran mamak di dalamnya ditangguhkan pengambilan gambarnya. Murid-muridku mengajak banyak orang untuk mau berperan sebagai ‘mamak’. Mereka sepakat untuk masing-masing mencoba mengajak mamaknya sendiri untuk berperan sebagai mamak dalam video. Usaha-usaha itu gagal. Tak ada mamak yang percaya diri untuk berperan menjadi “mamak”. Mamak gagal didapat, giliran bapak dicoba. Ternyata gagal juga, hingga akhirnya semua adegan yang menghadirkan peran mamak kami tiadakan sama sekali.

Siang itu, satu episode belajar kami sudah selesai. Segera kususun adegan demi adegan yang sudah mereka ambil gambarnya. Tenggat waktu pengiriman tinggal beberapa hari lagi. Mau tak mau aku harus lembur menyusun video murid-muridku. Maklum, di antara mereka tidak satu pun yang bisa mengoperasikan komputer.

***

Pagi itu Wendi dan Mutiara sudah berdandan. Ibu Nursatia, wali kelas V yang mendampingi merekake Jakarta, mengirimiku foto anak-anak yang sudah mengenakan busana Melayu. Nampak elok. Hari ini mereka akan menerima pengumuman pemenang video terbaik. Panitia meminta perwakilan sekolahku untuk menampilkan pertunjukan seni. Wendi dan Mutiara akan menari pagi itu. Dibantu Ibu Nursatia, mereka sudah berlatih sejak dua minggu sebelumnya.

Aku mengajar seperti biasa. Tapi perasaanku hari itu tidak biasa. Tidak sabar rasanya mendapat kabar sekolah mana yang menang di lomba itu. Pesan-pesan pendek Ibu Nursatia yang masuk selalu membuat jantungku berdebar menebak-nebak apa isinya.

“Anak-anak baru saja tampil(menari), pak.”

Oh, belum pengumuman ternyata, kataku dalam hati. Begitu setiap ada kabar dari Ibu Nursatia tentang kegiatan di Jakarta sana.

Jam 12 lewat, murid-murid baru saja kupulangkan. Tiba-tiba Bu Nursatia meneleponku. Kabar yang tidak terlalu kuharapkan.

“Pak, sudah pengumuman. Kita tak dapat apa-apa.”

“Ya sudah lah bu, tak apa. Mungkin belum rejeki. Yang penting anak-anak sudah berusaha,” hiburku.

“Juara satunya dari mana, bu?” aku bertanya penasaran.

“Sekolah kita pak!”

Aku tak begitu mendengar jawaban Ibu Nursatia. Kuulangi pertanyaanku.

“Juara satu dari mana, bu?”

“Sekolah kita pak, SD 10.”

“Hah, yang betul bu? Juara satu?” tanyaku memastikan, keras secara spontan.

Suaraku yang terlalu kuat membuat anak-anak yang baru saja akan meninggalkan sekolah segera kembali. Mereka segera berlari menujuku dan mengerumuniku dengan wajah penasaran, seolah ingin ikut mendengar percakapankumelalui telepon.

“Iya pak, sekolah kita!” jawab Bu Nursatia meyakinkan.

Segera kupeluk satu persatu anak-anak yang mengerumuniku tadi dan kuberi ucapan selamat. Wajah mereka nampak bahagia. Heri langsung lompat kegirangan dan segera berlari meninggalkan sekolah.

“Saya akan beritahu semua orang kabar gembira ini pak,” teriaknya.

“Akhirnya bisa juga kita angkat nama sekolah kita, pak ne?” ucap Agustina.

Kali ini murid-muridku berhasil membuktikan bahwa mereka pun bisa berprestasi. Sekolah di ujung Pulau Rupat nun di tepi Selat Melaka. Sekolah yang hampir seluruh muridnya suku asli. Sekolah yang baru tiga tahun berdiri. Mereka mampu mematahkan anggapan remeh orang-orang dengan menjuarai sebuah kompetisi nasional, yang hampir semua lawannya siswa-siswa SMP dari kota. Kali ini, tidak ada yang menyangka video buatan anak-anak di pelosok negeri akan dibawa ke Eropa atau Amerika, membawa nama Indonesia untuk bersaing di kompetisi global.

Selamat, murid-muridku. Tanam dalam-dalam semangat juara itu dalam hati kalian. Jadikan ia bekal untuk menghadapi masa depanmu nanti.


Cerita Lainnya

Lihat Semua