Routa Bukan Nusa Kambangan

Peny Rahmadhani 15 Juli 2016

“Dimana kita (kamu) mengajar?”

“Di Desa Parudongka Pak. Kecamatan Routa.”

“Bah, jauh sekali. Saya saja yang seumur hidup tinggal disini tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di Routa.”

Begitulah satu dari seribu macam respon yang saya terima dari masyarakat kota setiap kali menyebutkan nama daerah penempatan saya. ROUTA.

“Terpencil”

“Sepi”

”Tidak ada kehidupan”

“Tidak akan betah”

“Yang sabar yaaa”

“Kasihaaan deh”

“Kalau sampai saya yang ditugaskan ke Routa. Saya lebih baik pensiun cepat”

“Routa itu Nusa Kambangannya Konawe”

Respon Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu ini mengingatkan saya kepada keripik singkong pedas yang biasa saya beli di dekat kampus semasa kuliah dulu. Keripik yang memiliki aneka rasa dengan tingkat kepedasan yang berbeda-beda. Ada rasa pedas manis, pedas balado, pedas asin, dan masih banyak lainnya.

Seperti makan keripik tersebut, mendengar respon-respon itu memunculkan rasa dan tingkat kepedasan yang berbeda-beda di telinga. Tapi hanya rasa dan tingkat kepedasannya saja yang membedakan satu keripik dengan keripik lainnya. Jadi apakah itu keripik singkong pedas manis atau keripik singkong pedas balado, keduanya tetaplah keripik yang rasanya pedas bagi saya.

Sampai suatu hari saya bertemu dengan cerita yang berbeda. Saat itu saya sedang ngobrol santai di depan televisi bersama Ibu Tasman. Sebenarnya saya tidak tahu persis siapa nama aslinya. Saya panggil Ibu Tasman karena beliau adalah istri dari Pak Tasman, Bapak UPTD Kecamatan Routa.

Saya tidak dapat mengingat secara pasti komposisi percakapan kami berdua di hari itu. Tapi saya tidak akan pernah lupa pada cerita yang Ibu sampaikan tentang Routa dan Nusa Kambangan.

“Routa Bukan Nusa Kambangan”

Sebuah puisi yang pernah ditulis oleh Ibu Tasman dan dibawakan di acara tahunan PGRI se-kabupaten. Ibu sendiri sudah lupa bagaimana isi puisinya. Sementara itu arsipnya tertinggal di SMP tempat beliau mengajar. Karena puisi ciptaan Ibu tersebut, Bapak berhasil membawa pulang satu motor dinas dari pemerintah kabupaten untuk membantu mobilitasnya bertugas di Routa. Semoga suatu hari nanti ada kesempatan untuk bertemu Ibu Tasman lagi dan membaca puisi ciptaannya tersebut.

Ibu mengatakan bahwa puisi “Routa Bukan Nusa Kambangan” dibuat setelah kunjungannya ke Routa untuk pertama kali beberapa tahun yang lalu. Melihat langsung semangat anak-anak dengan keterbatasan yang mereka miliki, beliau merasa bahwa mungkin Routa adalah Nusa Kambangan bagi sebagian orang yang tidak pernah secara langsung kesana. Atau bagi sebagian orang yang pernah kesana tetapi tidak berinteraksi dengan anak-anak yang hidup disana. Atau, bagi sebagian orang yang pernah kesana dan berinteraksi dengan anak-anak disana tetapi tidak mampu memberikan makna lebih terhadap realita kehidupan yang mereka saksikan di Routa. Entahlah, kami sepakat untuk tidak berusaha memperpanjang asumsi-asumsi yang ada.

Menurut Ibu, anak-anak Routa memiliki potensi yang tidak kalah dengan anak-anak lain yang hidup di kota. Dan anak-anak tersebut menaruh harapan pada kita yang datang kesana dengan berbekal kepedulian.

“Routa bukan Nusa Kambangan. Karena Nusa Kambangan itu tempat membuang orang-orang yang melakukan kesalahan. Sementara, orang-orang yang datang ke Routa sebenarnya membawa nafas harapan bagi anak-anak yang hidup disana.”

Satu bulan sudah berlalu sejak pertemuan itu. Saya sudah mencicipi rasanya tinggal di Routa selama beberapa minggu. Minggu ini adalah minggu terakhir libur sekolah. Minggu terakhir Pengajar Muda XII Kabupaten Konawe berkumpul di ibu kota kabupaten. Saatnya kami kembali ke desa masing-masing.

Saya tahu tantangan kami ke depan akan semakin berat. Oleh karena itu, saya sendiri tidak akan pernah melupakan pertemuan saya dengan Ibu Tasman beserta cerita tentang puisinya di hari itu. Saya ingin menjadikan kenangan tersebut sebagai pengingat terhadap satu keyakinan yang selama ini selalu saya pegang erat-erat.

Bahwa banyak hal dalam kehidupan bekerja seperti kepingan mata uang. Setiap pertanyaan berpasangan dengan jawaban. Setiap kejahatan berdampingan dengan kebaikan. Dan setiap kesulitan akan berjodoh dengan kemudahan.

Kami bertujuh pamit kembali ke desa dan lagi-lagi akan menghadapi kesulitan untuk bersinggungan dengan listrik dan sinyal. Doakan kami mampu menjadi Ibu Tasman-Ibu Tasman lainnya yang berani menyuarakan ke dunia luar bahwa seberapa buruk tempatnya, selama masih ada anak-anak bangsa hidup disana, tidak ada satu daerah pun yang bisa disebut sebagai tempat pembuangan.

Terakhir.

Saya sepakat dengan Ibu Tasman. Routa memang bukan Nusa Kambangan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua