PM juga Manusia (1): Bahagia Itu, Menjadi PM sekaligus Menjadi Diri Sendiri

Irma Latifah Sihite 14 Maret 2013

Tulisan ini bukan cerita tentang kisah “bahagia itu...”  yang biasa. Ini bukan soal sweet little things yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita. Ini adalah cerita, tentang menemukan kembali arti sebuah esensi..

Indonesia Mengajar. Ini bukanlah program yang sohor di kalangan akar rumput. Sulit bagi mereka untuk memahami program ini. Tapi, coba kita tanya kaum cendekia. Paling tidak, mereka sudah pernah mendengar. Walaupun pemahaman mereka juga beragam. Ada yang mengira ini adalah milik pemerintah, ada juga yang menyangka program KKN Paramadina. Lebih banyak yang berkata ini adalah –bapak- Anies Baswedan.

Begitulah, program ini memang lebih dipahami oleh kalangan akademisi. Hal ini pula yang memberikannya akses untuk dikenal oleh tokoh-tokoh besar di negeri ini, sepertinya. Dan kerap kali para tokoh ini menghujani dengan pujian. Bukan hanya programnya, melainkan juga kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya, yang disebut Pengajar Muda (PM).

Telah disematkan predikat sebagai putera-puteri terbaik bangsa di dada ini. Tidak nyaman? Tentu. Senang? Ada juga. Terbebani? Mungkin. Menjelma beda? Banyak.

Ya, sayangnya banyak diantara kami yang menjelma beda. Ini memang kerja hebat, tapi bukan kerja malaikat. Kenyataan ini kerap dinafikan lalu menjelmakan diri bak malaikat yang dapat melakukan apapun, meng-iya-kan segala permintaan, menguras tenaga, seakan-akan tak kenal lelah, dan –seolah- selalu bersemangat. Semuanya demi sebuah nama yang disebut Pengajar Muda.

 

Bukan PM kalau cengeng, bukan PM kalau menolak, bukan PM kalau mengeluh lelah, bukan PM kalau bisa marah, bukan PM kalau masih sempat tidur siang, bukan PM kalau bisa sering-sering ke kota. Apa lagi? Bukan PM kalau teratur makan, bukan PM kalau anaknya tidak juara. Mungkin masih banyak lagi daftar “Bukan PM” lainnya.

Lalu, apa lagi yang tersisa di diri ini?   

Daftar tak tertulis itu sering kali kita muntahkan dan telah berhasil menampar muka kita sendiri. Masih bisa kita bersyukur kalau daftar “Bukan PM” di atas memacu semangat untuk terus bekerja. Tapi, kalau sudah sampai melahirkan kompetisi, arogansi, dan estimasi negatif, bagaimana?

 

Berkumpullah kita dalam suatu forum, bercerita tentang apa yang kita lakukan. Kita berlomba “banyak-banyakan”. Sampai kita lupa akan esensi bahwa seharusnya kita menjawab kebutuhan masyarakat. Melakukan yang terbaik, bukan yang terbanyak.

Bercerita kita seolah-olah sistem kerja yang diterapkan adalah yang terbaik. Menganggap bahwa sistem kerja yang lain mandul dan lemah. Bercerita kita dengan ketinggian hati. Merasa sudah menjadi PM Sejati.

Lalu, sampailah kita pada memberikan estimasi rendah terhadap sesama kita. Menganggap bahwa yang lain tidak dapat menerjemahkan konsep ini dengan benar. Padahal kebenaran itu sendiri tidaklah tunggal. Demikianlah, konsep ini pun akan diterjemahkan secara beragam. Lantas, kebenaran siapa yang harus kita yakini?

Tak perlu memilih. Benar-benar tak perlu. Jalani saja sebagaimana kita mau dan kita mampu. Tidak akan ada “siapa yang lebih hebat dari siapa”. Kita sejajar setara.

Masih-masing kita dipilih karena kita memiliki keyakinan halal, dan yakin bahwa kita dapat meyakinkan orang lain untuk yakin tehadap keyakinan tersebut.

Terlalu banyak kata yakin, memang. Tetapi ya memang harus yakin.

Demikian, saya kerap bertukar pikiran dengan para sahabat yang sering merasa dirinya gagal dan bukan PM hanya karena masih sempat tidur siang atau karena dia tidak melakukan sebanyak yang dilakukan oleh orang lain. Terlebih, karena ternyata terdengar juga nada-nada sumbang yang cenderung merendahkan sesamanya. Nada yang dialunkan oleh mereka yang katanya putera-puteri terbaik bangsa. Ironis.

PM juga manusia. Kita tidak sekedar bicara tentang terbatasnya tenaga. Tapi PM memang manusia, ada hatinya dan bukan hakmu menentukan hitam putih baginya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua