info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Masyarakat mengajar, kenapa tidak?

JarotDwi Handoko 8 Februari 2016

“Bu, ale atlit sepak bola to? Berarti bisa bantu beta mengajar penjas di sekolah ini. Barang beta mengajar sendirian sa di sekolah”

Memang materi kelas rangkap pada saat pelatihan intesif benar-benar penting, karena dapat dipastikan di seluruh penempatan Pengajar Muda pasti para Pengajar Muda akan merasakan mengajar kelas rangkap. Tak terkecuali sekolah-sekolah di Maluku Tenggara Barat yang jelas-jelas geografisnya yang kepualan.

Persoalan minimnya guru memang masih menjadi pokok utama persoalan yang masih harus menjadi perhatian pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kondisi SDM guru yang timpang antara pusat kabupaten dengan kecamatan-kecamatan terluar masih menjadi persoalan yang belum terurai sampai dengan saat ini. Tak ayal banyak guru-guru yang  kurang komposisinya di sekolah-sekolah dasar yang berada di pulau-pulau terluar kabupaten MTB.

Baru-baru ini ada sebuah kebijakan yang lumayan memberatkan beberapa sekolah yang hanya memiliki guru pas atau kurang. Kebijakan tersebut adalah PUPNS yang mengharuskan guru-guru mengurus seluruh administrasi mereka untuk diperbaharui di Ibukota Kabupaten, maka mau tidak mau sekolah banyak yang tidak berjalan dengan efektif karena kekurangan guru. Baru saja selesai persoalan PUPNS adalagi sebuah agenda kabupaten yang melibatkan guru-guru secara langsung yaitu UKG (Uji Kompetensi Guru). Agenda tersebut secara otomatis menyedot seluruh guru yang ada di Desa Adodo Molu Kecamatan Molumaru untuk mengikuti agenda UKG sesuai dengan jadwalnya masing-masing.

Kondisi geografis yang kepulauan dan rentang yang sangat jauh dari pusat kota di tambah dengan perhubungan yang tidak pasti mengharuskan guru-guru pergi ke kota hingga berhari-hari bahkan lebih dari satu minggu, hal tersebut karena menyesuaikan dengan jadwal transportasi berupa kapal yang jadwalnya tidak pasti.

Maka mau tidak mau saya harus mengajar sendirian (Kelas Rangkap) sebanyak enam kelas. Biasanya bila guru absen atau sakit saya bisa mengajar kelas rangkap maksimal 3 kelas, namun kali ini terasa istimewa karena harus memberikan pelajaran kepada enam kelas, pekerjaan yang menantang memang tapi ini tampak menyenangkan bagi saya.

Karena merasa kurang maksimal ketika di hari pertama harus mengajar 6 kelas dalam satu hari dengan pembagian yang seimbang, maka saya berinisiatif untuk mengajak beberapa warga untuk ikut mengajar (membantu saya). Setelah melakukan assesment akhirnya terpilihlah beberapa anak-anak muda yang sepertinya punya kemampuan untuk menjadi teman belajar murid-murid saya yang luar biasa ini.

Namun masalah tidak selsesai sampai disitu, persoalan malu hati ternyata menyurutkan niat mereka (anak-anak muda) untuk mengajar di sekolah. “Bet malu hati par warga, dong bilang apa kalo bet mengajar, nanti dong bilang anak-anak rusak” (saya malu hati kepada warga, orang-orang bilang apa kalo saya mengajar, nanti mereka bilang anak-anak rusak kalo saya yang ajar). Sulit memang tapi banyak orang hebat bilang “harapan itu selalu ada bukan” akhirnya saya menemukan satu orang pemuda yang memang sangat dekat dengan saya. Meskipun harus membujuk ia setengah mati baru ia mau mengajar, setidaknya ada yang menemani saya mengajar, pikir saya.

“ok, beta mengajar sudah tapi beta seng ada buku ini” (ok, saya mengajar tapi saya tidak punya buku ini). kata kunci saya dapatkan dia sudah mau mengajar. “tenang sa, bet su siapkan sekali mo, buku paling banyak di perpus, tinggal pilih sa” (tenang saja, saya sudah siapkan, banyak itu buku di perpustkaan) timpal saya meyakinkan.

Akhirnya pada hari Rabu 11-11-2015 ia mengajar, saya setting ia mengajar rangkap gabungan kelas 5 dan 6, sedangkan saya mengajar kelas 1-4. Ia mengajarkan penjaskes mulai dari teori hingga praktek, materi yang disampaikan adalah bola voli dan bola sepak.

Melibatkan masyarakat untuk mengajar adalah poin lebih untuk memberikan kepercayaan bahwa masyarakat ada di belakang lembaga pendidikan untuk selalu mendukung proses pendidikan, di tambah dengan kondisi di daerah sini yang sering sekali kekurangan guru untuk mengajar, semoga ini bisa menjadi cikal bakal adanya gerakan masyarakat mengajar untuk bisa bahu-membahu membantu jalannya pendidikan secara baik dan sesuai dengan harapan.

Profil pengajar tersebut adalah ia bernama Jeki, lelaki berusia 24 tahun ini adalah teman akrab saya, dia teman saya mencari ikan ketika kami memiliki waktu senggang. Ia sempat mengenyam bangku kuliah di Universitas Pattimura jurusan Penjas, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNPATI, karena kondisi keuangan yang tidak mendukung ia harus rela tidak melanjutkan kuliahnya di semseter 7. Sayang memang namun apa mau di kata kadang keadaan tidak selalu berpihak kepada sebuah keingininan. Padahal beberapa kali saya mencoba menyarankan ia untuk kembali kuliah karena statusnya masih belum DO (Drop Out), tetapi ia masih memiliki keraguan soal financial dan memupuskan harapnnya untuk lanjut kuliah, namun sebenarnya ia sangat ingin lanjut kuliah karena tinggal hanya menyelesaikan skripsi saja.

Disisi lain ia juga adalah atlit sepak bola meskipun belum pernah mendapat kontrak profesional tapi kemampuan sepak bolanya memang di atas rata-rata hampir menyamai penulis, karena di kampung penulis menjadi partnernya bila sedang bermain bola setiap sore di pantai.

Akhirnya masyarakat mengajar bisa juga terwujud meskipun baru sedikit demi sedikit.

Jarot Dwi Handoko, Pengajar Muda X SDK Adodo Molu, Maluku Tenggara Barat


Cerita Lainnya

Lihat Semua