Rambut Merah Jakilah

IsnainiRahmawati 14 Juli 2016

Ia adalah seorang gadis cilik yang manis. Perpaduan antara dua gen, ibunya adalah seorang Dayak dan ayahnya dari NTT. Perpaduan keduanya menghasilkan seorang bocah perempuan yang bermata sipit dengan bibir mungilnya. Pipinya tembam. Senyumnya sumringah. Dan yang tak kalah unik adalah rambutnya yang berwarna kemerahan. Bukan karena sengaja dicat, tetapi karena paparan matahari akibat terlalu lama bermain di luar rumah.  

Saya menjadi wali kelas II, kelas dimana Jakilah belajar. Pertama kali bersua, ia adalah anak yang pertama kali membuat saya kaget. Kaget karena suaranya yang begitu nyaring. Waktu itu saya masuk ke kelas dan tiba-tiba Jakilah berteriak “Beri Salam!!!” dengan intonasi paling nyaring yang pernah saya dengar dari anak-anak. Lalu Jakilah memeluk saya di jam istirahat sambil menunjuk-nunjuk gigi saya yang sedang memakai kawat gigi. Ia heran dan saya ijinkan Jakilah untuk menyentuhnya. Dengan cengirannya yang lebar, ia lalu menyorongkan jari telunjuknya untuk menyentuh kawat gigi saya.

Itulah kesan pertama saya dengan Jakilah. Cheerful.

Bulan demi bulan saya mengajar di kelas II, saya mulai mengenal lebih dalam sosok Jakilah. Ternyata orang tua Jakilah sudah bercerai. Ia kini tinggal dengan neneknya saja. Hal inilah yang membuat Jakilah terkadang bertingkah menjadi anak yang badung dan sulit diatur. Ia jarang mendapatkan perhatian yang lebih dari orangtuanya. Ia mudah tersinggung dengan perkataan teman-temannya. Pernah Jakilah memusuhi saya, hanya karena saya lupa untuk mengecek pekerjaan di bukunya. Jakilah berteriak “Ibu nggak sayang sama aku!” lalu menangis keluar kelas (bahkan sambil menendang pintu kelas).

Diteriaki seperti itu adalah hal yang biasa bagi saya. Yang harus saya khawatirkan dan pikirkan adalah, apakah yang harus saya lakukan ketika Jakilah sedang merajuk seperti ini?

Opsi pertama, saya biarkan saja Jakilah ketika sedang merajuk, karena apabila ia terus diladeni maka sifat manjanya akan bertambah kuat. Opsi kedua, saya kejar Jakilah saat keluar dari kelas dan memintanya untuk kembali ke kelas. Akhirnya saya putuskan untuk memilih opsi kedua. Saya ikut keluar kelas setelah memberikan tugas kepada siswa lain dan mengejar Jakilah. Jakilah ternyata menangis di dekat perpustakaan sekolah.

Saya dekati Jakilah sambil saya menyentuh pundaknya. Jakilah bergeming. Saya ikut duduk di samping Jakilah yang menangis. Saya ikut terdiam mendengarkan Jakilah menangis kecil. Saya tidak akan mengajaknya untuk masuk ke kelas saat ini. Inilah saatnya Jakilah mendapatkan perhatian yang bukan dalam bentuk perkataan. Perhatian langsung yang membuat Jakilah percaya bahwa masih ada orang yang akan mendengarkan tangisannya. Masih ada orang yang akan menemaninya ketika ia merasa sedih.

Lama kelamaan tangis Jakilah mereda. Lalu tiba-tiba ia bertanya, “Ibu, aku pengen lihat rambut ibu yang pake jilbab itu”.

Saya hanya bisa tersenyum sambil mengelus rambut merah ikalnya, “Nanti ya kalau kita sudah di rumah, Jakilah”.

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua