Dunia Kecilku dan Iki
Peny Rahmadhani 15 Juli 2016Sore yang cerah. Saat itu aku sedang duduk di teras bersama Iki, anak Ibu, yang sedang minta diajari belajar Bahasa Indonesia. Angin semilir pegunungan bertiup pelan. Meski tidak terlalu dingin tapi sempat membuat bulu-bulu halus di tanganku sedikit berdiri.
Suasana yang pas untuk tidur sebenarnya. Kalau bukan karena Iki yang saat itu masuk ke kamar sambil membawa buku tulis mungkin aku sudah terlelap tidur untuk kesekian jam.
Sore itu kami sedang belajar tentang kaidah penulisan huruf besar. Awalnya aku minta Iki membaca sebuah buku cerita dan memperhatikan kapan huruf-huruf besar dipakai dalam penulisan.
“Iki, perhatikan bahwa huruf besar selalu dipakai setelah titik pada kalimat terakhir dan di awal kata pertama di setiap paragraf”, kataku sambil melingkari setiap huruf besar yang aku tunjuk.
“Perhatikan lagi bahwa huruf besar juga dipakai di awal kata yang menyebutkan nama kota. Seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, termasuk Unaaha. Kamu pernah ke Unaaha, Iki?”
Iki menggelengkan kepala.
“Dimanakah itu Unaaha, Ibu?”
Pertanyaan Iki membuatku terdiam. Unaaha adalah ibu kota kabupaten Konawe. Kabupaten tempat tinggal Iki yang tidak lain adalah tempat aku ditugaskan setahun ke depan. Bagaimana bisa dia tidak tahu hal ini?
Setengah tidak percaya, aku tergerak untuk menggali lebih jauh pengetahuan Iki. Dan respon gelengan kepala darinya terus berlanjut pada setiap pertanyaan yang aku lontarkan.
“Iki, apa nama kabupaten tempat kamu tinggal?”
“Apa nama ibu kota negara Indonesia?
“Ibu tinggal di Pulau Jawa, kamu tahu dimana pulau Jawa?”
“Apakah kamu tahu di provinsi mana kamu tinggal?”
“Dimana letak Sulawesi itu, Iki?”
“Apa kamu pernah melihat peta Indonesia?”
Melihat Iki yang terus menggelengkan kepala membuatku sejenak terdiam.
Tahun ini Iki naik ke kelas 4 dan seingatku dulu, pengenalan wilayah Indonesia seharusnya sudah dibawakan di kelas 3. Ataupun jika belum terlalu mengerti setidaknya anak seumuran dia tahu di kabupaten, provinsi atau pulau mana mereka tinggal, apa ibu kota negara Indonesia, atau paling tidak pernah melihat peta Indonesia.
Kemudian aku teringat cerita Ibu yang tidak pernah meninggalkan desa sejak kecil. Pasti begitupula dengan Iki. Dunianya berputar pada rumah, sekolah, desa dan paling jauh pasar di seberang desa.
Kecil memang. Tapi Iki anak yang cerdas. Aku pikir pasti tidak akan sulit untuk mengajarinya. Lalu dengan kemampuan menggambar ala kadarnya, aku putuskan untuk membuat secara sederhana peta Indonesia di atas secarik kertas.
“Perhatikan. Ini adalah peta Indonesia. Indonesia itu luaaas sekali. Di sini ada Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Disini Ibu tinggal. Dan disini Iki tinggal. “
“Jauh sekali. Bagaimana kita (kamu) kesini?”
“Untuk bisa kesini, Ibu naik pesawat terbang selama kurang lebih 4 jam.”
“Ibu, apa Boy (tokoh dalam sinetron “Anak Jalanan” yang sering ditonton oleh warga desa) tinggal di Jawa?”
“Iya. Boy tinggal pulau Jawa. Tepatnya di kota Jakarta. Disini lokasinya. Jakarta adalah ibu kota negara kita. Kota paling besar dan paling ramai se-Indonesia.”
“Wah, saya mo (mau) pigi (pergi) kesana mengajak Ipul (adik Iki) bertemu Boy”
“Kamu bisa pergi kemana saja. Jawa, Sumatera, Kalimantan. Ataupun ke luar negeri sekalipun. Tapi Iki harus jadi anak pintar dengan cara rajin belajar dan tidak pernah berhenti sekolah.”
“Seperti Ibu?”
“Bahkan kamu bisa lebih pintar dari Ibu. Asalkan kamu terus semangat belajar.”
Sore itu Iki telah mengingatkanku pada konsep realita yang selama ini aku imani sebagai suatu hal yang bersifat personal. Bahwa bagaimana seseorang memahami sebuah realita kehidupan itu sangat dipengaruhi oleh sekaya apa pengalaman dan pengetahuan yang dia serap serta seluas mana dunia yang dia pijak. Setiap orang melihat realita dengan caranya amsing-masing
Dan hari ini dunia kecil Iki telah berhasil memperlebar pemahamanku terhadap sebuah realita. Tadinya aku pikir sudah sewajarnya anak umur 9 tahun mengetahui nama kota, provinsi atau pulau tempat tinggal mereka. Sudah sewajarnya anak kelas 4 pernah belajar atau paling tidak melihat peta Indonesia. Tapi ternyata tidak sesederhana itu. “Sudah bisa membaca saja itu sudah bagus”, begitu kata salah seorang rekan guru di sekolahku. Wah, ternyata duniaku tidak kalah kecil dengan dunia Iki.
Maafkan Ibu yang tidak tahu ini ya Iki. Dan terima kasih sudah membantu Ibu memahami kamu dan dunia kecilmu.
“Nanti saya mo (mau) pigi (pergi) ke Jawa. Saya ingin tengok Ibu punya rumah disana,” kata Iki menyadarkanku dari lamunan.
“Boleh sekali. Nah, besok kalau Ibu ke kota Ibu akan belikan peta Indonesia yang lebih bagus. Nanti Kita belajar sama-sama lagi ya.”
“Iye (iya) Ibu.”
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda