Pengabdian Itu Mahal Harganya

JarotDwi Handoko 8 Juli 2015

Indonesia Mengajar sudah genap 5 tahun yang artinya sudah ada 10 angkatan pengajar muda Indonesia mengajar. Saat ini angkatan 9 dan angkatan 10 sedang melaksanakan tugasnya di 17 kabupaten yang tersebar di seluruh Indonesia. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar, saat ini Indonesia Mengajar sudah menjadi magnet anak-anak muda dan mahasiswa-mahasiswa hal ini terbukti di setiap angkatan jumlah pendaftar yang semakin meningkat bahkan bisa mencapai lebih dari 10.000 pendaftar.

Taglinemengabdi nampaknya bisa menggugah jiwa nasionalisme anak-anak bangsa sehingga berbondong-bondong mereka mencari informasi tentang Indonesia Mengajar dan mendaftarkan diri untuk turut serta menjadi bagian dari Indonesia Mengajar karena ingin Melunasi Janji Kemerdekaan yaitu ikut mencerdaskan generasi penerus bangsa. Sesuai dengan pernyataan Bapak Anies Baswedan (Pencetus Gerakan Indonesia Mengajar) “mendidik adalah tugas kaum terdidik sebagai bagian dari pelunasan janji kemerdekaan”.

Syukur alhamdulillah saya bisa menjadi bagian dari sekian banyak anak muda yang beruntung untuk bisa menjadi Pengajar Muda Indonesia Mengajar, saya akan bertugas selama satu tahun lamanya di kabupaten Maluku Tenggara Barat, tanah Tanimbar akan menjadi tempat belajar saya selama satu tahun, tempat pengabdian 7 anak muda yang ditempatkan di kabupaten yang memiliki slogan “Duan Lolat”.

Ketika saya membaca jurnal Pengajar Muda angkatan 8 saya dapat mengambil kesimpulan persoalan-persoalan terkait pendidikan di kabupaten yang baru berusia 16 tahun ini adalah masih kurangnya Sumber pendidik di setiap sekolah-sekolah. Banyak persoalan didalamnya mulai dari penempatan guru yang tidak merata hingga guru-guru yang tidak disiplin dalam memenuhi kewajibannya. Yang paling menyedihkan di salah satu desa penempatan Pengajar Muda hampir 100% guru memenuhi kewajibannya untuk hadir di kelas dan menemani murid-muridnya belajar bersama, dan hal ini terjadi pula di beberapa desa yang lain.

Ketika saya menuju lokasi desa saya yang terkenal sekali di kabupaten ini, pulau kami terkenal akan jaraknya yang jauh dan gelombangnya yang besar, banyak masyarakat MTB belum pernah kesana bahkan mungkin enggan pergi kesana. Karena tidak ada kapal maka saya harus menggunakan kapal motor atau longboat yang kapasitas penumpangya tidak lebih dari 10 orang. Selama perjalanan kami terus menerjang gelombang yang begitu besar, baru kali ini saya menyebrang sebuah lautan dengan gelombang yang besar dan hasilnya pakaian saya basah kuyup.

Perjalanan menghabiskan waktu 7 jam meliuk-liuk di dalam gelombang angin barat yang tingginya bisa mencapai 3-4 meter. Betapa tangguh orang-orang MTB mereka bisa bertahan dengan gelombang besar yang harus mereka lewati sehari-harinya. Saya berfikir bahwa ini akan saya jalani selama setahun lamanya, bila saya harus ke kabupaten mau tidak mau saya harus melewati lautan ini karena memang geografis Maluku Tenggara Barat yang berbentuk gugusan-gugusan pulau sehingga transportasi laut lah yang menjadi kunci utama.

Setelah medapatkan pengalaman perjalanan yang jauh dan butuh usaha yang besar untuk mencapai lokasi tugas, saya memiliki pandangan lain tentang pengabdian. Persoalan yang terjadi di kabupaten ini tidak begitu sederhana, mungkin hal ini pun terjadi di wilayah Indonesia bagian Timur yang memiliki geografis kepulauan sehingga sektor pendidikan di kawasan ini seolah lamban dan jauh teringgal di banding kawasan barat. Lagi-lagi barat seolah menjadi kiblat majunya sebuah peradaban, dan memang itu realita yang terjadi di negeri yang kita cintai ini.

Mungkin saya hanya akan melewati ini selama satu tahun, coba kita lihat guru-guru tetap di sini, mereka akan melewati kondisi alam yang begitu lama hingga mereka pensiun, hingga tugas mereka berakhir, belum lagi persoalan penempatan mengajar yang sering menyebabkan mereka (guru) harus meninggalkan kampung halamnnya untuk mengajar di pulau lain. Saya mendapatkan pembelajaran bahwa mendidik bukan hanya berhenti pada proses pekerjaan, bukan hanya berbicara pada persoalan profesi, tetapi didalamnya tertanam sebuah pengabdian yang membuat mereka masih konsisten untuk tetap berjalan setiap harinya menuju sekolah untuk menghiasi senyum murid-muridnya yang setiap hari menanti di dalam kelas.

Meskipun banyak persoalan dalam sektor pendidikan yang mungkin kita (Pengajar Muda) tidak bisa selesaikan karena sudah bukan menjadi otoritas kita. Kita patut berbangga dan senang melihat guru-guru yang masih konsisten untuk menghidupi sebuah “pengadian” yang mereka lakukan di bumi pertiwi ini. Akhirnya saya berfikir bahwa kami (Pengajar Muda) bukan siapa-siapa yang saat ini banyak orang yang menyanjungnya, justru kita harus menyanjung guru-guru yang masih konsisten dijalannya untuk tetap memenuhi sebuah kewajibanya meskipun banyak kekurangan dan rintangan.

“pengabdian itu mahal harganya karena sebuah pengabdian tidak akan ternilai dengan mata uang manapun, saya angkat topi untuk mereka yang masih konsisten di jalan ini (pengabdian)”

Jarot Dwi Handoko (Pengajar Muda X, Kabupaten Maluku Tenggara barat)


Cerita Lainnya

Lihat Semua