Hati yang Hangat

Matilda Narulita 13 Maret 2013

Lamdesar Barat, Juni 2012

Kardus-kardus berisi kacang tanah, bebah (sagu), juga ikan garam menumpuk di sisi ruang tamu. Hari itu, tepat satu minggu sebelum aku kembali ke Jawa, rumahku dipenuhi orang-orang desa. Sebagian datang untuk bacarita, sebagian lainnya membawa kardus yang dipanggul di kepala.

"Ini oleh-oleh dari katong.." ujar seorang ibu sambil menyeka air matanya, "supaya Ibu pi Jawa, Ibu tetap inga Lamdesar." 

Aku tersenyum menerima kardus yang, aduh, ternyata berat sekali!

"Hasil kebun kali ini khusus untuk Ibu." tambahnya sembari memelukku. Aku tercekat. Ucapan terima kasih pun rasanya tertahan di tenggorokan. Kenangan tentang tempat ini seakan berlarian di kepalaku. Mengajar anak-anak, memimpin ibadah sore, mencabut lavatar di kebun kacang, menombak ikan..

Hhh.. Aku menghela nafas panjang. Sudah satu tahun, sudah waktunya meninggalkan tempat ini.

Sambil masih terisak, ibu itu pamit pulang. Ah, sudah jam 10 malam rupanya. Aku bergegas menutup pintu dan jendela, memastikan semua terkunci rapat. Egi, seorang muridku, menarik tanganku dengan tidak sabar. Ia menyorongkan sarung ke tanganku, dan menepuk bantal di sebelahnya.

"Ibu, mari! Katong tidur sudah!"

Setiap hari, selama seminggu sebelum kembali ke Jawa, anak-anak berebut tidur bersamaku di lantai ruang tamu. Beralaskan karpet tipis, kami tidur berdesakan. Sesekali terbatuk karena debu, atau terbangun karena gigitan nyamuk. Malam itu sungguh dingin. Sarung yang kami pakai nyatanya tidak mampu memberi rasa hangat yang cukup.

Sering kami berpelukan sambil mencuri-curi kesempatan untuk menggelitiki satu sama lain, sampai kami terbahak-bahak. Berhenti sebentar ketika tetangga sebelah sudah mulai berdehem tanda ia terganggu, lalu mulai lagi. Kali ini diselingi cubitan supaya sang korban -yang lengah karena kehabisan tenaga- tidak tertawa terlalu keras. Tapi toh gagal, karena ia justru semakin memberontak dan berteriak lebih kencang. 

Keseruan itu baru benar-benar berhenti ketika tetangga sebelah sudah meneriaki kami. Sambil terkikik, kami mulai memejamkan mata, bersiap tidur. Malam sudah sangat larut, dan angin yang bertiup melewati sela-sela pintu membuatku menggigil. Lima menit setelah aku menutup mata, seorang anak terbangun. Isak rupanya. Dia mengguncangku pelan, namun aku bergeming. Biar saja dia kira aku sudah tidur, pikirku. Melihatku meringkuk kedinginan, ia membetulkan letak sarung yang kupakai sampai menutupi seluruh bagian tubuhku. Dia memegang tanganku dan memijatnya pelan. Ah, nyaman sekali.

Tak dinyana, sebuah kecupan singkat mendarat di keningku, disertai ucapan pelan "Selamat tidur, Ibu".

 

Dan hatiku menghangat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua