Berjuang, Bukan Dibuang !

Wahyu Setioko 13 Maret 2013

      Tahun 1980-an menjadi angin segar bagi dunia pendidikan Pulau Bawean. Pasalnya, daerah yang terpencil dan terisolasi ini kedatangan puluhan tenaga pendidik yang berasal dari induk pulau, yakni Pulau Jawa. Puluhan tenaga pendidik ini berasal dari berbagai macam daerah di Provinsi Jawa Timur. Mereka menempuh 120 mil perjalanan laut dari daratan Gresik menuju sebuah pulau kecil ditengah laut, bernama Pulau Bawean. Orang-orang di Pulau Jawa bilang, mereka ‘dibuang’. Benarkah?

      Salah satu dari mereka adalah Pak Soenaryo, atau lebih akrab dipanggil Pak Yo, beliau kini adalah kepala sekolah SDN 2 Kepuhlegundi, sekolah tempat aku bertugas saat ini. Laki-laki berdarah Tulungagung itu tiba di desaku sekitar 30 tahun yang lalu. Lantas beliau ditugaskan mengajar di sebuah Sekolah Dasar terpencil di atas gunung. Setiap harinya, Pak Yo harus menempuh jarak 5 km menanjak gunung dengan berjalan kaki untuk tiba di sekolah. Saat itu hanya ada jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Pada siang yang terik sekalipun, Pak Yo harus turun gunung dari sekolah menuju rumahnya di pesisir pantai. Keadaan itu berlangsung hingga beberapa tahun.

        Suatu hari, Pak Yo bersama rekannya berpikir untuk membuka jalan di tengah hutan-hutan itu. Ya, jalan dari pesisir (bawah) menuju ke atas gunung, tempat SD nya dan dusun kecil di sekelilingnya berada. Sayang, rencana itu tak semudah yang dibayangkan. Beberapa warga memang sudah bersedia mewakafkan tanahnya untuk dibuat jalan penghubung ke dusun di atas gunung. Namun, satu dua orang masih belum bersedia menyerahkan tanahnya. Ide membuat jalan itu pun harus pupus begitu saja.

          Beberapa tahun berikutnya, ide membuat jalan penghubung seperti mencuat kembali bersama secercah harapan sepeninggal orang yang tidak bersedia mewakafkan tanahnya tersebut. Tanah itu pun menjadi warisan putranya. Pak Yo dan rekan-rekan guru lantas membujuk si putra pewaris untuk mewakafkan tanahnya. Sekali lagi, sayang, putra pewaris itu juga enggan memberikan tanahnya. Semesta pun bertindak. Seluruh warga, pejabat desa dan tokoh masyarakat setempat turut mengupayakan pemberian tanah tersebut. Ya, akhirnya berhasil, setelah beberapa orang mengacungkan golok dan parang kepada si pemilik tanah. Tak lama, terwujudlah jalan penghubung sejauh 5 km dari pesisir pantai ke atas gunung dengan membelah hutan. Setidaknya, sudah bisa dilewati kendaraan roda dua, meski harus berjuang. Dan baru beberapa tahun terakhir ini, jalan tersebut menjadi sempurna karena dibangunnya jembatan yang melintasi sungai sebelum memasuki dusun kecil tempat SD Pak Yo berada. Sebelumnya, orang-orang masih harus menggantungkan hidupnya pada beberapa batang kayu untuk melintasi sungai.

          Jalan penghubung yang lancar seolah menjadi awal yang cerah bagi dusun kecil bernama Panyalpangan itu, terutama dalam hal pendidikan. Ya, akses jalan tersebut mempermudah pergerakan Pak Yo dan tenaga-tenaga pendidik lain untuk membangun pendidikan di dusun Panyalpangan. Pak Yo pun kini menjabat sebagai kepala sekolah. Namun, konflik paradigma melanda masyarakat dusun itu. Mereka berpendapat bahwa pendidikan agama lebih penting, oleh karena itu sebaiknya sekolah yang ada dijadikan Madrasah yang khusus agama saja, tanpa ilmu umum. Sementara Pak Yo dan beberapa tokoh masyarakat menginginkan adanya pendidikan ilmu umum yang tak kalah berguna bagi masyarakat. Konflik ini berlangsung cukup lama, hingga akhirnya Pak Yo membuat keputusan. Gedung sekolah yang selama ini ditempati boleh digunakan sepenuhnya untuk Madrasah. Sementara Pak Yo mengalah dan mengusahakan berdirinya gedung baru yang seadanya untuk SD Negeri. Pak Yo pun mengangkat guru madrasah untuk mengajar di SD juga. Alhasil, hingga kini ada 2 sekolah yang berdiri di dusun itu, SD Negeri (di pagi hari) dan Madrasah Diniyah (di siang hari), dengan gedungnya masing-masing. Dengan demikian, anak-anak pun mendapatkan ilmu umum dan ilmu agama sama banyaknya. Masyarakat pun puas. Begitu pula guru-guru madrasah, kini mereka mempunyai kesempatan mengajar lebih banyak untuk mengumpulkan pundi-pundi materi untuk menghidupi keluarganya. Win Win Solution.

      Prihatin dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung (calistung) siswa/i nya di kelas rendah, Pak Yo pun berinisiatif untuk mendirikan Taman Kanak-Kanak di dusun itu. Musyarawah lantas dilakukan bersama warga setempat. Masyarakat pun setuju. Dana operasional ditanggung oleh urunan (patungan) masyarakat dan aliran zakat. TK pun berdiri di dusun itu. Dan kualitas anak-anak kelas 1 dan 2 di SD pun perlahan membaik. Tak berhenti sampai TK, satu demi satu Pak Yo bersama masyarakat setempat membangun unit-unit pendidikan di dusun mereka. Selain TK, juga telah berdiri Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Kelompok Bermain (KOBER). Pak Yo juga berinisiatif membuka program Paket B (setara SMP) untuk warga-warga dusun yang tak mampu bersekolah di sekolah formal. Program Paket B tersebut disambut dengan gembira oleh warga setempat. Ya, mereka benar-benar membutuhkan itu.

          Tahun ini, Pak Yo lagi-lagi membuat terobosan. Atas restu Pak Yo dan seluruh masyarakat, Gedung SD yang digunakan di pagi hari, kini berfungsi menjadi tempat sekolah anak-anak Madrasah Tsanawiyah (MTs). Ya, satu lagi sekolah formal berdiri di dusun Panyalpangan, kali ini setara SMP. Hampir lengkap sudah unit-unit pendidikan berdiri di sebuah dusun yang terpencil itu. Mulai dari KOBER, PAUD, TK, SD, MDU (Madrasah Diniyah), hingga MTs yang kini menggantikan program Paket B yang sempat menjadi andalan warga. Semua lembaga itu (kecuali MTs dan MDU) di komandoi oleh Pak Yo sendiri dan warga setempat lah yang diberdayakan sebagai kepala sekolah lembaga-lembaga tersebut (kecuali SD, dipimpin langsung oleh Pak Yo sebagai kepsek). Poin pentingnya, semua lembaga pendidikan itu dapat berdiri berkat kekompakan masyarakat. Musyawarah dan Gotong royong ada dibalik segala kesuksesan itu.

       Kini, impian Pak Yo tinggal satu, yaitu mendirikan SMA di dusun Panyalpangan. Hingga kini Pak Yo masih mempersiapkan warga-warga setempat yang berpotensi untuk menjadi guru tingkat SMA. Perlahan tapi pasti, satu demi satu, Pak Yo mengusahakan pemuda setempat untuk kuliah hingga S1 dan menjadi guru di dusunnya. Mungkin tak lama lagi impian Pak Yo akan terwujud. Mungkin tak lama lagi sebuah SMA/MA akan berdiri di dusun kecil itu. “Impian Saya, Panyalpangan ini menjadi kampung pendidikan. Kalau sebuah kampung punya lembaga-lembaga pendidikan yang lengkap, maka Saya yakin kualitas SDM nya akan maju dan kehidupannya akan berubah menjadi lebih baik”, begitu tutur Pak Yo yang sempat aku dengar langsung saat musyawarah pendirian MTs beberapa waktu lalu.

    Menapaki pengalamannya membangun pendidikan di dusun Panyalpangan ini, aku tak heran bila Pak Yo pernah ‘disalami’ presiden SBY. Ya, tahun 2008 lalu, Pak Yo menerima penghargaan dari presiden sebagai Kepala Sekolah Berdedikasi Tingkat Nasional. Wow. Jadi betulkah Pak Yo dan rekan-rekan lainnya ‘dibuang’ ke pulau kecil ini 30 tahun lalu? Tidak. Orang-orang di pulau besar sana (baca: Pulau Jawa) boleh berkata mereka ‘dibuang’. Tapi bagiku, mereka berjuang, bukan dibuang. Dan mereka lah sejatinya seorang pejuang. Mengutip kata-kata Pak Anis Baswedan, “ibu kita masih melahirkan pejuang”. Pejuang-pejuang tersebut banyak yang bersembunyi di balik kesunyian dan ketentraman hidup di pelosok-pelosok desa terpencil se-antero negeri ini. Mereka tak bersuara keras, tak mengeluhkan gaji yang kecil, tak mengeluhkan fasilitas. Mereka hanya mengabdi dengan cinta yang tulus untuk mencerdaskan anak-anak negeri. Generasi penerus Indonesia yang terdidik, itulah satu-satunya imbalan yang mereka harapkan. Aku salut, dan aku banyak belajar dari mereka. Terima kasih atas inspirasi darimu, Pak Yo.


Cerita Lainnya

Lihat Semua