Tentang Neglasari (1): Saat Neglasari (tumben) Tak Hujan Debu

Irma Latifah Sihite 15 Maret 2013

Ini adalah catatan senja di kala hujan debu akhirnya tergantikan oleh hujan air. Saat aku dan nenekku berusaha mengisi bak air kami yang hampir kering. Kami tidak berjoged ala bollywood, percayalah. Meskipun hujan sore ini begitu pantas untuk dirayakan. Karena, untuk berjalan saja nenek susah, apalagi menggoyangkan pinggul. Walaupun diam-diam jempolku sudah bergoyang mengikuti irama hujan. Tapi paling tidak, bahasa isyarat di antara kami berdua cukup membuat otak bergoyang-goyang juga. Ah, bahasa nenek adalah misteri -Ini lebih rumit dari hukum negeri ini-.

 

Awalnya aku sudah akan bersiap-siap memberikan pelajaran sore untuk anak kelas 6. Masih kurang setengah jam lagi dari waktu yang telah kami sepakati, sampai pada saat gelegar guntur mengantar hujan deras yang terlihat seperti demonstrasi sebab lama tak diberi turun.

 

Kukeluarkan kepalaku dari jendela kamar dan menoleh ke arah sekolah yang tepat di depan rumah untuk melihat apakah anak-anakku sudah ada yang datang. Ternyata tak ada. Lalu pandanganku terarah ke sebelah kiri, yang berarti ke belakang rumah. Kulihat nenek berusaha menancapkan sebatang kayu kecil. Dia juga memegang selang warna warni. Bukan karena selangnya trendy masa kini, tetapi karena selang itu hasil sambungan beberapa selang entah dari mana.

 

Aku keluar kamar dan menghampirinya. “Arek nampung cai nek?” (mau menampung air nek?), tanyaku. “sini..” lanjutku, sambil mengambil kayu dari tangannya. “abdi bae, nek..” (saya saja nek). “ula neng..nanti basah” (jangan neng, nanti basah) larangnya. Namun aku tetap saja disana berusaha menancapkan kayu. Lalu, kudapati sebuah karet rambut, sepertinya punya tetehku, Teh Mul. Tak apalah pikirku, lalu kuikat selang itu ke kayu dengan ikat rambut oranye milik teteh dan mengarahkan mulutnya ke arah air hujan yang memancur dari atap. Tak berhasil, air yang masuk tak lebih banyak dari air yang keluar. Malah, kami harus kecipratan air hujan yang menghantam kayu kecil kami.

 

Nenek lalu berkata sesuatu yang sepertinya berarti, sudahlah..ini tak akan berhasil. Nenek menyerah dan memintaku menyudahi upaya kami. Nenek tahu, aku tidak akan mengindahkan larangannya dan akan bertahan di sana. Akhirnya dia pun meninggalkanku sendiri. Aku pikir, ku tampung dengan ember saja. Saat aku akan mengambil ember, aku berkata padanya, “nek, abdi tampung pake bak bae ya..nanti abdi asupkan ke kobak. Tos ie, abdi ibak (nek, saya tampung pakai ember saja ya. Nanti saya masukkan ke bak. sesudah ini, saya mandi).”  Terlalu banyak bak dalam kalimatku...

 

Aku sengaja memberitahukan kalau aku akan mandi setelahnya. Sehingga nenek tidak perlu melarangku karena takut kebasahan. Nenek tersenyum, sepertinya dia setuju. Atau mungkin dia berpikir, akhirnya kau tahu juga maksudku anak gadis...

 

Tak perlu kesabaran besar menunggu ember-ember kami terisi penuh, malah agak kewalahan. Hujan ini, sungguh murah hati. Air di bibir ember sampai meluap-luap. Padahal tak dapat kukeluarkan gerakan gesit ala Batak di sini, karena sekali saja aku salah langkah, pasti akan terpeleset. Itu memalukan, bukan?

 

Karenya, aku putusan untuk berjalan santai-santai saja layaknya gadis Sunda sambil menenteng dua ember berukuran sedang di kiri kanan tanganku. “abdi tampung ya nek, nenek ibak bae” (saya tampung ya nek, nenek mandi saja).  “iya neng..”, jawab nenekku sambil tersenyum.

 

Nenek tak langsung mandi, masih membereskan seeng[1] di atas tungku yang berapi cukup besar. Dia sedang menanak nasi. Setelah beberapa kali aku bolak-balik, mungkin sekitar 2 atau 3 kali, baru aku dapati dia mandi. Iya, tempat mandinya terbuka. Bukan sengaja dibuka, tapi memang tak bertutup. Nenek mandi dan aku dengan bebas keluar masuk mengantarkan air. Untungnya kami di sini memiliki konsensus untuk selalu jongkok ketika mandi. Jadi, tidak perlu mempertontonkan semuanya.

 

“tiis neng..”kata nenek, entah pada ember yang ke berapa. Dia berusaha menjelaskan kepadaku dengan bahasanya bahwa air hujan itu lebih dingin dari air gunung yang biasa kami pakai. “tos ie, pake minyak kayu putih nek. Biar ngak asup angin”, kataku. Nenek hanya tersenyum, seperti bingung. Bahasa sundaku memang masih buruk.

 

Hujanpun akhirnya reda. Padahal bak kami belum penuh terisi. Tak apalah, ini saja sudah sangat syukur. Berarti, ini giliranku untuk mandi. Prosesinya tentu tak perlu kugambarkan di sini. Tapi, ini penting. Pada saat inilah aku berpikir akhirnya bisa melakukan sesuatu yang tepat di waktu yang tepat.

 

Ya, menampung air hujan untuk mengisi bak adalah sesuatu yang berharga untuk orang yang hidup di tambang batu yang hanya bisa memberi hujan debu. Terkhusus ketika kemarau, hujan debu akan lebih deras dari biasanya.

 

Tapi bagiku, ini lebih dari itu. Ini adalah momen dimana akhirnya aku bisa berbincang dengan nenek, tanpa mempersoalkan bahasa. Kami berbincang banyak sore itu. Tentu, bukan dengan lidah dan bibir kami. Tapi, dengan tatapan mata dan isyarat-isyarat tubuh kami yang kedinginan. Belum pernah aku berbicara sebanyak ini dengannya. Benar-benar merasa seperti cucu yang sebenarnya.

 

(Menjadi guru itu adalah pekerjaan yang sungguh berat, bagiku. Tapi, menjadi orang luar yang diterima layaknya keluarga, jauh lebih berat lagi. Ini, masih menurutku. Semoga hujan turut memberi restu bagiku menjadi bagian dari keluarga ini.)

 

Senja ini mengajarkanku, di dalam setiap bulir air hujan yang dingin tersimpan kehangatan dan hanya  dengan membiarkan bulir itu pecah di kulitmu kau dapat merasakannya. Meleburlah.

 

[1]Seeng adalah peralatan dapur tradisional yang masih digunakan sampai saat ini. Gunanya adalah untuk membantu penanakan nasi. Ya, seeng itu bukan alat utama, tetapi alat bantu. Seeng berbentuk seperti dua corong yang disatukan kedua pangkalnya. Sehingga dia memiliki pinggang yang  ramping di tengah. Kalau deskripsinya malah membuat rumit, lebih baik lihat saja ke rumah kami di Neglasari


Cerita Lainnya

Lihat Semua